Krisis Kemanusiaan di Rohingya dan Papua
By Kabar Mapegaa 1:28:00 PM ARTIKEL , artikel papua , PELANGGARAN HAM
Foto: Dok, Piet N. Y/KM |
Oleh: Piet Nomouyebi Yobee
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.Com – Nilai kemanusiaan di hadapan hukum, HAM, religi sama. Dengan kesamaan itulah kami hendak membunyikan kalimat ini kehadapan publik.
Pandangan Umum
Nilai kemanusiaan di hadapan hukum, HAM, religi sama. Dengan kesamaan itulah kami hendak membunyikan kalimat ini kehadapan publik. Agar dapat memahami, meneliti serta mentransferkan kedalam aplikasi yang kongkrit. Disitulah kita bisa menemukan jati diri, keselamatan dari krisis kemanusiaan yang di alaminya. Walaupun pada era seperti kini, manusia di hadapan manusia di pandang musuh, tidak setara, rendah.
Akibatnya manusia lain di intimidasi, di lecehkan saat itulah kebutuhan akan manusia harus di hargai. Setidaknya, memberikan perlindungan, bantuan sebagai sesama manusia.
Apa yang terukir di dalam kerukunan hidup manusia? a) Saling menghargai antar sesama manusia. b) Membuang seteru diantara mereka. c) Tindakan menjalin kembali hubungan mereka (Re-Connection act). d). Melahirkannya upaya musyawarah. e). Mengakui kembali (admitted) sebagai bagian integralnya. Itu sekadar sambungan bahasa penulis berkaitan dengan pandangan ilmiah dan umum. Karena masalah HAM dan kekerasan terhadap kemanusiaan adalah masalah umum. Ia melintasi domestik, regional, multilateral internasional.
Etnis Rohingya dan Kekerasan Militernya
Kasus rohingya pada saat ini dimana pemerintah indonesia semakin cepat menanggapi persoalan itu seakan masalah domestiknya. Atas nama kemanusiaan kita bisa turun tangan kesana untuk membantunya. Tetapi, pemerintah Indonesia terlalu campur tangan ke pemerintah Myanmar.
Penulis ingin sekali muatkan hasil temuan yang mana terdapat. http://www.kompasiana.com/yoserevela/59ac41cb7cb86418567914a2/sisi-lain-krisis-kemanusiaan-rohingya. Masalah orang Rohang yang saat ini (masih) terjadi, sebetulnya lebih rumit dari yang terlihat dari luar. Karena, masalah yang menimpa orang Rohang ini bukan hanya masalah tindak persekusi, yang dilakukan kaum ekstremis kelompok mayoritas (pemerintah Militer Myanmar yang didominasi penganut agama Buddha), terhadap minoritas (orang Rohang yang beragama Islam).
Faktor pemicu masalah orang Rohang lainnya adalah, melimpahnya potensi kekayaan alam berupa migas di Rakhine Utara, salah satu wilayah termiskin di Myanmar. Kekayaan melimpah ini, mampu menarik minat perusahaan migas lokal maupun asing (misal AS, Inggris, Tiongkok, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dll) untuk mengolahnya secara besar-besaran. Menyadari potensi pemasukan besar ini, pemerintah Myanmar lalu gencar mendorong pengusiran orang Rohang, supaya lahan yang dapat diolah makin luas. Inilah yang membuat banyak negara terkesan 'diam' soal masalah kemanusiaan orang Rohang.
Etnis rohingya (warga negara Myanmar) yang mengungsi besar-besaran ke negara tetangganya bangladesh. Itu merupakan suatu perintah dan otoritas berbentuk juntah militer yang berlaku di Myanmar. Jikalau pemerintah Indonesia terlalu campur tangan kesana secara lebih juga akan mengundang citra buruk hubungan antara kedua pemerintahan ini.
Pada akhirnya simpatisan pemerintah Indonesia saat-saat ini semakin memukul berat kepada pemerintah Myanmar atas krisis kemanusiaan yang sedang di alami oleh masyarakat myanmar etnis rohingya. Itu hal terbaik yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi bagaimana dengan masalah yang di hadapi dalam negeri Indonesia (domestik) sendiri itu memang tidak sadar benar. Seharusnya kekerasan Militer NKRI sendiri kepada rakyat West Papua itulah yang harus fokus tuntaskan segera.
Krisis Kemanusiaan West Papua
Masih ada banyak masalah-masalah yang harus NKRI segera selesaikan dalam negaranya sendiri (domestik) yakni krisis kemanusiaan yang di alami masyarakat Papua. Kami mengutuk keras dan mendesak kepada pemerintah NKRI. Atas semua tindakan krisis kemanusiaan, pendekatan militer, operasi-operasi militer, pelanggaran HAM yang di lakukan oleh NKRI kepada masyarakat West Papua.
