Siaran Pers LBH Yogyakarta Terkait Refresifitas Demokrasi dan Penangkapan Paksa Aksi FRI West Papua
By Kabar Mapegaa 9:04:00 PM BERITA , LBH
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.(Doc.Ist) |
Yogyakarta, (KM)-- Menyikapi adanya Refresifitas terhadap demokrasi di Yogyakarta; Penangkapan paksa dan penahanan terhadap Aksi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) pada , Kamis (01/12/16) lalu di Nol Kilo Meter / Malioboro. Maka hari ini (03/12/2016), Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Yogyakarta mengeluarkan statemen resmi dalam siaran persnya yang diterima media ini, sebagai berikut ini:
SIARAN BERITA
(untuk dapat segera disiarkan seluas luasnya)
REPRESIFITAS Terhadap DEMOKRASI DI YOGYAKARTA: Penangkapan paksa dan penahanan terhadap Aksi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua)
Sebanyak 14 aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) ditangkap paksa pihak kepolisian Kota Yogyakarta saat sedang memulai aksi solidaritas mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) West Papua di Parkir Abu Bakar Ali, pada Hari Kamis 1 Desember 2016. Massa aksi sempat melangsungkan aksi bertahan karena dihadang kelompok reaksioner FKPM Paksi Katon, Pemuda Pancasila (PP) dan FKPPI, hingga akhirnya ditangkap secara paksa dan ditahan oleh Polresta Yogyakarta. Setelah hampir 7 jam ditahan, dengan dorongan puluhan massa yang datang bersolidaritas untuk pembebasan aktivis tersebut -- bersama advokasi tim PBH LBH Yogyakarta dengan pelbagai individu, akhirnya 14 Aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) DIBEBASKAN.
FAKTA-FAKTA TINDAKAN KEKERASAN DAN REPRESI APARAT KEPOLISIAN BERSAMA KELOMPOK MILISI REAKSIONER:
- Sebelum aksi dimulai sekitar pukul 12:15, represi dari pihak kepolisian terhadap ruang demokrasi sudah dilakukan sebelum aksi dimulai. Kepolisian bersikeras agar aksi tidak boleh dilaksanakan. Hal ini dinyatakan langsung saat proses negoisasi dengan koordinator lapangan yang didampingi Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta. Bagi massa FRI-West Papua, aksi tetap dapat dilakukan karena Indonesia menjunjung demokrasi. Massa aksi tetap melaksanakan aksi sebagai bentuk perjuangan demokrasi.
- Pada pukul 13:00, aparat kepolisian bersama dengan puluhan anggota kelompok reaksioner berbaris menghadang di depan massa aksi FRI-West Papua dan kemudian merampas atribut massa. Tidak lama kemudian muncul komando dari kepolisian untuk menangkap massa aksi. 14 orang dari massa aksi ditarik paksa ke dalam truk dan dibawa pergi ke Polresta Yogyakarta. Selain 14 orang yang ditangkap, tiga Pengabdi Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sempat turut ditahan saat mendampingi aksi tersebut. Namun kemudian, PBH LBH Yogya bersama dorongan massa pro demokrasi yang hadir untuk mendorong dibebaskannya aktivis FRI-West Papua.
- Pada saat proses penangkapan paksa, massa aksi dibawa dengan truk polisi. Massa aksi di dalam sempat bingung, hendak dibawa kemana, karena rute yang diambil oleh pihak kepolisian memutar dari Abu Bakar Ali hingga melalui Prawirotaman, Jl. Parangtritis kemudian melewati Ngabean hingga tiba di ke Polresta Yogya. Perjalanan tersebut diiringi dengan riuhnya sirine yang dibunyikan tanpa henti serta iring-iringan mobil polisi dan menimbulkan kemacetan. Hal yang tidak biasa ini kemudian dikonfirmasi PBH LBH Yogyakarta kepada pihak kepolisian. Hal tersebut dikatakan harus dilakukan untuk menghindari bentrok dengan milisi reaksioner.
- Perlakukan aparat kepolisian kepada massa aksi justru menunjukkan represi dan intimidasi. Dalam penangkapan paksa ini, massa aksi diantaranya mendapat perlakuan kasar, pemukulan, penonjokkan yang mengakibatkan mulut berdarah, diinjak di perut, perampasan tas, HP, buku dan dompet, ditendang, diteriaki.
