Melihat PILKADA Kabupaten Maybrat dari Kacamata Kaum Perempuan
By Kabar Mapegaa 10:13:00 PM Opini , Perempuan Papua. , PILKADA , suara mahasiswa
Foto: Dok, Prib, Carla M. A/KM |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Masyarakat Indonesia, khususnya warga Kabupaten Maybrat tengah diwarnai dengan diselenggarakannya pesta demokrasi atau PILKADA serentak pada tanggal 15 Februari lalu.
Momen ini menjadi saat yang tepat bagi masyarakat untuk memilih kepala daerah yang memiliki sepak terjang yang jelas untuk memajukan bumi A3 menuju Maybrat yang maju, mandiri, dan baru. Melihat situasi dan kondisi PILKADA mulai dari PRA PILKADA, PILKADA dan PASCA PILKADA sebagai seorang perempuan yang memiliki naluri perasaan yang kuat dapat dikatakan bahwa hampir 90% lebih hasil PILKADA “cacat total” artinya PILKADA ini.
Tidak berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan. Alasannya cukup jelas yakni hampir seluruh wilayah di Kabupaten Maybrat melakukan kesalahan yang secara sengaja dilakukan baik itu money politik, jual beli jabatan, kekerasan fisik dan sebagainya demi tercapainya kemenangan oleh pasangan calon tertentu.
Berkaca dari PILKADA sebelumnya seharusnya pemerintah dalam hal ini KPU sebagai lembaga pelaksana seharusnya lebih teliti agar PILKADA ini tidak mengulang kesalahan yang sama. Sebab, apa boleh buat, politik selalu berkaitan dengan praktek kotor yakni segala cara dihalalkan demi terciptanya kepentingan segelintir orang.
Dalam pemilihan kepala daerah kali ini terdapat dua pasangan calon yang akan bertarung untuk merebut kursi Bupati dan Wakil Bupati Kab. Maybrat periode 2017- 2022 yaitu Paslon Nomor Urut 1 atas nama Bapak Bernard Sagrim sebagai Calon Bupati dan Bpk. Paskalis Kocu sebagai Wakil Bupati serta di Paslon Nomor Urut 2 ada Bapak Karel Murafer sebagai Calon Bupati dan Bapak Yance Way sebagai calon Wakil Bupati.
Pesta demokrasi seharusnya menjadi ajang yang sakral bagi setiap orang karena kehadirannya yang sekali diadakan dalam lima tahun. Seharusnya, menjadi momentum yang sangat berharga bagi masyarakat di mana suaranya bisa disalurkan sesuai hati nuraninya tanpa ada paksaan.
Namun, mungkin ini hanyalah khayalan saya yang tidak akan pernah terjadi dalam dunia politik. Begitulah kenyataan yang terjadi pada pilkada kali ini di Kab. Maybrat. Di kampung saya, sebut saja Kampung Faan yang jumlah DPT hanya 65 orang banyak sekali terjadi nuansa politiknya mulai dari suap menyuap, pencoblosan tidak diberikan kepada masyarakat, money politik, saksi dibayar, dan sebagainya. Praktek kotor ini juga hampir berlaku di seluruh wilayah Kab. Maybrat.
Akibat yang ditimbulkan dari praktek ini yakni keluarga saling benci, rakyat kecil yang menjadi alat propaganda, perkelahian dan permusuhan di mana-mana, makan minum tak tenang karena pikir siapa yang menang dan siapa yang kalah, menjadi bahan gosip di setiap wilayah, jadi bahan sindiran di media sosial, semua kalangan jadi pintar bicara politik baik yang masih buta huruf sampai orang dewasa dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, semua yang telah terjadi, apapun keputusannya kelak saya berharap kepada semua pihak untuk mampu menerima keputusan ini dengan penuh rasa syukur karena siapa pun pemimpinnya dia adalah ayah bagi anak-anaknya yakni rakyatnya sendiri. Akhir kata, jika laki-laki melihat politik dari segi peluang, keuangan, arti pendukungnya, ada unsur janji jabatan maka perempuan mampu melihat politik karena perasaannya, panggilan hati, dan kemauan pribadinya tanpa embel-embel janji politik.