“Memaksa orang bangun, tetapi dirinya dirinya belum tentu bangun setiap hari pagi-pagi benar. Malah dirinya itulah yang paling lambat berangkat bekerja (paling sering siang benaran bangunnya)”.
Persepsi mirip demikianlah yang NKRI lakukan, masalah domestik seperti krisis kemanusiaan West Papua mirip seperti masyarakat rohingya. Tetapi, sampai saat ini NKRI belum membuka diri untuk menyelesaikan dengan baik krisis kemanusiaan yang di alaminya di West Papua. sehingga tindakan NKRI di Myanmar adalah tindakan ada-ada saja.
NKRI lakukan upaya hulu dan hilir untuk demi perdamaian atas krisis kemanusiaan yang di alami oleh etnis rohingya. Namun, sampai saat ini kami belum pernah menemukan upaya yang di lakukan oleh pemerintah NKRI untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang di alami oleh masyarakat Papua demi kemanusiaan.
NKRI masih mempertahankan upaya pembiaraan krisis kemanusiaan yang di alami oleh masyarakat West Papua. intinya NKRI mengejar dan kerinduan mengelola kekayaan alam Papua berlimpah ini.
Kekerasan Negara dan Pembunuhan Kilat Saat Ini
Baru-baru ini semakin genjar dan di kejutkannya mayat orang mati dan terdampar di pelabuhan Aikai Enarotali Paniai. Serta pembunuhan kilat lain yang semakin hari semakin menoreh dan mengoreskan pada pendataan HAM semakin bertambah pula. Sebelumnya menjelang tanggal peringatan kemerdekaan NKRI saja sudah di kejutkan Penembakan yang dilakukan dengan peluru kaliber PIN 5,56, bukan peluru karet.
Di Kabupaten Dogiyai, 20/1, 2017, beberapa oknum polisi melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap Ferdinand T., Desederius Goo (24), Alex Pigai, Oktopianus Goo, dengan menggunakan potongan kayu balok berukuran 5x5 cm dan pangkal senjata di Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Moanemani.
Pada 10/1, Otis Pekei meninggal dunia karena dipukul hingga babak belur oleh oknum polisi di Mapolsek yang sama.Di Wamena, Kabupaten Jayawijaya,10/1, Edison Matuan (21) ditangkap beberapa oknum polisi, kemudian dipukul, disiksa, dan dianiaya, baik di Mapolsek maupun di Rumah Sakit Umum Daerah, hingga meninggal dunia pada keesokan harinya.
Dalam tahun 2016, SETARA Institute mencatat 68 kasus kekerasan terhadap orang Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya, di Kabupaten Dogiyai, 23/12, dua oknum brimob melakukan penganiayaan terhadap Melkias Dogomo yang meninggal beberapa hari kemudian.
Di Kabupaten Boven Digul,1/12, Oktovianus Guam (16) diduga ditembak mati oleh oknum polisi.Di Manokwari, 26-27/10, aparat kepolisian melakukan penembakan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap orang Papua.Di Kabupaten Merauke, 14/9, dua okum polisi melakukan pemukulan dan penembakan terhadap Melky Balagaize (19).Di Kabupaten Intan Jaya, 27/8, Otianus Sondegau (15) ditembak mati oleh oknum Brimob.
Sedangkan dari Oktober 2014 hingga Desember 2015, menurut SETARA Institute, terjadi 16 tindakan kekerasan negara. Misalnya di Jayapura, 27/8, tiga pemuda Papua atas nama Wilhelmus Awom (26), Soleman Yom (27), dan Yafet Awom (19) diculik dan dianiaya hingga babak belur oleh oknum polisi.Di Kabupaten Yahukimo, 19/3, oknum polisi menembak mati Intel Senegil (16).
Semua kasus kekerasan di atas memperlihatkan bahwa orang Papua masih dipandang sebagai musuh Negara Indonesia. Maka kekerasan dilakukan untuk menghancurkan musuh Negara. Karena itu, hanya orang Papua yang menjadi korban dari kekerasan.Rangkaian kekerasan aparat negara itu di peroleh dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/penembakan-di-papua-menambah-antipati-terhadap-ri. (Muyepimo/KM)
Penulis adalah Intelektual Kab. Dogiyai
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.Com – Nilai kemanusiaan di hadapan hukum, HAM, religi sama. Dengan kesamaan itulah kami hendak membunyikan kalimat ini kehadapan publik.