- Menurut keterangan dari Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta, aksi massa solidaritas FRI-West Papua yang ditangkap paksa dan ditahan dikenai pasal 218 KUHP junto Pasal 15,16,17 UU No. 9 Tahun 1998, diantaranya perkara izin melakukan aksi. Sehari sebelumnya, FRI-West Papua sudah melayangkan surat pemberitahuan ke Polresta Yogya, namun ditolak dikarenakan tidak ada staff intel di lokasi. Lalu, pada pagi hari sebelum aksi, surat pemberitahuan sudah dilayangkan kembali, namun juga ditolak. Upaya FRI-West Papua tidak dinilai sebagai memenuhi tata tertib pemberitahuan aksi massa dikarenakan belum lengkap administrasi. Padahal hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat merupakan salah satu hak mendasar dalam demokrasi dan dijamin konstitusi. Sementara dalam wilayah teknis, tidak diperlukan perizinan untuk melakukan aksi massa, yang diperlukan adalah pemberitahuan.
- Setelah negosiasi alot sekitar 7 jam, akhirnya 14 aktivis dibebaskan. Berikut nama aktivis pro demokrasi yang ditangkap : 1. Reza (LSS), 2. Kukuh (KPO PRP), 3. Gevan (Pembebasan), 4. Opan (PMD), 5. Randi (Pembebasan), 6. Adli (Pembebasan), 7. Danial (PPRI), 8. Opik (PMD), 9. Asrul (Pembebasan), 10. Andi (Pembebasan), 11. Aroek (PMD), 12. Tata (PMD), 13. Edi (Pembebasan), 14. Yamin (Pembebasan)
Dukungan mengalir sejak kabar penangkapan dan penahanan massa aksi FRI-West Papua tersebar. Massa solidaritas yang hadir membawa atribut dukungan untuk menuntut bebaskan aktivis FRI-West Papua dan memperlihatkan dukungan nyatanya juga turut dirampas atributnya, diintimidasi dan dilarang untuk melakukan aksi dukungan oleh pihak kepolisian. Selain itu, massa solidaritas juga diancam akan ikut ditahan oleh Kepolisian apabila tetap meneruskan aksi. Massa aksi solidaritas yang menuntut agar aktivis FRI-West Papua dibebaskan, tetap bertahan hingga adanya kepastian bebas dan dapat bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan.
Aksi FRI-West Papua Yogyakarta juga merupakan aksi solidaritas serentak merespon Aksi Nasional AMP dan FRI-West Papua di Jakarta memperingati Tanggal 1 Desember sebagai Hari Kemerdekaan bagi bangsa West Papua. Aksi solidaritas ini dilakukan di kota Surabaya, Bandung, Ternate, Tarakan, Morotai, Kupang, Palu, Poso, Makassar, Sinjai, Ambon, yang juga mendapatkan represi, penangkapan, meski akhirnya dibebaskan. Di Jakarta, sebanyak 203 massa aksi FRI-West Papua dan AMP sudah dibebaskan.
Oleh karena itu, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) menyatakan:
- Mengecam tindakan pemberangusan ruang demokrasi, penangkapan paksa dan penahanan pada Aksi damai FRI West Papua untuk menyatakan dukungan dari rakyat Indonesia terhadap HMNS bangsa Free West Papua dan aksi dukungan tegaknya demokrasi dan kebebasan berpendapat serta menyatakan pendapat pada Aksi Menuntut Dibebaskannya 14 Aktivis di Polresta Yogya, dll.
- Mengecam pelanggaran terhadap hak impunitas Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogya yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Kota Yogyakarta.
- Hentikan Kriminalisasi terhadap aktivis, petani, buruh, dan lain-lain yang berjuang untuk hak demokratik.
- Mengutuk represi aparat kepolisian yang bekerja sama dengan kelompok reaksioner dalam ruang demokrasi dimanapun.
- Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) merupakan Hak Demokratik.
- Menyerukan persatuan rakyat tertindas dan seluruh elemen pro demokrasi untuk memperjuangkan demokrasi yang seutuh-utuhnya.
