Ringkasan: West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional
By Kabar Mapegaa 12:07:00 AM AKTIVIS PAPUA , Ringkasan
Foto PM Solomon Islands, Manasseh Sogavare bersama Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo, (Foto: Fb Victor Y) |
Ringkasan
berikut bersumber dari Makalah West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam
Hukum Internasional yang ditulis pada tahun 2010 oleh Melinda Janki, seorang
pengacara publik berbasis di Inggris, yang juga memimpin asosiasi Pengacara
Internasional untuk West Papua (ILWP). Makalah tersebut membahas:
1. Status hukum Pepera dan menyimpulkan bahwa PEPERA
merupakan PELANGGARAN hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua dalam hukum
internasional.
2. Klaim teritorial Indonesia tidak menjustifikasi
(membenarkan secara hukum) kedaulatan Indonesia atas West Papua.
3. Kehadiran Indonesia di West Papua adalah illegal, dan
ilegalitas ini menjadi BASIS bagi KONFLIK berkepanjangan di West Papua.
Oleh karena itu, klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua, dan klaim West Papua atas hak penentuan nasib sendiri diatur (dan harus diselesaikan) oleh hukum internasional, bukan hukum domestik. Sehingga, harus diselenggarakan penentuan nasib sendiri yang sesuai dengan hukum internasional, hingga akhirnya menetapkan status internasional atas West Papua.
I.
Penentuan
nasib sendiri dalam Hukum Internasional
1.
Syarat penentuan nasib sendiri West Papua dalam hukum
internasional
a) West Papua sudah harus memiliki hak hukum substantif
atas penentuan nasib sendiri di masa ketika Pepera 1969; dan
b) Pepera harus jelas terbukti melanggar persyaratan
prosedural yang ditetapkan hukum internasional.
2.
Apa yang dimaksud hak hukum substantif West Papua?
Ø Hak hukum rakyat West Papua, sebagai rakyat
koloni, untuk memilih status internasionalnya; yakni hak hukum West Papua atas
penentuan nasib sendiri eksternal (internasional) dalam konteks dekolonisasi.
Ø
Netherland New Guinea ditangani berdasarkan
Piagam PBB Bagian XI yang meliputi teritori-teritori tak berpemerintahan
sendiri seperti koloni-koloni.
Ø
Landasan paling penting adalah lahirnya
Deklarasi PBB No. 1514 (XV) tentang Penjaminan Kemerdekaan bagi Negeri-negeri
dan Rakyat Koloni pada Desember 1960.
Ø
Faktor-faktor lain yang menunjukkan bahwa
Deklarasi memiliki signifikansi hukum, adalah:
· Deklarasi
disahkan tanpa suara penolakan dengan hanya sembilan suara abstain, dan suara
abstain dapat dianggap persetujuan karena tidak ada penolakan nyata.
· Deklarasi
diikuti oleh beberapa resolusi yang merekomendasikan Negara-negara mendukung
pemerintahan sendiri, dan hak rakyat di teritori tak berpemerintahan sendiri
untuk menentuan nasibnya sendiri, seperti Resolusi MU-PBB 9 (I), 421 (V), 545
(VI), 637 (VII), 83 7(IX), 1314 (XIII).
· Untuk
mempromosikan hak penentuan nasib sendiri, Majelis Umum menetapkan Komite
Khusus Dekolonisasi: membuat rekomendasi-rekomendasi dan petunjuk atas kemajuan
dan sejauh mana implementasi dari Deklarasi tersebut. (Resolusi 1654/XVI)
· Deklarasi disebutkan 95 kali dalam sesi sidang
Majelis Umum berikutnya.
· Setelah Deklarasi dibuat hingga akhir 1970,
kekuasaan kolonial telah melepas otoritas mereka atas jutaan rakyat; dan 29
Negara-negara baru berdiri.
· Deklarasi
ditetapkan oleh Dewan Keamanan dalam beberapa resolusinya, seperti Resolusi
183(1963), 202(1965), 217(1965),218 (1965), 301 (1971), 377(1975).