Pandangan Umum
Nilai kemanusiaan di hadapan hukum, HAM, religi sama. Dengan kesamaan itulah kami hendak membunyikan kalimat ini kehadapan publik. Agar dapat memahami, meneliti serta mentransferkan kedalam aplikasi yang kongkrit. Disitulah kita bisa menemukan jati diri, keselamatan dari krisis kemanusiaan yang di alaminya. Walaupun pada era seperti kini, manusia di hadapan manusia di pandang musuh, tidak setara, rendah.
Akibatnya manusia lain di intimidasi, di lecehkan saat itulah kebutuhan akan manusia harus di hargai. Setidaknya, memberikan perlindungan, bantuan sebagai sesama manusia.
Apa yang terukir di dalam kerukunan hidup manusia? a) Saling menghargai antar sesama manusia. b) Membuang seteru diantara mereka. c) Tindakan menjalin kembali hubungan mereka (Re-Connection act). d). Melahirkannya upaya musyawarah. e). Mengakui kembali (admitted) sebagai bagian integralnya. Itu sekadar sambungan bahasa penulis berkaitan dengan pandangan ilmiah dan umum. Karena masalah HAM dan kekerasan terhadap kemanusiaan adalah masalah umum. Ia melintasi domestik, regional, multilateral internasional.
Etnis Rohingya dan Kekerasan Militernya
Kasus rohingya pada saat ini dimana pemerintah indonesia semakin cepat menanggapi persoalan itu seakan masalah domestiknya. Atas nama kemanusiaan kita bisa turun tangan kesana untuk membantunya. Tetapi, pemerintah Indonesia terlalu campur tangan ke pemerintah Myanmar.
Penulis ingin sekali muatkan hasil temuan yang mana terdapat. http://www.kompasiana.com/yoserevela/59ac41cb7cb86418567914a2/sisi-lain-krisis-kemanusiaan-rohingya. Masalah orang Rohang yang saat ini (masih) terjadi, sebetulnya lebih rumit dari yang terlihat dari luar. Karena, masalah yang menimpa orang Rohang ini bukan hanya masalah tindak persekusi, yang dilakukan kaum ekstremis kelompok mayoritas (pemerintah Militer Myanmar yang didominasi penganut agama Buddha), terhadap minoritas (orang Rohang yang beragama Islam).
Faktor pemicu masalah orang Rohang lainnya adalah, melimpahnya potensi kekayaan alam berupa migas di Rakhine Utara, salah satu wilayah termiskin di Myanmar. Kekayaan melimpah ini, mampu menarik minat perusahaan migas lokal maupun asing (misal AS, Inggris, Tiongkok, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dll) untuk mengolahnya secara besar-besaran. Menyadari potensi pemasukan besar ini, pemerintah Myanmar lalu gencar mendorong pengusiran orang Rohang, supaya lahan yang dapat diolah makin luas. Inilah yang membuat banyak negara terkesan 'diam' soal masalah kemanusiaan orang Rohang.
Etnis rohingya (warga negara Myanmar) yang mengungsi besar-besaran ke negara tetangganya bangladesh. Itu merupakan suatu perintah dan otoritas berbentuk juntah militer yang berlaku di Myanmar. Jikalau pemerintah Indonesia terlalu campur tangan kesana secara lebih juga akan mengundang citra buruk hubungan antara kedua pemerintahan ini.
Pada akhirnya simpatisan pemerintah Indonesia saat-saat ini semakin memukul berat kepada pemerintah Myanmar atas krisis kemanusiaan yang sedang di alami oleh masyarakat myanmar etnis rohingya. Itu hal terbaik yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi bagaimana dengan masalah yang di hadapi dalam negeri Indonesia (domestik) sendiri itu memang tidak sadar benar. Seharusnya kekerasan Militer NKRI sendiri kepada rakyat West Papua itulah yang harus fokus tuntaskan segera.
Krisis Kemanusiaan West Papua
Masih ada banyak masalah-masalah yang harus NKRI segera selesaikan dalam negaranya sendiri (domestik) yakni krisis kemanusiaan yang di alami masyarakat Papua. Kami mengutuk keras dan mendesak kepada pemerintah NKRI. Atas semua tindakan krisis kemanusiaan, pendekatan militer, operasi-operasi militer, pelanggaran HAM yang di lakukan oleh NKRI kepada masyarakat West Papua.
“Memaksa orang bangun, tetapi dirinya dirinya belum tentu bangun setiap hari pagi-pagi benar. Malah dirinya itulah yang paling lambat berangkat bekerja (paling sering siang benaran bangunnya)”.