Dan mereka yang berjalan karena bisikan hati nurani tidak pernah kalah dari kekuatan basa basi karena perjuangannya tulus untuk kepentingan umum bukan satu atau dua orang saja. Mau tahu buktinya? Tanyakan saja pada tiga perempuan hebat yang ada di kampung Faan, mereka akan menceritakan kisahnya.
* Penulis adalah Mahasiswi Papua, asal Kab. Maybrat
Editor: Frans Pigai
KPP Buat Kegiatan Baru yang Merangkul Kebersamaan Mahasiswa Papua Jogja
By Kabar Mapegaa 3:41:00 AM BERITA , Perempuan Papua.
Seusai Mahasiswi yang tergabung dalam KPP menyajikan makanan kepada mahasiswa Papua yang hadir. Minggu (16/04/2017) bertempat Aula asrama mahasiswa Papua (Kamasan I) Yogyakarta.(Foto: Manfred/K) |
Kegiatan yang dilakukan KPP bukan hanya sebatas mengisi perut semata, tapi lebih dari itu, yakni waktunya untuk tertawa, berbicara, dan saling memperlihatkan kasih sayang. Dan tentunya juga akan menjadi kenangan yang begitu menyenangkan dan tak terlupakan.
Kegiatan ini berlangsung di Aula asrama Papua (Kamasan I), Jln. Kusumanegara Yogyakarta, Minggu, (16/04/2017) pukul 18.00-20.30 WIB.
Dalam kegiatan tersebut, sedikitnya 30 mahasiswa dan mahasiswi Papua yang ikut serta . Mereka adalah mahasiswa yang berasal dari tujuh wilayah adat yang ada di Papua dan Papua Barat.
Terlihat meria, dan akrab. Makan bersama dari hasil masakan KPP, membuat mereka saling akrab dan saling mengenal satu sama lainnya.
Akhir dari kegiatan tersebut, mereka (KPP Jogja) mengnyusun program kerja mereka Kedepan dan membuka kesempatan untuk menyumbang ide kepada mahasiswa yang hadir. “Ibarat pejalan kaki yang lambat tapi pasti,” kata salah satu peserta KPP Roberta Muayapa.
Kegiatan serupa ini, rencananya akan diadakan di bulan-bulan yang mendatang.
Liputor: Manfred/KM
Peran Perempuan Dalam Perjuangan Pembebasan Nasional Papua
By Kabar Mapegaa 4:12:00 AM Diskusi , Perempuan Papua.
Ilustrasi.Ist |
Sweeping di Dogiyai Jangan Nakuti Mama-Mama Dogiyai
By Kabar Mapegaa 1:59:00 AM BERITA PAPUA , Perempuan Papua.
Tarik Pasukan gabungan dari Dogiyai.(Format-Papua) |
Diskusi Lepas: Poligami Masa Kini, Alasan Mendasar karena Ikut-ikutan
By Kabar Mapegaa 3:21:00 PM Diskusi , Opini , Perempuan Papua.
Saat diskusi berlangsung di kontrakan Moge, Semarang.(Foto: Shelly/KM) |
- Membutuhkan penerus keturunan: Kebanyakan laki-laki, menikah istri kedua dengan alasan ingin punya ketururan yang banyak. Karena sebagai seorang ibu atau ayah pasti punya anak untuk mewariskan apa yang dipunyai. Dilihat dari perfektif adat, keturunan ini sangat penting untuk penerus marga.
- Kurangnya pelayanan dari perempuan: Poligami itu kadang terjadi karena kurannya pelayanan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Poligami adaah perkawinan dua atau lebih istri. Lelaki ingin menikah lagi jika dalam rumah tangga kurang cinta kasih, pelayanan dan kenyamanan.