· Pengadilan Internasional menyatakan tegas bahwa
“prinsip penentuan nasib sendiri adalah hak rakyat”; dan landasan bagi proses
dekolonisasi.
· Kebiasaan Majelis Umum sebagai sebuah badan,
praktek Negara-negara serta opini-opini Pengadilan menunjukkan bahwa penentuan
nasib sendiri tahun 960 zberkembang. menjadi hak hukum yang dimiliki oleh
rakyat teritori tak berpemerintahan sendiri dan Deklarasi adalah bukti aturan
hukum baru internasional.
Ø
Argumentasi Indonesia bahwa West Papua tidak
punya hak untuk menentukan nasib sendiri dengan mudah dapat dibantah oleh
landasan berikut:
1) Kesepakatan New York 1962 dengan tegas memberikan hak
penentuan nasib sendiri bagi West Papua, dan memberlakukan perjanjian kewajiban
kepada Indonesia dalam Paragraf (d) Pasal XVIII untuk melakukan tindakan
penentuan nasib sendiri “yang sesuai dengan praktek internasional.” Baik Belanda
maupun Indonesia harus patuh pada keputusan West Papua.
2) Hasil dan dampak Kesepakatan New York (untuk
menyelenggarakan penentuan nasib sendiri West Papua) menegasikan klaim
Indonesia bahwa West Papua tidak punya hak penentuan nasib sendiri berdasarkan
kebiasaan hukum internasional atau berdasarkan kewajiban perjanjian khusus
Indonesia.
3) Apa yang
dimaksud persyaratan prosedural?
· Persyaratan prosedural untuk penentuan nasib
sendiri diatur oleh Majelis Umum melalui intepretasi Pasal 73 Piagam PBB. Pasal
73e menyatakan bahwa kekuasaan administrasi memiliki kewajiban untuk
menyerahkan kepada Sekretaris Jenderal informasi statistik atau teknis lainnya
terkait persyaratan sosial, ekonomi, pendidikan dalam teritori tak
berpemerintahan sendiri.
· Dalam kasus West Papua, pasal 73 menempatkan
kewajiban kepada Belanda dari tahun 1945 dan kepada Indonesia tahun 1963,
ketika Indonesia mengambil alih kekuasaan administratif.
· Sesuai Resolusi 567 (VI) Majelis Umum PBB, dua
faktor (prinsip) yang dianggap penting bagi pemenuhan kewajiban itu adalah:
kemajuan politik dan pendapat populasi.
· Kemajuan politik harus memadai agar membuat
masyarakat mampu memutuskan masa depan nasib teritori mereka dengan pengetahuan
yang dimiliki.
· Pendapat mereka harus dapat diekspresikan dengan
bebas melalui proses yang informatif dan demokratis menyangkut perubahan status
yang mereka kehendaki.
· Persyaratan ini disebutkan kembali dalam
Resolusi Majelis Umum 648 (VII) dan 742 (VIII). Resolusi Majelis Umum 637 (VII)
menegaskan bahwa kehendak masyarakat bersangkutan yang diekspresikan bebas
harus ditentukan melalui plebisit atau cara-cara demokratis lainnya, khususnya
dibawah dukungan PBB.
· Resolusi Majelis Umum 1541 (XV) menegaskan bahwa
pasca 1960:
Teritori tak berpemerintahan sendiri dapat dinyatakan memenuhi semua unsur pemerintahan sendiri ketika:
Teritori tak berpemerintahan sendiri dapat dinyatakan memenuhi semua unsur pemerintahan sendiri ketika:
a)
berdiri sebagai sebuah negara berdaulat merdeka;
b)
asosiasi bebas dengan sebuah negara merdeka; atau
c)
integrasi dengan sebuah negara merdeka.
· West Papua sebetulnya sudah dapat mencapai
kemerdekaannya tanpa mesti mengikuti persyaratan prosedural, karena statusnya
sebagai sebuah teritori tak berpemerintahan sendiri. Namun di tahun 1969,
keputusan untuk mengintegrasikannya dengan Negara yang ada hanya sah jika hal
itu memenuhi persyaratan Prinsip IX Resolusi Majelis Umum 1541 (XV).