Persepsi mirip demikianlah yang NKRI lakukan, masalah domestik seperti krisis kemanusiaan West Papua mirip seperti masyarakat rohingya. Tetapi, sampai saat ini NKRI belum membuka diri untuk menyelesaikan dengan baik krisis kemanusiaan yang di alaminya di West Papua. sehingga tindakan NKRI di Myanmar adalah tindakan ada-ada saja.
NKRI lakukan upaya hulu dan hilir untuk demi perdamaian atas krisis kemanusiaan yang di alami oleh etnis rohingya. Namun, sampai saat ini kami belum pernah menemukan upaya yang di lakukan oleh pemerintah NKRI untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang di alami oleh masyarakat Papua demi kemanusiaan.
NKRI masih mempertahankan upaya pembiaraan krisis kemanusiaan yang di alami oleh masyarakat West Papua. intinya NKRI mengejar dan kerinduan mengelola kekayaan alam Papua berlimpah ini.
Kekerasan Negara dan Pembunuhan Kilat Saat Ini
Baru-baru ini semakin genjar dan di kejutkannya mayat orang mati dan terdampar di pelabuhan Aikai Enarotali Paniai. Serta pembunuhan kilat lain yang semakin hari semakin menoreh dan mengoreskan pada pendataan HAM semakin bertambah pula. Sebelumnya menjelang tanggal peringatan kemerdekaan NKRI saja sudah di kejutkan Penembakan yang dilakukan dengan peluru kaliber PIN 5,56, bukan peluru karet.
Di Kabupaten Dogiyai, 20/1, 2017, beberapa oknum polisi melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap Ferdinand T., Desederius Goo (24), Alex Pigai, Oktopianus Goo, dengan menggunakan potongan kayu balok berukuran 5x5 cm dan pangkal senjata di Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Moanemani.
Pada 10/1, Otis Pekei meninggal dunia karena dipukul hingga babak belur oleh oknum polisi di Mapolsek yang sama.Di Wamena, Kabupaten Jayawijaya,10/1, Edison Matuan (21) ditangkap beberapa oknum polisi, kemudian dipukul, disiksa, dan dianiaya, baik di Mapolsek maupun di Rumah Sakit Umum Daerah, hingga meninggal dunia pada keesokan harinya.
Dalam tahun 2016, SETARA Institute mencatat 68 kasus kekerasan terhadap orang Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya, di Kabupaten Dogiyai, 23/12, dua oknum brimob melakukan penganiayaan terhadap Melkias Dogomo yang meninggal beberapa hari kemudian.
Di Kabupaten Boven Digul,1/12, Oktovianus Guam (16) diduga ditembak mati oleh oknum polisi.Di Manokwari, 26-27/10, aparat kepolisian melakukan penembakan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap orang Papua.Di Kabupaten Merauke, 14/9, dua okum polisi melakukan pemukulan dan penembakan terhadap Melky Balagaize (19).Di Kabupaten Intan Jaya, 27/8, Otianus Sondegau (15) ditembak mati oleh oknum Brimob.
Sedangkan dari Oktober 2014 hingga Desember 2015, menurut SETARA Institute, terjadi 16 tindakan kekerasan negara. Misalnya di Jayapura, 27/8, tiga pemuda Papua atas nama Wilhelmus Awom (26), Soleman Yom (27), dan Yafet Awom (19) diculik dan dianiaya hingga babak belur oleh oknum polisi.Di Kabupaten Yahukimo, 19/3, oknum polisi menembak mati Intel Senegil (16).
Semua kasus kekerasan di atas memperlihatkan bahwa orang Papua masih dipandang sebagai musuh Negara Indonesia. Maka kekerasan dilakukan untuk menghancurkan musuh Negara. Karena itu, hanya orang Papua yang menjadi korban dari kekerasan.Rangkaian kekerasan aparat negara itu di peroleh dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/penembakan-di-papua-menambah-antipati-terhadap-ri. (Muyepimo/KM)
Penulis adalah Intelektual Kab. Dogiyai
Kejahatan Pelanggaran HAM Oleh Aparat Keamanan TNI dan POLRI di Tanah Papua
By Kabar Mapegaa 5:45:00 PM Meepago , Opini , PELANGGARAN HAM
Salah satu Insiden Penembakan yang Terjadi di Oneibo, Kab. Deiyai sebagai pelanggaran HAM Berat (Foto: Dok, Korban-KM) |
Oleh: Carla Makay Assem
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.Com – Peristiwa penembakan yang terjadi pada tanggal, 01 agustus 2017 di Oneibo Kab. Deiyai menjadi bukti bahwa penjajahan kolonialisme Indonesia atas Papua masih terjadi. Pasalnya tragedy ini bukan hanya yang pertama terjadi di Papua tapi sudah kesekian kali aparat gabungan TNI dan POLRI melakukan kekerasan di atas tanah Papua. Sebut saja pada tanggal 07-08 september 2014 di enarotali kab.paniai terjadi penembakan oleh aparat gabungan TNI dan POLRI yang menewaskan 3 orang pelajar SMU dan 10 orang lainnya luka parah.