- Pengaruh lingkungan: Banyak orang ingin menikah istri kedua hanya untuk mencari nama. Yang namanya laki-laki selalu ingin punya yang lebih dan tidak ingin disaingi orang lain. Hal seperti itu terjadi pada saat penghasutan dari teman sejawat muncul.
1. Psikologis
Perempuan adalah manusia paling lemah yang seringya mengalah dan mengutamakan perasaan. Kondisi seperti ini membuat perempuan itu terkadang susah untuk mengatasi. Dari sisi psikologis, dengan adanya poligami, psikis perempuan tentunya sering terganggu
2. Kasih sayang
Poligmi itu menghancurkan kasih sayang. dengan adanya poligami, kasih sayang ayah terhadap anak dan istri akan terbagi.
3. Kesenjangan ekonomi
Sudah tentu dengan bertambahnya anggota keluarga, semakin banyak punya tanggung jawab yang harus ditanggung oleh keala rumah tangga.
4. Hancurnya rumah tangga
Dengan adanya poligami, kehidupan dalam rumah tangga tidak akan aman. Akan selalu merasakan kurang atas semua yang diberikan, dari kasih sayang sampai ekonomi rumah tangga hal sepeti itu akan mndtgkan banyak hal yang sebenarnya tidak diinginkan ada
5. Ketidakadilan
Seperti yang serintg terjadi, istri pertama dan anak-anaknya akan tersisi. Meskipun poligami berangkat dari kesepakan, perasaan seseorang itu hanya bia dilihat oleh tuhan. Sudah pasti ketersisihan akan ada di dalam.
Sebenarnya poligami itu merupakan salah satu penindasan terhadap perempuan. Dengan adanya poligami perempuan semakin tersisih. Kasih sayang yang berhak di dapatkan oleh perempuan dapat terbagi dengan adanya istri yang selanjutnya. Bukan hanya kasih sayang namun poligami itu membuat perempuan semakin tersiksa karena laki-laki sesungguhnya dalam mengambil tindakan seperti itu kebanyakan memikirkan perasaan.
Diskusi Lepas: Persoalan Perempuan Papua Lembah Baliem ditinjauh dari Ekosob
By Kabar Mapegaa 2:47:00 AM Diskusi , Perempuan Papua.
Suasana saat diskusi berlansung pada 22 Januari 2017 alu, bertempat asrama mahasiswa Baliem, Contat, Yogyakarta.(Foto: Yulia/KM) |
Suasana saat diskusi berlansung pada 22 Januari 2017 alu, bertempat asrama mahasiswa Baliem, Contat, Yogyakarta.(Foto: Yulia/KM |
Liputor: Manfred/KM
Ciuman Ibu Pertiwi kepada West Papua
By Kabar Mapegaa 2:10:00 AM artikel papua , Diskusi , Perempuan Papua. , suarah mahasiswa
Sedikit tentang sisnopsis yang telah disediakan oleh sutradara. Adapun diskusi yang terjalin:
Salah satu bentuk benda nasionalis yang terpapar jelas di dalam film tersebut adalah bendera bintang fajar. Bahkan pada pengatar film ini garin menyuting satu adegan alm. Theys Eluay mencium bendera ini sebelum adegan pertama dari film ini mulai. Adegan ini juga seakan memberi makna sebagai ciuman terakhir alm. Theisy dalam film sebelum akhirnya beliau dibunuh.
Ketika Theiys meninggal seakan situasi politik di Papua mengalami perubahan yang sangat dratis, kesedihan menyelimuti hati setiap manusia west Papua. Pemimpin bangsa kami telah pergi sekarang kami hanya bisa merajut mimpi, dengan ciuman itu juga sebagai simbol terjalin kemestraan, sehingga diwujudkan dengan peran Lulu Tobing yang kembali pulang dengan menumpangi kapal putih dengan hati gembira.