- Menyerukan kepada seluruh rakyat dan gerakan pro demokrasi, pro HAM, untuk memperjuangkan hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat di depan umum.
Kembali menyerukan tuntutan :
- Mendukung penuh Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) sebagai solusi demokratis bagi Bangsa West Papua.
- Mendukung ULMWP untuk menjadi anggota penuh di MSG, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di PBB.
- Bebaskan Kawan Obby Kogoya yang dijadikan tersangka pada kasus pengepungan Asrama Kamasan di Yogyakarta.
- Lawan rasisme dimanapun dan kepada siapapun.
- Lawan kriminalisasi dan bebasakan seluruh napol maupun tapol di West Papua.
- Tarik aparat militer organik maupun non organik di West Papua.
- Buka ruang demokrasi seutuh-utuhnya untuk rakyat West Papua.
- Sebagai syarat yang tak terpisahkan bahwa militer organik dan non organic di west papua harus di Tarik agar referendum di west papua dapat berjalan secara damai, adil, dan tanpa tekanan.
- Kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi Bangsa West Papua harus di buka seluas-luas mungkin dan dijamin.
- Kami menolak intervensi Imperialisme dalam proses perjuangan demokratik West Papua.
- Kami juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan Bangsa West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.
- Kami menolak politik rasial yang dilakukan oleh NKRI dan TNI/POLRI bahkan Kelompok reaksioner milisi sipil reaksioner secara sistimatis dan massif terhadap Bangsa West Papua di Indonesia secara menyeluruh dan Yogyakarta secara khusus.
- Mendorong penyelesain seluruh kasus pelanggaran HAM di West Papua.
- Mendukung perjuangan pembebasan perempuan di West Papua.
- Pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis, transportasi murah dan massal untuk perjuangan demokrasi bagi Bangsa West Papua.
Narahubung
+6285888437047 (FRI-West Papua)
+6282199507613 (LBH Yogyakarta - Emanuel Gobay)
Liputor: Manfred/KM
+6285888437047 (FRI-West Papua)
+6282199507613 (LBH Yogyakarta - Emanuel Gobay)
Liputor: Manfred/KM
LBH Kyadawun “Polisi jangan melakukan tindakan yang melawan hukum”
By Kabar Mapegaa 5:00:00 AM BERITA PAPUA , LBH , PELANGGARAN HAM
Ilustrasi penganiayaan (Foto: Istimewa) |
Semarang, (KM)- Keluarga Korban Simon Warikar, warga sipil yang menjadi korban penganiayaan oleh oknum polisi itu, telah melakukan penyelidik oleh Polres Biak pada 07 September 2016 tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kyadawun GKI Klasis Biak Selatan menuntut keadilan hukum, dan Polisi Jangan melakukan tindakan yang melawan hukum.
Dari kantor LBH Kyadawun, Gki Klasis Biak Selatan, Jln. A Yani No 11, Fandoi Kabupaten Biak Numfor/Telp 081247458717 kepada Kabar Mapegaa menerima laporan yang juga sebagai press release, Rabu, (13/09) sebagai berikut:
Pertama, Pemeriksaan terhadap Saksi Korban telah dilakukan oleh penyidik Polres Biak pada Hari Rabu 07 September 2016, di rumah dari Saksi Korban Simon Warikar, namun dalam hal ini kami Tim Kuasa Hukum Menyangkan Sikap dari Para Penyidik Polres Biak Numfor yang tidak berkordinasi dengan kami lebih dahulu sebelum mengambil keterangan kepada Saksi Korban Simon Warikar, sehingga kami tidak mendampingi saksi korban saat memberikan keterangan kepada para penyidik, sehingga menurut kami hal ini telah mencederai Proses Hukum ini, Saksi Korban sendiri yang menjadi Korban sebenarnya masih mengalami Rasa Trauma yang cukup dalam sehingga harus dilndungi.
Kedua, Kami keluarga korban dan kuasa hukum pikir cukup jelas, Penyidik Polres Biak telah mencedarai dan melanggar undang-undang No 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 3 Perlindungan Saksi dan Korban memliki asas: a) Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, b) Rasa Aman, c) Keadilan, d) Tidak diskriminatif dan dan e) Kepastian Hukum.
