Oleh: Mikael Tekege
/Foto: daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tembak Mati dalam Tahun 2014-2015 di Paniai oleh TNI/Porli
|
Opini, HAM --Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 lalu yang telah menewaskan empat pelajar dan satu warga sipil serta belasan warga sipil lainnya mengalami luka berat dan ringan ini menyisakan duka yang mendalam. Peristiwa ini kemudian disebut dengan kasus “Paniai Berdarah” yang kini menjadi ingatan akan penderitaan bagi masyarakat Paniai, terutama keluarga korban. Kasus Paniai Berdarah bukanlah sesuatu yang tersembunyi, melainkan sudah diketahui oleh masyarakat internasional, termasuk dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dewan HAM PBB pun memberikan teguran sekaligus desakan kepada pemerintah Indonesia agar dapat membentuk tim pencari fakta dari PBB untuk mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat di Papua pada umumnya agar dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua, terutama keluarga korban. Tidak hanya berhenti di tingkatan ini, desakan demi desakan datang dari berbagai penjuru melalui organisasi yang bergerak dibidang kemanusiaan, baik secara institusi negara maupun non governance organization (NGO) yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, seperti desakan dan sorotan dari Inggris, Australia, New Zeland, Vanuatu dan sebagainya.
Di Indonesia juga muncul desakan dari berbagai macam organisasi gerakan yang menuntut penuntasan kasus Paniai berdarah ini, seperti Papua Itu Kita di Jakarta, Front Mahasiswa Papua di Yogyakarta, Forum Independen Mahasiswa (FIM) di Papua, Gerakan Melawan Lupa Menuntas Kasus HAM Berat Paniai (Gempa-KPH-Berapi) di Jawa tengah (Yogyakarta) dan Jawa Barat (Bogor, Bandung dan Jakarta), pimpinan-pimpinan gereja di Papua dan juga di Indonesia serta Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai dan sebagainya yang berusaha dan berjuang menuntut keadilan kepada negara Indonesia.
Berangkat dari desakan tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Republik Indonesia membentuk Tim investigasi dan turun ke Enarotali, Paniai untuk mengumpulkan data tentang kasus Paniai Berdarah ini. Namun, sayangnya, tim yang dibentuk ini tanpa koordinasi dengan pihak Komnas HAM dan beberapa pihak terkait lainnya yang bergerak dibidang kemanusiaan. Sehingga Komnas HAM pun bentuk Tim investigasi dan turun ke Enarotali, Paniai.
Data dari saksi maupun korban telah dikumpulkan dan sudah ada di tangan Tim investigasi bentukan Kemenkopolhukam maupun Tim investigasi Komnas HAM. Namun, tidak ada data hasil outopsi karena memang masyarakat Paniai,
khususnya keluarga korban menolak dilakukannya outopsi. Tetapi data dari saksi maupun korban yang telah dikumpulkan itu sudah memenuhi hampir delapan puluh persen (80%), sementara hasil outopsi ini hanya untuk memastikan peluruh dari kesatuan mana, sekaligus memenuhi data dua puluh persen (20%) yang mendukung dan mempermudah dalam proses pengungkapan kasus ini.
Namun, data hasil outopsi ini tidak boleh menjadi alasan bagi pihak-pihak tertentu untuk menghambat pengungkapan kasus Paniai Berdarah ini. Sehingga sesuai dengan hasil investigasi, Komnas HAM mengambil kesimpulan bahwa kasus Paniai berdarah merupakan Pelanggaran HAM Berat berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sehingga Komnas HAM merekomendasikan bentuk Tim Ad Hoc.
Orang nomor satu di Paniai (Bupati) pun tidak tinggal diam dengan menyatakan, “saya siap lepas garuda demi mengungkap kasus Paniai berdarah”. Pernyataan ini patut diapresiasi karena selama ini tidak pernah ada kepala daerah yang berbicara demikian atas berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Pernyataan ini dapat dipahami sebagai komitmen seorang kepala daerah untuk memperjuangkan penuntasan kasus Paniai Berdarah yang menimpah masyarakatnya. Dan memang menjadi kewajiban seorang kepala daerah untuk melindungi masyarakatnya. Sebagai tindak lanjutnya, beberapa media memberitakan bahwa Bupati Paniai pernah bertemu tiga kali dengan Presiden Joko Widodo untuk membicarakan kasus Paniai berdarah tersebut.