Namun, pesan lainnya bahwa ayah dari Arnold setelah sekian lama di hutan keluar dan menunjukan dirinya walaupun dirinya dalam ancaman dibunuh.
Sehingga jika mama (perempuan ) menangis maka tanah ini tidak akan keras lagi, tidak akan subur lagi melainkan pecek dan tidak dapat di olah.
Hal ini juga yang dapat mengikis rasa kepercayaan diri dari perempuan Papua, rasa minder yang mendalam. Namun pastor (di Gereja) memberikan saran untuk mengampuni dan hidup dengan cinta kasih.
[http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a027-02-562492_aku-ingin-menciummu-sekali-saja#.WE_dS7J97IU]
Tulisan ini dirangkum oleh KBPP -DIY, berdasasarkan diskusi saat peringati Hari Hak Asasai Manusia (HAM) 10 Desember 2016.
Eksistensi Masyarakat Ha-Anim
By Kabar Mapegaa 6:38:00 AM ARTIKEL , Diskusi , Perempuan Papua.
THE MAHUZEs.Ist |
Yogyakarta, (KM)--Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta telah melakukan diskusi seri ke VI, thema diskusi yang diangkat adalah Eksistensi Masyarakat Ha-Anim. Diskusi ini dilakukan pada selasa, 08 November 2016 di Asrama Putri Merauke Yogyakarta. Bentuk diskusi dilakukan dengan menyaksikan film dengan judul ‘The Mahuzes’ lalu diskusi bebas bersama perempuan-perempuan dari wilayah selatan Papua yang sementara berdomisili di Yogyakarta.
Peta Batas administratif Distrik, Kabupaten Merauke ,Papua |
Kunjungan Presiden Jokowi dan Mentri pertanian Dusun Wapko , Merauke , Papua [Mei ,2015] Dok. Internet. |
(http://kabar-mapega.com)
Ketua Sinode Papua Secara Resmi Buka Ret-Reat
By Kabar Mapegaa 8:15:00 PM BERITA PAPUA , Meepago , Perempuan Papua. , RELIGION , TERKINI
Ketua Sinode GKIP Saat Dijemput |
Dia berujar,Seluruh tanah papua terutama tanah mimika,sebelum kita juga belum lahir agama dulu masuk tanah mimika.
Hasil Diskusi: Penindasan Terhadap Perempuan Meepago Prespektive Suku Mee
By Kabar Mapegaa 11:25:00 PM Diskusi , Perempuan Papua.
Design: Ape Dumupa.Ist |
Yogyakarta, (KM)--Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta telah melakukan diskusi seri ke III tentang penindasan terhadap perempuan Meepago dalam prespektife suku Mee. Diskusi ini dilakukan Pada tanggal 16 september 2016 yang di mulai pukul 19.00 WIB sampai selesai, dihadiri sekitar 25 orang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Dorlince Iwoyau sebagai pemantik diskusi. Beliau memaparkan sejarah atau budaya suku Mee yang dituliskan oleh Mikael Tekege . Dalam pemaparaan materi diskusi, pematik juga menyelipkan bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktek ketidakadilan ini dilegitimasi atas nama adat.
Diskusi menjadi hangat setelah menyaksikan Film pendek yang berjudul ‘Perempuan Papua Menuju hari Esok’.
Film Perempuan Menuju Hari Esok
Film ini menceritakan Perjuanagn Mama-mama suku Mee, khususnya di kabupaten Paniai . Mereka sebagai tulang punggung rumah tangga. Di mana, seorang ibu bangun pagi ke kebun, pulang dari kebun masak, setelah masak harus mencari kayu bakar. Selain itu, beliau juga harus berjualan untuk mendapat uang sampingan sehingga dapat menunjang kehidupan keluarganya. Film tersebut juga menggambarkan , sosok laki-laki Mee sekarang yang memilih untuk tinggal diam di rumah, suka jalan-jalan, dan dia belum mengambil peran aktif sebagai sosok yang harus menafkai keluarga.