II. Kedaulatan Indonesia atas West Papua tidak
sah (ilegal)
1. Indonesia tidak mendapatkan kedaulatannya atas West
Papua berdasaran New York Agreement atau Piagam Pemindahan Kedaulatan.
2. PEPERA yang
dilakukan 1969 yang terbukti tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat
prosedural sesuai prinsip-prinsip dan resolusi PBB terhadap wilayah tak
berpemerintahan sendiri, juga tidak sah dijadikan klaim kedaulatan Indonesia
atas West Papua, karena:
Ø Rakyat
West Papua TIDAK DIMINTAI PENDAPAT di tahun 1962 ketika New York Agreement
diputuskan, TIDAK DIMINTAI PENDAPAT ketika pilihan PEPERA 1969 ditetapkan,
TIDAK DIMINTAI PENDAPAT terkait pilihan-pilihan apa yang harus ditetapkan
sebelum pelaksanaan PEPERA.
Ø
Suara musyawarah 1022 orang (4 orang lainnya
tidak ambil bagian), kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan
setuju untuk integrasi dengan Indonesia, bukanlah suara yang sah untuk
menyatakan integrasi yang benar.
3. Oleh karena itu pengambilaihan West Papua merupakan
aneksasi illegal serupa dengan pengambilalihan sementara Indonesia atas Timor
Leste di tahun 1975.
4. Selain itu, juga tidak benar bahwa PBB
melegitimasi/mengesahkan keputusan PEPERA. Buktinya adalah:
· Pasal XXI New York Agreement meminta wakil PBB
dan Indonesia melaporkan kepada Sekretaris Jenderal yang pada waktu itu
diwajibkan memberi laporan itu ke Majelis Umum PBB terkait pelaksanaan dan
hasil PEPERA.
· General Konsil PBB menyarankan Sekjend PBB untuk
mempresentasikan laporan seutuhnya kepada Majelis Umum dan bukan rangkuman
laporan, karena: sah atau pun tidak, ada keraguan yang luas terkait apakah
benar kesempatan seutuhnya diberikan terhadap ekspresi kehendak rakyat dalam
kasus tersebut dan Sekjend oleh karena itu tidak boleh memberi kesan adanya
bukti atau bahan yang dilewati atau disembunyikan.
· Kedua laporan dijadikan lampiran pada laporan
yang dipresentasikan Sekjend PBB di hadapan Majelis Umum. Resolusi 2504 (XVII)
hanya menyatakan bahwa Majelis Umum: Mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal
dan mengakui dengan apresiasi pemenuhan tugas yang diberikan oleh Sekjend
kepada wakil-wakilnya atas dasar New York Agreement 15 Agustus 1962 antara
Repiblik Indonesia dengan Kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian Barat).
· Tugas yang diberikan pada wakil PBB terbatas
pada memberi pandangan, mengawal, dan berpartisipasi dalam pengaturan PEPERA.
Pengatur dan pelaksana sebenarnya adalah tanggung jawab Indonesia sesuai dengan
New York Agreement. Wakil PBB tidak punya otoritas untuk setuju atau tidak
setuju. PBB telah menjalankan tugasnya sekalipun, seperti dicatat oleh Sekjend
PBB, Pemerintah Indonesia tidak selalu patuh pada saran yang diberikan.
· Tugas Majelis Umum dibatasi oleh New York
Agreement hanya untuk menerima laporan Sekjend PBB. Majelis Umum tidak punya
otoritas untuk setuju maupun tidak setuju atas hasil PEPERA. Seperti yang
dinyatakan oleh General Counsel PBB: Ini hal sulit, untuk bisa melihat tindakan
apa yang dapat diambil Majelis Umum... Persetujuan itu adalah antara Indonesia
dan Belanda, dan PBB bukanlah pihak yang menjadi bagian di sana.
· Resolusi 2504(XVII) tidak menyebutkan penentuan
nasib sendiri West Papua, atau West Papua tak lagi menjadi teritori tak
berpemerintahan sendiri. Tak ada resolusi apapun lagi dari Majelis Umum PBB
(atau Dewan Keamanan PBB) yang menyetujui PEPERA atau menegaskan bahwa West
Papua telah menjalankan dengan bebas hak penentuan nasibnya sendiri.
