BREAKING NEWS
Search

Pengusaha dan Elit Nasional Berburu Freeport, Manipulasi Informasi Melalui Media Nasional


Media Pemersatu Harapan Elit Jakarta/Foto : Doc Willem
Oleh : Willem Wandik,S.Sos

Opini,(KM) – Menjelang perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia, ramai ramai para politisi nasional yang juga merupakan pengusaha nasional (sekaligus pemilik media nasional) bersama eksekutif pusat (Menko, Menteri, Dirjen) tampil ke media publik (Televisi Nasional) berbicara atas nama rakyat Indonesia tentang apa yang mereka sebut sebagai kedaulatan republik atas pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Yang terlihat aneh, tidak satupun representasi rakyat dan bangsa Papua di undang dalam acara diskusi dan debat publik yang menyoal perpanjangan kontrak Freeport beserta kepentingan penyerta lainnya yaitu saham dan smelter Freeport.

Tidak mengejutkan pula jika secara bersamaan para pengusaha nasional yang dulunya menjadi pemain utama di masa Orde Baru Berkuasa beramai ramai muncul ke permukaan dan tampil seperti Robin Hood yang menawarkan kedaulatan Indonesia dengan catatan anak negeri Indonesia harus bisa memiliki saham sejumlah investasi asing di wilayah Republik. Ketertarikan Arifin Panigoro (pengusaha swasta nasional, pemilik Medco Energi) terhadap saham Newmont di Nusa Tenggara Barat dan persekongkolan politik untuk melemahkan gugatan etik ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) oleh Abu Rizal Bakrie, Cs (salah satu pengusaha sukses di zaman orde baru yang memiliki kekuatan politik yang cukup berpengaruh pada hari ini) juga tidak mengejutkan publik di Tanah Papua.

Munculnya mantan-mantan pengusaha sukses di era Orde Baru yang turut terlibat dalam perebutan kepentingan yang bersinggungan dengan persoalan Freeport merupakan gejala yang sama, pernah terjadi di masa krusial perpanjangan kontrak karya ke 2 di Tahun 1991. Namun bedanya hiruk-pikuk persoalan ini hanya terjadi dilingkaran para pengusaha-elit Jakarta yang dekat dengan Soeharto pada masa itu. Jika Arifin Panigoro menyatakan minat membeli 76% saham Newmont, tentunya bukanlah tanpa alasan bisnis yang kuat. Ini merupakan bagian dari strategi bisnis, setelah melihat prospek bisnis pembangunan smelter di daerah Gresik yang telah disepakati bersama antara dua perusahaan multinasional yaitu Freeport dan Newmont. Tidak ada pengusaha nasional yang tidak tertarik dengan prospek bisnis bersama Freeport. Namun ini aneh, sebab sampai hari ini rakyat dan bangsa Papua masih menolak pembangunan smelter di Gresik.

Smelter Freeport menjelma menjadi lahan bajakan pengusaha nasional, demikian pula saham freeport menjadi rebutan kepentingan Pusat dan Pengusaha Nasional. Dimana keadilan bagi Tanah Papua sebagai wilayah yang memiliki otonomi khusus (lex spesialis), yang seharusnya harapan daerah tentang kemandirian pengelolaan kekayaan daerah menjadi sesuatu hal yang normatif (kemandirian merupakan cita cita berdaerah yang wajib di dorong oleh Pemerintah Pusat baik diminta maupun tidak diminta oleh daerah sebagai perwujudan cita cita pembangunan nasional).

Sejarah romantis pengusaha swasta nasional bersama Freeport pernah terjadi antara tahun 1991 – 2002, dimana pemilik PT. Indocopper Investama yang berhasil mengakuisisi kepemilikan saham Freeport sebesar 9,36%, setelah kewajiban divestasi dilaksanakan untuk memenuhi perpanjangan kontrak karya ke 2 Freeport di tahun 1991, namun dikemudian hari seluruh saham tersebut di jual kembali ke Freeport dengan keuntungan berkali lipat. Sebagai mantan pemilik PT. Indocopper Investama, Abu Rizal Bakrie yang juga sebagai pentolan politisi nasional dimana sang Ketua DPR RI menjadi salah satu loyalisnya, yang pada saat ini terlibat skandal “Papa Minta Saham“, dimana intervensi dari tokoh politik berpengaruh ini, menjadi bagian dari sandiwara untuk menggagalkan persidangan MKD (melalui isu legal standing pelaporan Menteri ESDM dan pembuktian rekaman yang dianggap tidak sah sebagai alat bukti).

Setelah beberapa waktu lalu, Menteri ESDM melaporkan permasalahan etik ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) karena terdapat bukti rekaman pembicaraan Ketua DPR melobi saham PLTA Urumuka untuk kepentingan pribadi sang ketua DPR dan lobi saham Freeport yang ditujukan untuk Presiden dan Wakil Presiden. Disaat bersamaan petinggi partai dan koalisi politik yang terbentuk di awal masa-masa Pemilu dan di awal masa kabinet kerja Jokowi terbentuk, menggalang dukungan dengan menunjukkan aksi solidaritasnya kepada sang loyalis dengan ramai ramai memberikan dukungan kepada sang Ketua DPR.