Ketiga, Pasal 5 ayat 1 bagian a, c, e dan l undang-undang No 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Korban Berhak: a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan, c) Memberikan keterangan tanpa tekanan , d) Bebas dari pernyataan yang menjerat, dan e)mMendapat Nasihat Hukum.
Keempat, Kami pikir cukup jelas bahwa Saksi Korban Simon Warikar bukanlah saksi biasa tapi merupakan saksi yang juga menjadi korban, sehingga membutuhkan perlindungan dan juga rasa aman saat pemeriksaan (saat memberikan keterangan didepan Penyidik) yang dimanatkan undang-undang No 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban , namun yang terjadi Saksi Korban diperiksa tanpa kehadiran kuasa hukum saksi Korban, kami LBH Kyadawun juga mendapat Surat Kuasa untuk mendampingi Korban dalam setiap Proses hukum yang dijalani saksi korban, namun dalam hal ini kami rasa tidak ada penghargaan bagi Proses hukum yang sedang berjalan, kami harap Kapolda dalam hal ini memberikan Pengawasan yang cukup ketat kepada Para Penyidik dalam hal ini Penyidik Kasus Simon Warikar untuk tidak mencederai Proses Hukum yang sedang berjalan.
Kelima, Dalam hal ini kami LBH Kyadawun GKI Klasis Biak Selatan selaku Kuasa Hukum Saksi Korbandan Keluarga, menegaskan bahwa:
- Kami Kuasa Hukum Saksi Korban dalam hal ini LBH Kyadawun GKI Klasis Biak Selatan bersama Keluarga Korban Simon warikar Meminta Kapolri dan Kapolda Papua Mengawasi Proses Hukum yang sedang Berjalan sampai pada Penuntasan Kasus ini.
- Kami mendorong agar setiap Saksi Yang Terlibat didalam Kasus ini segera dipanggil dan dimintai Keterangan guna mendorong Proses hukum ini,karena hemat kami sudah cukup alat bukti bahwa telah terjadi Tindak Pidana Penganiyaan Berat Terhadap Korban Simon Warikar, sehingga Proses ini segera dilanjutkan sampai pada tingkat Penuntutan di Kejaksaan dan Tingkat Pengadilan.
- Kami mendorong Penyidik Polres Biak Numfor segera menerbitkan surat Perintah Penahanan kepada Tersangka, sebelum masa penahanan 21 hari berakhir yang telah dijatuhkan pada sidang disiplin.
- Kami Mendorong Setiap Lembaga dalam Hal ini, DPRD, DPRP, DPRI KOMNAS HAM, KOMPOLNAS, OMMBUDSMAN, YLBHI, ELSHAM, SEPAHAM, KONTRAS JAKARTA, GEREJA-GERJA di Papua, DEWAN ADAT PAPUA dan Setiap Lembaga lainnya, agar mengawasi, mendorong Proses Hukum kasus ini sampai pada Penuntusan Kasus ini di Pengadilan dan Kode Etik.
Sementara itu, Dewan Adat Papua (DAP) juga minta agar polisi profesional jangan melakukan tindakan yang melawan hukum, aneh penegak hukum ko tidak menaati aturan hukum, saksi korban itu wajib didampingi pengacara, ini maksudnya apa kalo tidak dibritau, jangan utk memutar balik fakta atau melindungi anggota polisi yang jadi pelaku.
Pewarta: Yohanes M. Agapa
Editor : Manfred Kudiai
Laporan LBH DIY: Polisi Praktekkan Penanganan Anarkis dan Penanggulanggan
By Kabar Mapegaa 7:07:00 PM Aksi Demo Damai , LBH
Logo LBH.Ist |
Yogyakarta, (KM)--Huru-hara secara ilegal terhadap mahasiswa Papua untuk membangun diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumat, (15/07/2016).
"Adili Polisi Pelanggar Kode Etik dan Pelaku Pelanggaran Hak Konstitusi Mahasiwa Papua"
Indonesia adalah negara hukum sehingga perlindungan HAM adalah tanggungjawab negara melalui pemerintah sesuai dgn pasal 28 i ayat (4), UUD 1945. Dalam rangka menjamin HAM warga negara, negara telah memberikan mandat kepada pihak kepolisian sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum di dlm masyarakat.