· Tanpa adanya resolusi yang jelas menunjukkan
persetujuan PBB atas PEPERA, maka sulit untuk menyimpulkan bahwa PBB telah
memberi persetujuan atas integrasi West Papua ke Indonesia.
· Bahkan, lebih jauh lagi, keberadaan Indonesia di
West Papua masih diragukan keabsahannya.
Buktinya:
Buktinya:
a) Hanya 0,2% populasi West Papua ambil bagian dalam
PEPERA dan mereka tidak punya hak pilih;
b) West Papua berada dalam pendudukan militer;
c) Sejak awal di tahun 1963 ketika UNTEA memindahkan
administrasi ke Indonesia, sudah sebanyak 15.000 pasukan keamanan Indonesia di
West Papua;
d) Komite Dekolonisasi PBB bahkan menyatakan Netherland
New Guinea bergabung dengan Indonesia di tahun 1963 sebagai Irian Jaya, yang
artinya bahwa Indonesia bahkan sudah menganeksasi West Papua SEBELUM PEPERA.
5. Pengakuan dan persetujuan negara-negara juga diragukan
sebagai landasan hukum atas kedaulatan Indonesia, karena ketika mengakui bahwa
West Papua adalah teritori tak berpemerintahan sendiri, maka Indonesia terikat
Pasal 73 Piagam PBB yang mewajibkannya: mengakui bahwa kepentingan penduduk
teritori tersebut adalah utama, dan menerima sebagai suatu perwalian suci
(sacred trust) kewajiban mempromosikan ... keselamatan para penduduk di
teritori-teritori itu. Dan aneksasi Indonesia atas West Papua bukan sacred
trust.
6. Status West Papua oleh karena itu merupakan koloni tak
berpemerintahan sendiri yang berhak untuk penentuan nasib sendiri. Sampai West
Papua dapat melaksanakan haknya untuk menentukan nasib sendiri maka ia masih
menjadi sebuah koloni dan kehadiran Indonesia di West Papua ilegal.
7. Majelis Umum PBB telah mendeklarasikan: keberlanjutan
kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasi adalah kejahatan yang
melanggar Piagam PBB dan Deklarasi Jaminan Kemerdekaan terhadap Negeri-negeri
dan Rakyat Terjajah serta prinsip-prinsip hukum internasional. (Resolusi 2621 (XXV)
III. Kesimpulan
1. Di tahun 1949
setelah pembentukan Negara Republik Indonesia, West Papua adalah koloni tak
berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada
waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.
2. Di tahun 1963 ketika Indonesia mengambil alih tanggung
jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak
berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri dibawah hukum
internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang
menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West
Papua.
3. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi
kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih
integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh
hukum internasional.
4. Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan
adalah PEPERA yang TIDAK SAH pada tahun 1969.
5. Karena pengambilalihan tersebut tidak sah, maka West
Papua bukanlah bagian sah dari teritori Indonesia namun teritori tak
berpemerintahan sendiri dibawah pendudukan.
6. Kemerdekaan West Papua akan merupakan pengembalian
kedaulatan rakyat Papua dan bukanlah pelanggaran integritas teritorial
Indonesia.
7. Penggunaan kekuatan tentara bersenjata Indonesia di
West Papua untuk membuat pasif rakyat West Papua merupakan wujud penyangkalan
hak penentuan nasib sendiri dan kejahatan terhadap hukum internasional.
8. Negara-negara di dunia oleh karena itu perlu mengakui
bahwa West Papua adalah koloni Indonesia dengan status yang berbeda dan
terpisah, serta bertindak memastikan kejahatan hak azasi manusia di West Papua
segera diakhiri.
9. Oleh karena itu komunitas internasional negara-negara
juga berkewajiban untuk memastikan bahwa rakyat Papua diberikan hak untuk
secara bebas menentukan nasibnya sendiri.
-----------------------------------------
Diringkas oleh Pengurus Pusat KNPB
Diringkas oleh Pengurus Pusat KNPB