Dukungan Abu Rizal Bakrie terhadap salah satu loyalisnya tidak mengherankan publik, sebab dirinya pernah menjadi pemain utama dalam transaksi saham Freeport. Ini bukan relasi politik biasa seperti halnya dalam sebuah organisasi politik. Tetapi terdapat jejak masa lalu, dimana Abu Rizal Bakrie sempat menikmati saham Freeport meskipun dengan cara mencicil dengan utang, namun penjualan 100% saham milik PT. Indocopper Investama menjelang krisis 1998 yang turut serta menghapus kewajiban utang anak perusahaan Bakrie Group tersebut, telah memperbesar pundi pundi kekayaan group Bakrie dan semakin memberikan modal yang besar bagi Group Bakrie untuk melakukan ekspansi bisnisnya hingga hari ini. Bisa disebutkan bahwa anak usaha Bakrie Group yang pernah mencicipi saham freeport melalui PT. Indocopper Investama, menempatkan dirinya menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia pada hari ini.

Nama PT. Indocopper juga seperti menegaskan bahwa perusahaan berlogo Indonesia, tidak perduli apakah mereka bermental rampok ataukah benar benar loyalis sejati kepentingan nasional, akan diterima dengan tangan terbuka untuk mendukung investasi bagi kepentingan yang diberi nama “anak negeri republik Indonesia mampu membeli saham freeport“. Kira kira seperti itulah pesan yang tampak mengapa PT. Indocopper Investama mendapatkan jatah saham 9,36% di periode 1991-2002.

Dimasa lalu praktek kekuasaan Pemerintah Pusat yang dijalankan melalui rezim sentralistik, serta dibungkamnya partisipasi publik daerah dalam keputusan keputusan strategis Pemerintah, telah mengakibatkan daerah seperti Tanah Papua mengalami era eksploitasi besar besaran oleh kepentingan elit-pengusaha nasional yang dekat dengan kekuasaan Pusat.

Pada masa itu, praktis tidak ada yang benar benar mengetahui bagaimana pusat dan pengusaha nasional menjatah habis kekayaan sumber daya alam daerah sepertihalnya yang terjadi di Tanah Papua.  Kekuasaan Pemerintah Pusat yang di dukung oleh rezim militer turut mengendalikan setiap pergolakan dan ketidakpuasan masyarakat di daerah. Ini menjadi perkawinan yang lengkap, untuk memuluskan segala transaksi kepentingan elit Jakarta dan jaringan pengusaha nasional, dengan memanfaatkan rezim yang mampu mengontrol dan memanipulasi informasi yang sampai ke daerah.

Di masa awal kontrak karya 1 dan 2, bangsa Papua benar benar buta dan tidak tahu apa apa (era kegelapan bangsa Papua), terkait apa dan bagaimana tanah mereka di jatah habis oleh para elit Jakarta yang memperkaya kelompok mereka dan menjadi penguasa politik pada hari ini.

Terlihat jelas pula pola pengkondisian informasi yang terjadi pada hari ini melalui media nasional. Meskipun era kebebasan berpendapat telah dibuka selebar lebarnya setelah lahirnya era reformasi, namun dalam realitasnya peran media nasional menjadi pemain kunci yang turut menentukan pembentukan opini publik nasional. Dengan kasat mata kita bisa melihat melalui program Televisi nasional, apa tema yang dibicarakan oleh para perancang berita tentang kepentingan Freeport. Semuanya mengarah pada kata kunci informasi diantaranya isu perpanjangan kontrak karya demi kepentingan pusat (dibungkus dengan kata kepentingan nasional), sejumlah Perusahaan BUMN siap membeli saham Freeport (Inalum dan Antam), isu nasionalisasi melalui Perusahaan Nasional milik Pemerintah Pusat, isu kenaikan royalti menjadi 5-6% (tidak cukup dengan hanya 3%), skandal ketua DPR RI meminta jatah saham PLTA Urumuka dan saham Freeport untuk Presiden/Wakil Presiden, pelaporan Menteri ESDM, polemik sidang Etik Ketua DPR di MKD, dan kewajiban smelter Freeport di bangun di Gresik.

Terhadap sejumlah kata kunci informasi yang sengaja di bentuk dan diseminasi melalui media Televisi Nasional, apakah ada seorang pewarta berita nasional yang dapat menyebutkan dalam bentuk apa dan bagaimana persoalan Freeport demi kepentingan rakyat dan bangsa Papua? mengapa para jurnalis Jakarta diam seribu bahasa jika bebicara hak rakyat dan bangsa Papua atas pengelolaan sumber daya pertambangan di daerahnya sendiri?

Sampai sejauh ini, belum ada media Televisi nasional yang berbicara tentang apa dan bagaimana aspirasi rakyat dan bangsa Papua terhadap kekayaan sumber daya alam yang diperebutkan oleh kepentingan investasi perusahaan asing dan perkawinan kepentingan elit dan pengusaha nasional tersebut.

Sejumlah keganjilan pemberitaan yang ditemukan pada suguhan diskusi dan debat terbuka melalui sejumlah media Televisi nasional, dengan mengundang para pengamat politik pusat, meminta pendapat politisi nasional yang tidak terkait dengan dapil Papua, dan konfirmasi dari Kementerian yang dipandang berwenang, hanya menyajikan suguhan informasi yang mendiskusikan bagaimana kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Papua dimiliki oleh Perusahaan A, Perusahaan B, demi kepentingan A, demi kepentingan B.

Ini tentunya menjadi sesuatu yang memalukan dan menggelikan. Mengingat aspirasi rakyat di Tanah Papua tidak pernah ditampilkan saling berhadap-hadapan bersama para elit Jakarta yang berbicara atas nama kepentingan republik. Dengan ini secara rasional kita harus jujur mengatakan bahwa diskusi persoalan freeport oleh elit Jakarta adalah dagelan dan parodi kepentingan pusat yang memuakkan.(Manf/KM)

Sumber : Senator Papua
Post By : Manfred Kudiai




nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Pengusaha dan Elit Nasional Berburu Freeport, Manipulasi Informasi Melalui Media Nasional