Salah satu hak konstitusi adl hak menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimn dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta UU HAM dan terkait mekanismenya dijamin dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat dimuka umum.
Berdasar realitas ketidakadilan struktural yg terjadi di Papua selanjutnya mahasiswa Papua menggunakan hak konstitusi untuk mengembangkan diri melalui pendidikan (Psl 28 c ayat 1, UUD 1945) selanjutnya berjuang memajukan diri dalam perjuangan kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negara (Pasal 28 c ayat 2, UUD 1945) dengan cara melawan ketidakadilan di Papua menggunakan hak berserikat berkumpul berdiskusi dan menyatakan pendapat dimuka umum merupakan perjuangan kostitusional yang wajib didukung dan dilindungi oleh seluruh warga negara dan terlebih khusus pihak kepolisian yg bertugas untuk melindungi HAM.
Meskipun demikian sejak awal tahun 2016 hingga tanggal 14 Juli 2016 perjuangan konstitusi yang dilakukan mahasiswa papua di DIY didiskriminasikan dengan berbagai bentuk dan bahkan direpresi oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) sehingga hak demokrasinya berjalan tidak maksimal.
Berdasarkan data yang ada, beberapa tindakan pelanggaran hak konstitusi oleh polisi terhadap mahasiswa papua di DIY, sebagai berikut :
1.Pengepungan asrama papua oleh polisi pada bulan April 2016;
2. Represifitas aparat (polisi) pada aksi mimbar bebas di depan asrama 2 Mei 2016 n 30 Mei 2016;
3. Pengepungan asrama oleh polisi pada tanggal 14 Juni 2016 dan represifitas sebelum dan saat aksi 16 juni 2016
4. Pengepungan asrama papua oleh polisi pada tanggal 1 Juli 2016, tgl 13 Juli 2016; dan
5. Yang terakhir adalah pembungkaman ruang demokrasi pada tanggal 14 Juli 2016 oleh ratusan aparat Polri lengkap menggunakan senjata dan mobil water canon yg dihadapkan tepat di depan pagar asrama.
Dalam rangka mewujudkan tindakan ilegal yang berujung pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi terhadap mahasiswa Papua.
Awalnya dimulai dari sikap kasatintelkam yang menerima surat pemberitahuan dari mahasiswa Papua selanjutnya pihak intelkam memberikan "Surat Tanda Terima Pemberitahuan", namun didalamnya terkait rute diubah sehingga arahnya berbeda dengan rencana dalam surat pemberitahuan yang diserahkan.
Sikap kasatintelkan itu jelas-jelas melanggar UU No 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum sebab pada prinsipnya polisi menyesuaikan dengan rute yang ditetapkan disampaikan dalam surat pemberitahuan. Fakta perubahan rute itulah yang dilakukan kasatintelkam saat aksi demonstrasi mahasiswa papua pada tanggal 14 juni 2016 lalu sehingga membuka peluang polisi melakukan tindakan represis.
Hal pelanggaran UU No 9/1998 kembali dilakukan oleh kasatintelkam polresta Yogyakarta kepada mahasiswa papua pada tanggal 13 Juli 2016 kemarin namun kali ini beliau menyalah-artikan isi pasal 10 ayat (3), UU No 9/1998 dimana perihal pemberitahuan disampaikan 3X24 jam sebelum kegiatan, diartikan menjadi 7X24 jam sebelum kegiatan. Melalui sikap itu salah satunya telah melahirkan tindakan represif tanggal 14 Juli 2016 kemarin.
Sikap kepolisian itu sangat kelewatan dan bahkan berlebihan serta jelas-jelas melanggar HAM dan Perkap No 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam tugas Polisi.
Selain itu, Pengerahan pasukan untuk penggepungan serta tindakan represifitas polisi terhadap mahasiswa papua sendiri perlu dipertanyakan terkair apa dasar hukum yang dilanggar oleh mahasiswa Papua sehingga polisi seenaknya melakukan tindakan tidak profesional dan melanggar hukum secara beruntun dari awal 2016 hingga 14 juli 2015 lalu, sebab jika hanya menyampaikan pendapat di muka umum itukan hak demokrasi yang dijamin dalam UUD 1945, UU HAM dan UU No 9/1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kok sikap polisi sanggat berlebihan seperti itu.