Diskusi menjadi hangat ketika beberapa kawan putri yang menyoroti permasalahan yang dihadapi mama-mama Mee dan sosok laki-laki zaman sekarang yang gagal menjalankan peran. Berulang kali dikatakan “hanya tau membuat anak, tidak tau bekerja di kebun, tidak bisa mencari kayu bakar, dia hanya tau membuat proposal setelah mendapat uang tidak tau uangnya dikemanakan, Entahlah, uang tersebut untuk mace paha putih dong ka? Atau bir di toko habis ka?, uang di hotel Bintang berapa atau hotel Melati apa? Hanya dong sendiri yang tau”.
Usai nonton, Maria Baru yang menjelaskan tentang bergesernya tanggungjawab seorang laki-laki Papua yang jaman dulu hingga sekarang. "Dahulu kita (orang papua) berada pada jaman komunal. Di mana zaman itu, banyak orang Papua belum mengenal perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan jadi semua pekerjaan dilakukan bersama, Namun berkembangnya zaman, ketika pemerintah masuk di tanah Papua, orang non Papua masuk, banyak pemekaran-pemekaran kabupaten baru, mempengaruhi pergeseran tanggungjawab seorang laki-laki Papua yang sejatinya menjadi tulang punggung keluarga," jelasnya.
Dalam film perempuan Papua menuju hari esok, juga mengangkat bagimana para mama dari Paniai diberi uang dana respek Rp. 15 juta.
Dana tersebut digunakan oleh mama untuk modal usaha dan simpan pinjam. Dalam film tersebut juga, menceritakan, kondisi pendidikan di Paniai. Banyak anak murid , tetapi anak murid ini harus menerima pelajaran dalam kondisi gedung yang tidak layak, seperti fasilitas gedung kelas tidak memadai. Bentuk gendung selayaknya gubuk-gubuk di perkebunan. Minimnya tenaga didik sehingga seorang guru harus mengajar dari kelas satu SD sampai kelas enam SD.
Marginalisasi terhadap perempuan di papua, terkhusus wilayah paniai dalam hal pendidikan, apalagi pendidikan adat.
Masyarakat suku Mee dulunya masih menganut pendidikan lisan melalui dekontruksi bahasa. Dimana anak-anak mereka diajarkan secara lisan namun terpisah antara perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki diajarkan oleh ayahnya tentang cara memburuh, membuat pagar, anak panah, perang, dan cara memutuskan sesuatu dalam keluarga dan masyarakat. Sementara perempuan diarahkan dalam cara memelihara ternak, bercocok tanam, memasak, merawat dan membesarkan anak.
Jadi, menueurt mereka, perempuan itu diarahkan dalam urusan dosmetik , sedangkan pengambilan keputusan adalah ditangan seorang perempuan.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan fomral datang dengan kurikulum yang berbeda dengan budaya masyarakat setempat membuat mereka merasa terbelakang. Dalam artian, masyarakat yang masih hidup dalam pendidikan lisan tidak dapat memahami pendidikan formal yang datang begitu saja tanpa mengetahui dahulu perkembangan pendidikan setempat. Dalam masa-masa ini juga, masyarakat suku Mee, khususnya perempuan masih termarginalisasi dalam hal pendidikan. Perempuan masih dianggap sebagai sumber uang utuk laki-laki bersekolah.
Masyarakat suku Mee disebut sebagai masyarakat agraria, masyarakat yang hidup dengan bertani dan berternak. Oleh sebab itu sebagian besar masyarakatnya memeliahara ternak seperti babi dan hewan ternak lainnya. Ternak babi sendiri mempunyai nilai ekonomi dan sosial yang dapat mengangkat martabat seseorang laki-laki, jika mempunyai babi yang banyak, Maka seorang perempuan Mee/istri , diharuskan untuk memelihara babi agar memperkaya laki-lakinya terjadi diskriminasi pada perempuan apalagi masih banyak aktivitas yang domestik yang dilakukan perempuan selain memelihara babi. Pendiskriminasi itu kita bisa lihat dari seorang perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia bertugas di dalam dan luar rumah utuk mempertahankan kehidupannya sendiri maupun anak dan suaminya.
