(Foto: Dok. Amoye Douw/KM) |
Oleh: Amoye Douw
Opini - (KM). Perceraian adalah sebuah tindakan atau kegiatan pemisahan dua orang manusia dalam hubungan kekeluargaan misalnya Perceraian antara Istri dan suami atau sebaliknya. Dan dalam arti yang lebih luas, bisa di katakan sebagai pemisahan antara satu individu dengan individu lain berdasarkan beberapa pertimbangan.
Perceraian ini pula yang seringkali terjadi dalam kehidupan masyarat (Meeuwodide). Meeuwodide adalah sebuah wilayah yang di mana penduduk setempat di kenal sebagai manusia dengan suku dan budaya Mee.
Letak Meeuwodide
Meeuwodide adalah gabungan dari beberapa Kabupaten yaitu : Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai dan Paniai yang berada dalam daerah Provinsi Papua, Wilayah Timur Indonesia.
Mengapa ada perceraian dalam ruang lingkup Meeuwodide?
Tentu, kita belum sadari akan kelahiran dari perceraian yang kini sedang terjadi dalam budaya kehidupan Meeuwodide, sehingga beberapa tahun kedepan di pastikan akan menjadi budaya yang sulit di pisahkan dari kehidupan orang Mee. Sehingga mari kita gali mengenai kehadiran Budaya cerai ini. Dahulu dalam kehidupan orang Mee, namanya budaya cerai sebenarnya tak ada, mengapa? Karena pada zaman kakek dan nenek buyut orang Mee, bila seorang lelaki memperistri serang gadis maka, gadis itu akan tetap tinggal di rumah sang suami sampai ajalnya tiba. Istri tersebut akan tetap bertahan walaupun sang suami mengambil gadis lain lagi sebagai seorang istri atau sering kenal dengan istilah poligami. Suami hendak mau ambil istri berapa pun, walau 10 jumlahnya. Sang istri takkan pernah mengatakan cerai, karena di zaman itu tak ada istilah cerai, istri akan tetap tinggal di rumah suaminya, berbaur dengan istri-istri lain dari suaminya.
Kemudian walaupun istri tersebut di pukuli hingga seperti apapun, istri tersebut akan tetap setia berada di rumah sang suami, apapun perihnya.
Seiring berjalannya waktu, agama pun masuk dalam kehidupan masyarakat Mee. Agama mulai mengajarkan berbagai hal, salah satunya adalah apa yang di persatukan oleh Allah tak boleh di ceraikan oleh manusia. Dan kata tersebutlah awal mula lahirnya. Kata cerai dalam kehidupan orang Mee, namun di masa ini perceraian masih belum terjadi, sebab orang Mee hanya tahu kata tersebut dan tidak memahami maknanya. Kemudian perlahan-lahan kebiasaan poligami di kenal bahwa buruk, Sebab agama mengajarkan kepada penganutnya mengenai perihal memperistri, agama hanya menyetujui bahwa perkawinan hanya untuk dua isang, dalam artian kawin hanya satu istri.
Lalu, masuk pada masa di mana orang Mee mengenal Pendidikan. Mempelajari berbagai hal yang di lakukan oleh orang luar dari suku Mee. Sejak di kenalnya dunia pendidikan maka, lahir pula budaya cerai yang di pelajari melalui pendidikan. Sehingga dari hari ke hari, bulan ke bulan, Perceraian mulai nampak, hingga Pemerintahan dan berbagai aspek lainnya hadir. Kehadiran ini, membuat perceraian meluas hingga di kenal sampai ke pelosok-pelosok di daerah Meewodide. Dan kini tak asing lagi dengan perceraian, bahkan perceraian malahan menjadi budaya dalam kehidupan orang Mee.
Sehingga dalam uraian ini saya ingin mengatakan bahwa, perceraian yang kini sedang membudaya dalam kehidupan orang Mee bukanlah budaya orang Mee, melainkan budaya luar yang di adopsi dalam tatanan budaya Mee. Dan hal ini bila di biarkan terus menjalar hingga ke dalam setiap hembusan nafas yang akan lahir maka, saya pastikan kebudayaan orang Mee akan bercampur baur dengan budaya luar. Oleh sebab itu, kepada yang cinta akan dan kepada budayanya, di minta agar mau menuntaskan hal-hal yang di anggap sepeleh namun mematikan Ibarat racun yang menjalar secara perlahan namun dapat memicu hingga kepada kematian.
Harus di ketahui bahwa budaya cerai bukanlah budaya orang Meepago.
*) Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia – Semarang
Editor: Muyepimo Pigai
0 thoughts on “Budaya Cerai Bukanlah Budaya Orang Mee, Budaya Orang Luar”