Disusul lagi pada tanggal 26 Juni 2016 di Ugapuya Kab.Deiyai terjadi serangan senjata oleh aparat TNI terhadap sekelompok anak muda yang terjadi pada malam hari. Kejadian ini menewaskan 1 orang pemuda dan 1 orang lainnya luka parah bekas tusukan sangkur di lengan kirinya.
Tidak hanya ampai disitu saja, pada tanggal 17 Juli 2015 di Bilogai Kab.Intan Jaya terjadi penyerangan yang dilakukan oleh 6 orang anggota Brimob terhadap seorang pemuda. Pemuda ini dianiaya dan ditembak di bagian kakinya.
Setelah itu pada tanggal, 17 Juli 2015 di Kab. Tolikara, selain terjadi pembakaran Musola ada juga korban penembakan yang menewaskan 1 orang dan 9 orang lainnya luka parah, pelaukannya juga aparat keamanan TNI dan POLRI. Terbakarnya musola sudah ditangani hingga tuntas namun kasus penembakan rupanya sudah diplesetkan.
Lanjut lagi, pada tanggal 28 agustus 2015 di Koperapoka Timika Kab. Mimika. Dengan senjata api di tangan layaknya jagoan di film, anggota tentara masuk ke halaman ke gereja dan menodongkan senjatanya kepada warga sipil. Sesudah itu menembak secara membabi buta hingga akhirnya menewaskan 2 orang dan mencederai 5 orang lainnya.
Dan masih banyak lagi kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di papua. Sayangnya dari banyak kasus yang terjadi sepertinya pemerintah hanya menutup mata dan tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus diatas hingga tuntas. Aparat keamanan hanya mampu melakukan Permohonan maaf dan dialog bersama. Tetapi sayangnya tak akan membawa perubahan--Penjajahan: pembunuhan, rasisme, intimidasi, akan terus berlanjut--seperti apa yang dilakukan oleh Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar (04/08) kepada korban dan keluarga korban.
Dengan kasus-kasus kekerasan serupa yang terjadi terus manerus di tanah papua meninggalkan kesan buruk terhadap masyarakat papua bahwa aparat keamanan dalam hal ini TNI dan POLRI adalah pembunuh berdarah dingin.
Secara eksternal, masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui bahwa perlakuan Indonesia terhadap Papua sama dengan daerah lainnya. Apalagi setelah melihat di TV bahwa sejak Jokowi menjabat Papua semakin maju. Rakyat Indonesia yang masih awam mengetahui bahwa papua saat ini Aman, Nyaman, dan Tentram karena saat ini media massa abal-abalan Indonesia sedang hangat-hangatnya membicarakan pembangunan Bandara di Papua, pembangunan jalan trans wamena dan trans sorong-manokwari, kemudian pembangunan rute kereta api, dan kehebatan Jokowi saat mengendarai Motor trail, dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa dibawah kendali aparat keamanan TNI dan POLRI penjajahan masih terjadi terus menerus ditanah Papua.
Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun.
Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka.
Pada saat ini Pembangunan pangkalan militer terus dilakukan di seluruh Papua demi memperlebar luas kejahatan kemanusia dan alam seperti kasus Deiyai berdarah dan histori operasi militer lainnya yang akan terjadi secara berkesinambungan untuk menguasai semua sektor kehidupan rakyat Papua.
