BREAKING NEWS
Search

Di manakah Kebahagiaan dan Kedamaian Itu bagi OAP di Tanah Papua?

Foto; Dok, Prib Yosep Y/KM
Oleh: Yosep Ricky Yatipai


OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Sekiranya, pertanyaan ini muncul dari hasil refleksi yang ditarikan oleh si penulis pada kertas polos terkait penyakit sosial di Papua. Bisingan seruan rindu dari Umat Allah, seakan mau menerkam telinga hingga merasuk sanubari secara frontal. Sehingga, terasa tak mampu untuk mengelak darinya. Masuk dan melihat kedalaman pergumulan. Rasanya, hidup tak lagi berkesinambungan antara satu dengan yang lain. Pembunuhan fisik, karakter, maupun KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) terus meroket, sampai-sampai tak mengenal ujung. Makan sepiring hanya menjadi angin lalu. Sikap acuh tak acuh menjadi majikan damai. Damai tak di kunjung, bahagia memendam kecewa. Tawaran damai dan kebahagiaan, tak kuasa menahan perih goresan luka, yang akhirnya akan membekas. Tersentak diam, seiring bertanya ‘Di Manakah Kebahagiaan dan Damai Itu?’. Terbesit, ingin terus melangkah, walaupun musuh menghadang, berharap pada sang Khalik, pasti ada jawaban.

Tak dapat dipungkiri situasi kehidupan terkait penyakit sosial di sekitar kita. Terima apa adanya, seirama mencari jalan untuk keluar. Ups... keceplosan, sembari jiwa serta raga melonjak ketakutan. Akhirnya, terbongkar tembok rahasia. Emosi melampaui niat baik. Kejahatan menjadi doctor gentium - guru besar bangsa-bangsa. Tindak-tanduk kebaikan tunduk pada kuasanya. Lebih mudah mematikan lilin, daripada menyalakan lilin. Saat bertanya lagi, kapan semua ini akan berakhir? Spontan terlintas jawaban, ketika manusia tidak lagi mengenal kejahatan.

Damai dan bahagia, rupanya bunga bersemi di ladang. Bunga bersemi tanpa ladang, rasanya percuma. Begitu juga, damai tanpa bahagia, tetaplah percuma. Dua pasangan kekasih, yang hendak kawin. Namun, belum ada kesempatan. Kesempatan hilang diterjang badai. Rembesan penyakit menggerogoti tubuh sang hidup kehidupan. Banyak dokter menggunakan kaca mata untuk menemukan obat yang mujarab. Tetapi, penyakit terus menjalar ke seluruh tubuh. Sehingga, para dokter pun bingung harus menyembuhkan dari mana. Ada seorang anak kecil yang berinisiatif baik, dengan menawarkan beberapa masukan kepada para dokter. Namun, diabaikan. Karena, para dokter merasa tidak penting. Lantaran, tawaran itu disampaikan oleh sang cilik. “Dokter-dokter tak tahu rendah hati!” ungkapan polos lugu sang cilik.

Bergaung atau bergema di seluruh jagat raya, tergantung pengaruhnya. Jika baik bagi hidup kehidupan, maka mestinya dilestarikan dan jika tidak bagi hidup kehidupan, maka mestinya dihiraukan. Apalagi, ego pribadi yang hanya mencari kehormatan dan kedudukan semata. Tak ada damai dan kebahagiaan di dalamnya. Penyakit sosial memanjakan dirinya untuk para aktivis kebenaran dan keadilan. Seolah-olah sampai seakan-akan dirinya setara dengan Yang Kuasa. Bagaimana menurutmu? Apa jalan keluarnya?

Dr. Neles Tebai, Pr (Doktor Misiologi) Ketua Sekolah STFT-Fajar Timur, Abepura-Jayapura, yang mengungkapkan sebuah pernyataan ajakan terkait peran misi Gereja bahwa, “ Gereja ada di dunia, maka kita bergumul mengenai persoalan-persoalan yang terjadi di Papua Barat. Kita (Umat Allah) ikut terlibat dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan yang terjadi di Papua, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan media massa. Oleh karenanya, kita membangun dialog untuk mencari akar masalah dan solusinya”. Menurut saya, ungkapan ini merupakan ajakan misi bagi umat Allah (yang adalah bait Allah) untuk semakin menyadari diri akan kehadiran Gereja di tanah Papua. Gereja hadir di Papua, maka pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan (humility) itu sendiri. Umat Allah selalu bertolak dari tiga pilar dasar manusia, yakni kehendak bebas, hati nurani, dan akal budi. Yang artinya manusia tidak sama dengan binatang, yang mestinya dipandang sebagai ciptaan sempurna dan murni.

Meminjam ide seorang budayawan Indonesia, Dr. F.X. Mudji Sutrisno, S.J yang menuliskan kata-kata indah penuh makna, ”ketika burung manyar jantan menganyam sarangnya dengan kecanggihan estetika dari rumput-rumput kering dan ranting, sang burung itu sebenarnya sedang membuat ‘konstruksi’ untuk calon rumahnya. Ketika musim promosi diri agar konstruksi sarang indahnya diperbandingkan untuk menarik betina-betina manyar di sana kala sang primadona mengiyakan lalu dibangun lebih lanjutlah rumah tangga sepasang manyar tadi dalam ‘konstruksi-konstruksi’ lebih cermat dalam lapis-lapisnya hingga siap untuk telur-telur generasi baru manyar-manyar itu.” Sebuah analogi indah yang dilukiskan secara cermat untuk menggambarkan sebuah tatanan hidup yang berubah-ubah, namun roda regenerasi pun terus bergulir. Pengubahan yang hendak mau digambarkan ialah suatu perubahan yang terus dibaharui demi kebaikan bersama. Sebagaimana burung manyar jantan yang menganyam sarangnya dengan cermat, yang hendak mau menampilkan dan menarik satu paradigma (sudut pandang) estetis bagi burung manyar betina. Yang akhirnya, mereka membangun satu dekonstruksi untuk anak-anak mereka.

Dua hal yang berbeda, namun hendak mau menunjukkan tingginya nilai kemanusiaan (humility) dan keluguan akan terjujurnya keindahan (estetika) hidup kehidupan. Tetapi juga, hendak mengajak suatu cara bertindak dan berpikir manusia, yang mestinya mengarah pada kehendak Sang Khalik. Oleh karenanya, marilah kita membuka diri untuk membangun ruang komunikasi yang kontruktif, yang intensnya dialog antara satu dengan yang lain. Komunikasi yang menjurus pada kebaikan bersama (common good/bonum comune). Idealnya, kita membangun komunikasi yang dijiwai oleh cinta kasih dan komunikasi yang dipandu oleh iman. Sehingga, jelas akan setiap keputusannya. Damai dan bahagia siap disajikan dan disantap oleh siapa pun di tanah Papua ini, dari generasi ke generasi. (Frans P/KM)

*) Penulis adalah anak muda Papua



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Di manakah Kebahagiaan dan Kedamaian Itu bagi OAP di Tanah Papua?