Namun, sayangnya tidak dijelaskan kapan dilakukan pertemuan tiga kali tersebut dan pada saat mengadakan pertemuan tidak pernah ada pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik, bahkan website milik pemerintah daerah (Pemda) Paniai sendiri tidak diposting. Lebih menariknya lagi adalah pernyataan tersebut muncul setelah enam stengah bulan kemudian, (8 Desember 2014-3 Juni 2015). Jika Pemda Paniai ingin memperjuangkan penuntasan kasus Paniai berdarah ini untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama keluarga korban, pasti Pemda Paniai mengumpulkan dan memiliki data atau bukti yang mendukung dalam proses pengungkapan kasus ini supaya ketika ada Tim investigasi dari Komnas HAM tibah di Paniai tinggal menyerahkan karena sangat dibutukan data dari Pemda Paniai.
Namun, pada saat diadakan pertemuan dengan Tim investigasi Komnas HAM, Kapolda, dan Pangdam pada tanggal 3-5 Maret 2015 lalu di Paniai, Pemda Paniai tidak hadir. Kalau seperti begini, bagaimana mau lepas garuda demi ungkap kasus Paniai berdarah ini? Apakah cukup hanya pertemuan tiga kali yang tidak jelas dengan Presiden Jokowi untuk ungkap kasus Paniai berdarah ini? Ataukah pernyataan lepas garuda ini hanya untuk politik pencitraan demi merebut hati masyarakat, terutama keluarga korban yang merindukan keadilan itu?
Pernyataan lepas garuda demi kasus Paniai Berdarah yang diungkapkan oleh Bupati Paniai ini, bisa diterima dengan akal sehat jika terlihat adanya upaya-upaya yang dilakukannya di lapangan demi mendorong pengungkapan kasus ini. Namun, karena belum terlihat di media, maka pernyataan ini dinilai sebagai suatu klaim yang tidak menghargai perjuangan dan desakan dari DAD Paniai, organisasi gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat yang bergerak dibidang kemanusiaan di Papua maupun di luar negeri, serta negara-negara yang menyoroti kasus ini.
Dikatakan klaim, karena pernyataan ini diungkapkan setelah adanya rekomendasi dari Komnas HAM untuk bentuk Tim Ad Hoc. Pernyataan ini juga, di sisi lain, dinilai sebagai upaya pembohongan publik demi pencitraan diri pribadi agar publik percaya bahwa pembentukan Tim Ad Hoc ini adalah perjuangan dari Bupati Paniai. Pada hal, Pemda Paniai tidak memenuhi undangan dari Tim investigasi Komnas HAM untuk memberikan data tentang kasus ini.
***
Berdasarkan penjelasan singkat diatas ini, dapat disimpulkan bahwa pernyataan lepas garuda yang dilontarkan oleh Bupati Paniai ini dinilai sebagai upaya pencitraan diri. Oleh karena itu, saya sebagai orang Papua yang turut menanggung rasa atas kasus Paniai berdarah ini menyampaikan bahwa: Pertama, Pemda, khususnya Bupati Paniai jangan klaim sembarangan atas desakan dan perjuangan serta pengawalan proses pengungkapan kasus Paniai Berdarah yang kini membentuk Tim Ad Hoc ini; Kedua, Bupati Paniai harus menghargai dan mengakui kerja keras dari semua pihak yang mengawal kasus ini, dengan cara tidak mengumbal pernyataan tanpa bukti yang jelas; dan Ketiga, Pemda dan masyarakat Paniai khususnya dan Papua pada umum harus memberikan dukungan kepada Tim Ad Hoc ini agar segera mengungkap pelaku untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, terutama keluarga korban.
*) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta
0 thoughts on “Pernyataan Lepas Garuda sebagai Politik Pencitraan”