Pengalihan isu yang dilakukan dengan pembakaran kios di Wagete bertujuan untuk meloloskan kasus kejahatan deiyai berdarah saat ini serta menjaga kepentingan militernya dengan memperkuat basis kekuatan militer yang lebih lagi dengan alasan situasi daerah yang masih rawan dan perlu pengamanan yang lebih extra hingga akhirnya mempersempit raung gerak rakyat. (Muyepimo/KM)
Penulis adalah Mahasiswi Papua, Pemerhati Pelanggaran HAM di Tanah Papua
Kasus Kamasan I Akan Diperingati sebagai Satu Tahun Diskriminasi Mahasiswa Papua Jogja
By Kabar Mapegaa 10:31:00 PM BERITA , MAHASISWA , PELANGGARAN HAM
Ilustrasi. Design kabarmapegaa.com |
YOGYAKARTA, KABARMAPEGAA.COM—Ikatan Mahasiswa Papua (IPMA Papua) Yogyakarta dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) telah membentuk Panitia peringatakan Diskriminasi Mahasiswa Papua Jogja, Selasa, (04/07/17) malam. Panitia in dibentuk dari asrama mahasiswa Papua (Kamasan 1) Jln. Kusuma Negara No. 119, Yogyakarta, 5516 Tlp/hp 081248777711/08232342404, oleh Preiden Mahasiswa Papua, Aris Yeimo bersama sekretaris Mahasiswa Papua, Ruben .C. Frasa , Ketua AMP Jogja, Abbi Douw.
Berikut adalah Panitia yang dibentuk untuk menyukseskan kegiatan ini, Panitia Pelaksana; Ketua Panitia Humas (Paulus Samon Beni Sagrim), Penaggung Jawab: Presiden Mahasiswa Papua Sekjen Mahasiswa Papua Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (Aris Yeimo Ruben .C. Frasa Abbi Douw).
Melalui Panitia Peringatan Disriminasi, telah mengeluarkan undangan dengan nomor surat: Nomor : 01/PANITIA/ DIY/III/2017; Lampiran : Naskah Panduan (Materi); Perihal : Surat Pemberitahuan dan Arahan Pangung Bersama kepada Badan Pengurus Harian (BPH) setiap paguyuban mahasiswa asal Papua yang ada di Jogja.
Tema yang diangkat: “Peringatan 15 Juni 2016, 1 Tahun diskriminasi Mahasiswa Papua dalam keistimewaan Yogyakarta”.
“Sehubungan dengan perihal dan berpedoman (Pelajari Selebaran) pada lampiran di atas, maka kami, Ipma Papua Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Yogyakarta merekomendasikan, Mengadakan Pangung Bersama, dengan adanya kegiatan tersebut,” tulis Panitia dalam surat yang diterima media ini, Rabu (05/07/2017) bertempat asrama asrama mahasiswa Papua Jogja.
Panitia meminta agar setiap ketua paguyuban mengarahkan anggotanya untuk meriakan kegiatan ini.
“Kami memberitahukan dan mengarahkan kepada semua Ketua Paguyuban, agar dapat menyiapkan (berbagai tindakan diskriminatif yang selama ini dialami di D. I. Yogyakrta) dan berpartisipasi dalam rangka peringati 1 tahun diskriminasi mahasiswa Papua dan pada umumnya Bangsa Papua,” papanya.
Kegiatan ini akan di laksanakan pada:
Hari /tanggal : Sabtu, 15 Juni 2017.
Pukul : Pukul 10.00 WIB – Selesai.
Tempat : Asrama Papua (Kamasan I Yogyakarta)
Jln. Kusuma Negara Nomor 119 Yogyakarta.
Sementara itu, informasi yang dihimpun media ini, selain surat undangan yang disebarkan setiap pahuyuban, Panitia juga menyelibkan seberkas tulisan mengenai kronologi dan arahan, sebagai berikut:
Kronologi Dan Arahan Peringati 15 Juni 1 Tahun Diskriminasi Mahasiswa Papua dalam Keistimewaan Yogyakrta.
Sudah satu tahun, dimana saat itu dengan adanya rencana aksi damai “Pertemuan Melanesian Spearhead Group”(MSG) Pada tanggal 13-15 juli 2016, yang membahas tentang status keangotaan United Liberation Movement for West Papua (ULWMP), serta peringatan 47 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Gerakan Rakyat serta Mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Rakyat Pappua Barat (PRPPB) dengan serangkaian agendanya. Tuntutan tersebut meliputi Panggung Budaya (13-14 Juli), Mimbar Bebas (14 Juli), Aksi Damai (15 Juli), serta Ibadah dan Bakar Batu (16 Juli ). Rangkaian agenda ini mendapatkan represi besar-besaran dari aparat Negara yang bekerja sama dengan ormas reaksioner.
Pelaksanaan Aksi Damai pada tanggal, 15 Juli 2016 di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di blokade secara besar-besaran oleh aparat Kepolisian. Kurang Lebih 800 Personil yang terdiri dari TNI dan Polri serta gabungan Ormas Reaksioner yang berjumlah 150-200 orang. Mereka berpakaian (berbaju) loreng yang bertuliskan FKPPI, Pemuda Pancasila, Laskar Jogja, dan Paksi Katon yang diturunkan untuk mengintimidasi dan merepresi serta menerikan kata-kata rasis seperti, “Papua Monyet hitam, Asu dan lain sebagainya” terhadap mahasiswa-mahasiswi Papua.