Sisi Kesehatan
Diskriminasi dalam pembagian kerja dalam kehidupan sehari-hari juga mengganggu kesehatan kaum perempuan suku Mee, perempuan yang sudah memiliki suami atau sering disapa Mama-mama, harus bekerja tiga kali lipat dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari. Hal yang memprihatinkan adalah ketika perempuan tersebut memiliki bayi dan beberapa orang anak, mereka harus memenuhi kebutuhan semua anaknya juga menyusui bayinya. Padahal kenyataannya asupan gizi seperti untuk ibu dan stamina tidak memungkinkan hal ini berjalan dengan baik. Namun inilah bentuk perjuangan tanpa batas untuk melampaui batas-batas pemikiran sebagai idealnya perempuan mee. Namun sebenarnya jika tidak diperhatikan dengan baik kondisi kesehatan Mama maka anak juga rentan terserang penyakit Flu, diare , dan beberapa penyakit lainnya.
Tantangan terbesar lainnya yang dialami oleh Mama-mama bahkan perempuan suku Mee hingga hari ini adalah adalah Penyakit HIV/AIDS.
Penyakit ini tidak pernah dibayangkan dan dimengerti oleh masyarakat mee pada umumnya, namun akibat perubahan yang mengatasnamakan pembangunan dan aktivitas seksual yang tidak pada tempatnya membuat mama-mama dan perempuan menjadi korban.
Lingkungan hidup perempuan mee sangat berkaitan dengan alam. Alam menjadi sumber kehidupan. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan setelah perubahan sosial masyarakat hadir, yakni metode mengelola ternak.
Metode Mengelola Ternak
Pada film terekam masih ada ternak babi yang berkeliaran di jalan raya. Pada saat hewan tersebut mengeluarkan tinja di sembarang tempat dapat menjadi sumber penyakit akibat bakteri yang berkembang biak di dalamnya, apalagi terlihat kebanyakan masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki tanpa menggunakan pengalas kaki.
Hal ini patut menjadi perhatian kita bersama. Masalah baru dikemudian hari, jika babi yang dibiarkan tidak dikandangkan ini ditabrak oleh kendaraan. Karena sudah banyak pengguna kendaraan. Jika babi tertabrak hingga mengakibatkan kematian, maka akan kena ‘denda’ atau ganti rugi ternak tersebut. Denda juga sering menimbulkan ketegangan antara masyarakat pengguna kendaraan dengan peternak babi.
Permasalahan yang dialami oleh perempuan suku Mee sampai hari ini merupakan permasalahan yang dihadapi perempuan papua ditempat yang berbeda. Masalah cultural, patriarki (kekuasaan kaum bapak) serta dampak –dampak sosial yang mengatasnamakan pembangunan menyudutkan atau memarginalisasi keberadaan perempuan Papua.
Solusi yang ditawarkan dalam diskusi ini adalah perempuan harus berani untuk meraih pendidikan secara formal setinggi –tingginya, perempuan juga dituntut untuk lebih kritis dan jeli dalam mengenal bentuk-bentuk perilaku tidak adil padanya tanpa melupakan identitasnya sebagai perempuan papua.
Perempuan papua juga lebih aktif dalam kegiatan belajar informal untuk menambah kemampuan lain yang tidak diberikan di pendidikan non formal.perempuan papua juga dituntun harus bisa merangkul menjadi solusi atas ketidak adilan yang dialami semua perempuan di wilayah papua. Dikutip dari film “perempuan menuju hari esok”.
‘Peningkatan kapasitas kaum perempuan pada gilirannya akan meciptakan perkembangan hidup masyarakat papua secara umum’
Hasil diskusi oleh Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta, diterima oleh Kabar Mapegaa.