Berdasarkan tupoksi kepolisian sebenarnya polisi melindungi dan memfasilitasi tersalurnya hak berdemokrasi dan berekspresi bagi mahasiswa papua dan masyarakat sipil di Jogja, namun karena faktanya demikian maka pertanyaannya adalah apakah polisi melindungi HAM atau tidak jika pendekatannya demikian?
Berdasarkan sikap polisi sejak awal 2016 hingga 14 Juli 2016 terhadap mahasiswa Papua dengan menggunakan peralatan seperti senjata lengkap serta wotercanon diatas menunjukan bahwa sikap polisi membuat ketidaknyamanan dan justru semakin membuat masyarakat sekitar khawatir.
Berdasarkan semua sikap dan tindakan polisi diatas dapat disimpulkan bahwa ada tujuany terselubung dari semua sikap polisi terhadap mahasiswa Papua diantaranya:
1) Membungkam perjuangan kostitusional mahasiswa papua dan
2) Membangun streotip untuk mendiskriminasikan mahasiswa papua baik atas dasar rasis, tindakan, pandangan dan bahkan dalam penegakan hukum dengan tujuan menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi secara struktural terhadap mahasiswa Papua dan memfasilitasi terjadinya konflik sosial antara mahasiswa Papua dengan warga sipil Yogyakarta berdasarkan diskriminasi yang dibangun secara struktural oleh polisi di DIY.
Pada prinsipnya sikap dan pendekatan polisi terhadap mahasiswa papua dan perjuangan HAM yang merupakan hak konstitusinya dari awal 2016 hingga 14 Juli 2016 kemarin, semakin membuat situasi DIY tidak tenang dan tentunya semua sikap polisi terhadap mahasiswa Papua telah membuat warga DIY kuatir sebab mahasiswa papua tidak melakukan tindakan yg melanggar hukum. Justru polisi yang melanggar HAM karena:
Pertama, telah melakukan teror melalui penggepungan tanpa sebab.
Kedua, Melakukan tindakan represif secara struktural dan membatasi hak menyampaikan pendapat dimuka umum; serta
Ketiga, Menyalah gunakan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2010 tentang tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penanggulanggan huru-hara. Serta Protap Kapolri No 1/X/2010 ttg Penangganan Anarkis. Pada saat yang tidak terjadi huru hara dan anarkis.
Harapannya, hal-hal yang tidak profesional yang dilakukan oleh anggota polisi itu wajib ditindak tegas oleh PROPAM sebab jika tidak ditindak maka akan semakin meresahkan kenyamanan warga Yogyakarta serta akan mengubah citra Polisi dari pelindung, pengayom dan penegak hukum sebagai pengacau kenyamanan warga Yogyakarta, pemulus terjadinya konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta dan pelanggar HAM secara sistematik di DIY.
Berdasarkan hal-hal diatas maka diharapkan bagi seluruh warga yogyakarta untuk bersatu menyelamatkan perjuangan konstitusional dari aparat yg tidak profesional demi wujudkan ruang demokrasi yang nyaman tanpa diskriminasi diwilayah DIY.
Selanjutnya diharapkan agar seluruh warga dengan tegas mempertanyakan "dana penggerahan pasukan" yg giat dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap mahasiswa papua menggunakan implementasi Protap No 1/X/2010 ttg penangganan anarkis dan Perkap No 8/2010 ttg tata cara penanggulanggan huru hara, pada saat tidak anarkis dan tidak huru-hara dalam perjuangan hak konstitusional yang dilakukan oleh mahasiswa Papua dan masyarakat sipil di Yogyakarta.
Untuk diketahui bahwa Diskriminasi Rasisme adalah Penyakit dalam kebinekaan. Jangan biarkan polisi yang tidak profesional gunakan alat negara dengan pendekatan yang ilegal untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta.
Satukan pandangan untuk selamatkan hak konstitusional dari ancaman diskriminasi di Yogyakarta
Laporan Lembaga Badan Hukum LBH Daerah Istimewa Yogyakarta kepada wartawan Kabar Mapegaa, siang ini, Pukul 11,00 WIB.
Pelapor: Emanuel Gobay - LBH
Pewarta: Manfred Kudiai