Delapan orang mahasiswa ditangkap dan dibawa ke Polda DIY tanpa alasan yang jelas, 6 orang lainya di tangkap saat sedang menuju ke Asrama Papua, salah satunya adalah Obby Kogoya yang kemudian di tetapkan sebagai tersangka, karena ditiduh melanggar Pasal 212 jo 213 KUHP sub 351 ayat 2 KUHP.
Obi Kogoya (20 thn) Mahasiswa Papua di Yogya yang diperlakukan bukan seperti manusia. Ini tindakan ormas didukung Polisi pada 15 Juli 2016, di asrama Mahasiswa Papua di Jogja. |
Adapun banyak temuan kasus-kasus diskriminatif yang sampai saat ini, yang bukan rahasia umum lagi, sulitnya mencari kos, kontrakan atun pun tempat tinggal sementara bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta. Lebih parah lagi STEREOTYPE buruk Wong Papua pembuat reseh, pembuat onar, dan pembuat gaduh. Hal ini yang menjadi nyanyian bersama warga Yogyakarta kepada mahasiswa Papua dan masih banyak lagi yang tidak dapat kami uraikan satu persatu.
Oleh sebab itu, bertepatan dengan peristiwa pengepungan asrama Kamasan I, 15 Juli 2016, 1 Tahun diskriminasi Mahasiswa Papua dalam keistimewaan Yogyakarta maka kami mengharapkan partisipasi dari kawan-kawan Paguyuban masing-masing, sebagaimana sesuai dengan surat undangan dan arahan di atas.
Berikut adalah catatan terkait, apa yang harus dipersiapkan oleh kawan-kawan paguyuban sekalian:
Pertama; Sikap diskriminasi dan rasis bukan hal baru bagi kita (Orang Papua). Maka dengan momen ini, kami menghimbau dan mengharapkan kepada kawan-kawan di Paguyuban ini untuk menyiapkan segala macam bentuk diskriminasi yang pernah dialami selama mengenyam pendidikan di Kota Studi Yogyakarta.
Kedua; Dari setiap data yang terhimpun tersebut, dapat diaplikasikan dalam bentuk Tarian Tradisional, Mob, Lagu (live Music), Drama/Fragmentasi/Teatrikal, dan Puisi untuk dibawakan atau ditampilkan dalam kegiatan peringatan 1 tahun peristiwa pengepungan Asrama Kamasan, sebagai bentuk refleksi (melihat kembali) untuk mengambil poin penting untuk menentukan sikap kita ke depan.
Ketiga; Selain itu, dengan segala macam sikap diskriminatif yang diterima dapat dijadikan sebuah dokumen (tulisan dalam bentuk apapun) untuk dijadikan dokumen kehidupan kita Mahasiswa di tanah rantauan.
Pantauan media ini, Panitia dan penanggungjawab terlihat kerja keras untuk meyukseskan kegiatan ini.
Pewarta: Manfred K
19th Biak Berdarah, AMP-FRI WP akan Adakan Konferensi Pers di LBH Jakarta
By Kabar Mapegaa 9:06:00 PM AMP , BERITA PAPUA , Biak Berdarah , PELANGGARAN HAM
Brosure.Ist. (dok AMP Jakarta) |
JAKARTA,
KABARMAPEGAA.COM—Aliansi Mahasiswa Papua, Komite Kota Jakarta, (AMP KK Jakarta)
gandeng Front Rakyat Indonesia untuk Papua (FRI WP) akan
menyikapi tragedi Biak Berdarah sekaligus memperingati 19 Tahun
tragedi ini dibungkam oleh negara, dalam bentuk konferensi pers dengan berbagai media
Nasional dan Lembaga Berbadan Hukum (LBH) Jakarta.
Hal
ini disampaikan oleh Narahubung aksi, Frans Nawipa kepada media ini, saat
dihubungi oleh awak media, melalui pesan elektronik, Rabu, (05/07/17).
“Tragedi
baik berdarah telah berjangjak pada usia 19th, Negara harus
bertanggunjawab atas kejahatan kemanusiaan di Biak, Papua Barat,”
ujar Nawipa yang juga sebagai ketua AMP KK- Jakarta ini.
Lanjut
Nawipa, 19 Tahun telah berlalu. Proses penyelesaian kasus tidak pernah
diangkat, sementara pelaku pembaitaian yang terjadi tepat, 06 Juli Tahun 1998,
tragedi kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI ) terhadap rakyat itu terus di piara oleh negara.
“Berawal
dari pengibaran bendera Bintang Kejora yang di kibarkan di Tower berdekatan
dekat pelabuhan kota Biak. Dalam aksi damai yang dilakukan oleh kurang lebih
500-1000 massa aksi, berakhir dengan pembantaian yang kita kenal dengan tragedi
Bia berdarah,” jelas Nawipa.
Sementara
itu, Koordnator Umum FRI WP, Surya Anta, mengatakan kalau Indonesia
menilai demonstasi merupakan gerakan separatis, kemudian disikapi dengan cara
represif oleh militer Indonesia (TNI/Polri), Ratusan demonstrasi massa rakyat
tak bersenjata yang bertahan di sekitar tower di kepung dan ditembak secara
membabi buta.terjadi penangkapan, sewenang-wenang, penganiayaan, penyiksaan,
penculikan dan berbagai tindakan tak berprikemanusiaan lainya dilakukan oleh
militer Indonesia.
“Warga
sipil di Kelurahan Pnas, Kelurahan aupnor dan Kelurahan Saramom- Kecamatan Biak
kota digiring oleh Aparat ke Pelabuhan laut Biak, dan dianiaya secara tidak
manusiawi, kemudian dimasukan kedalam karung, lalu dibuang kedalam laut,” jelas
Surya.
Lanjut,
dilihat dari Koronologis peristiwa Biak, TNI-Polri melakukan tindakan
represif terhadap rakyat papua di Biak, pada 6 Juli 1998 silam.
Dicatat menelan 230 korban sebagai berikut: Meninggal 8 orang; 3 Orang hilang;
4 orang korban luka berat; 33 orang di tahan sewenang-wenang dan
150 orang mengalami penyiksaan; serta 32 Mayat misterius.
"Meskipun
peristiwa ini telah diproses dipengadilan dan telah diajukan ke Mahkama Agung
Indonesia, namun hingga saat ini belum jelas sampai dimana proses hukumnya
berlangsung, para pelakunyapun sampai saat ini masih hidup dengan bebas dan
justru mendapatkan penghargaan sebagai Negara, karena telah menjalankan agenda
Negara,” pungkasnya.
Untuk
itu, AMP-FRI WP atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terus terjadi di Tanah
Papua, maka akan melakukan Konferensi Pers untuk menyikapi
Biak Berdarah dan menyampaikan pernyataan sikap mereka terhadap berbagai
kejahatan kemanusia yang terjadi di Papua Barat terhadap pemerintah Indonesia.
Kegiatan
tersebut, dikabarkan akan dilaksanakan pada, hari Kamis, 06 Juli 2017,
Pukul 11,00 WIB hingga selesai, bertempat: LBH Jakarta.
Mereka
juga mengajak kepada rekan-rekan media untuk meliput aksi Komprensi perss
tersebut.
Pewarta
:33/RED/Po
Editor:
Manfred
Diskusi Terbuka BEM Ucen Jayapura “Bangkit Melawan Lupa”
By Kabar Mapegaa 10:57:00 PM BERITA PAPUA , Hukum & Ham , PELANGGARAN HAM
Foto Bersama Usai Diskusi-KM
JAYAPURA
,KABAR MAPEGA.COM-- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM ) Universitas Cenderawasih
Papua menggelar sebuah diskusi terbuka yang bertajuk “Bangkit Melawan Lupa"
Diskusi yang diinisiasi oleh mahasiswa ini, mengundang narasumber yang berasal
Komnas HAM RI Natalius Pigai, Tokoh Gereja Pdt.Sofyan Nyoman ,Aktivis HAM Papua
Ibu Pdt Dora Belubun ,Komis I DPRP Papua Laurenzus kadepa.
Diskusi
tersebut dilaksanakan Rabu,(21/06) gedung auditorium uncen jayapura papua sejak
pukul 10.15 hingga 12.20 WIT.
Usai
Diskusi Terbuka Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan,pelanggaran HAM diatas
tanah sedang berlangsung setiap hari.
“Mari
Adik-adik Mahasiswa bersuara demi kebenaran.kita jangan diam diri dengan
keadaan kritis ini yang terjadi diatas tanah papua,”ujarnya.
Sementara
itu,Laurenzus Kadepa berujar, penyelesaian masalah HAM terhadap rakyat papua
tidak akan selesai jika semua komponen tidak bekerjasama.
“Kami
DPR Papua kami dukung penyelesaian masalah pelanggaran HAM .ia pun meminta
semua komponen bekerjasama untuk menyelesaikan masalah pelanggaran
HAM,”ajaknya.
Pewarta
: Yustus Muyapa
Editor : MPX |