Musa Boma Foto :Doc Pribadi |
Oleh :Musa Boma
Opini,KM--- Amnesti
Internasional terus merima laporan yang kredibel tentang
Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di seantero Papua. Komentar dan
desakan pemerhati HAM di dunia Internasional datang bertubi-tubi dari sekian
sudut dunia. Indonesia dipaksa memutar otak untuk memanipulasi isu pelanggaran
HAM. Isu kesejahteraan menjadi penawaran isu pelanggaran HAM tak dapat
dihitung. Dengannya, pemerintah Indonesia dinilai tidak konsisten dengan
kewajiban mengangkat hak-hak dasar orang Papua.
Pelanggaran HAM di Papua oleh pasukan keamanaan merupakan
kegagalan pemerintah Republik Indonesia untuk mengindonesiakan Orang Papua.
Realitasnya bahwa menetapkan agenda prioritas atas hak asasi manusia menjadi
hal teramat sulit bagi pemerintah Indonesia. Apalagi perjuangan yang tertata
rapi dalam sejarahnya, pemerintahan tidak bertanggunjawab mengisi kemerdekaan.
Semuanya dipengaruhi oleh pembatasan hak berekpresi, hak kepemilikan tanah, hak
hidup, beragama dan hak-hak asasi lainnya di Papua. Jikalau demikian kita dapat
mengatakan bahwa Indonesia di Papua mengalami krisis perjuangan hak-hak dasar
hidup manusia Papua.
Aktivitas-aktivitas perjuangan HAM selalu dipolitisir oleh
negara akibat perlawanan Ideologi. Tidak mengherankan jika Orang Papua masih
hidup dalam penindasan, pemarjinalisasian, diskriminasi serta pembiaran tanpa
mengisi semua lini hidup orang papua. Hukuman mati pun dilangsungkan bagi
rakyat Papua dari tahun 1969 sampai saat ini.
Kata penegakan hukum tidak ada sama sekali dalam mengurangi
impunitas dan penyelesaian pelanggaraan hak asasi manusia di masa lalu terutama
kejahatahan berdasarkan Hukum Indonesia dan hukum internasional. NKRI tidak
pernah alpa melakukan pelanggaraan Hak Asasi Manusia di Papua.
Ada realitas kongkret bahwa orang Papua dibunuh bagaikan
hewan oleh pemerintah Repulik Indonesia, kapan dan di mana saja . Misalnya
saja, belum lama ini pelanggaraan HAM kembali terjadi pada jumat 16-05-2014 di
ruang Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas Fisip Universitas cendrtawasih, Waena-
Jayapura sebagai bentuk penekanan kebebasan berekspresi mahasiswa yang
independen. Independensi mahasiswa untuk mengungkapkan pendapat di muka umum
dipagari senjata dengan tiga orang ditangkap, dipukul dan dipenjarakan.
Peristiwa penangkapan itu dipimpin Alfred Papare S.ik dan
Kiki Kurnia, Wakapolres Kota Jayapuara. Tindakan yang dilakukan ini teramat
tidak professional. Mestinya sebagai Aparat penegak hukum, mereka harus tahu
aturan main. Mereka jangan mengambil simbolitas sebagai penegak hukum tapi
perlu tahu nilai-nilai hukum. Seharusnya mereka bertugas sebagai penegak hukum
yaitu melindungi, mengayomi, dan menjaga seluruh komponen masyarakat termasuk
mahasiswa.
Namun realitas yang telah dan sedang terjadi dari dulu
sampai sekarang adalah penyiksaan, pemenjaraan, pemukulan tidak manusiawi,
pelecehan, merendahkan harkat dan martabat manusia lebih khusus kepada
aktivis-aktivis HAM Papua.
Peristiwa di atas hanya sebuah sampel pelanggaran HAM
yang penulis tidak mampu menjelaskan satu persatu kerena amat banyaknya pelanggaran
Indonesia terhadap bangsa Papua. Itu adalah menyimpang dari tugas penegakan
hukum dan HAM yang sebenarnya alias salah.
Situasi demikian sudah dan sedang dipublikkasikan melalui
media-media massa yang ada baik local, nasional maupun internasional oleh
lembaga-lembaga kemanusian di antaranya Komnas Ham, Elesem bahkan Amnesti
Internasional. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila H.E Mr Moana Calcases
Kolosil Perdana Menteri Vanuatu sudah membawa masalah Papua ke sidang tahunan
PBB di Genewa. Sekalipun ada pukulan keras dari Vanuatu terhadap tindakan
pemeritah RI di Papua selama ini, tetapi sama saja, kondisi Papua tak berubah.
Pemerintah malah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari aturan Hukum
dan HAM lagi.
Indonesia tidak merasa bersalah dan bertambah kepala
batu sekali pun sudah ada teguran keras dari Negara-negara luar temasuk
Vanuatu. Contoh barunya, 20 Mei 2014, orang Papua yang tergabung dalam
Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Papua (SOLPAP) meminta segera bertanggunjawab
atas perang suku di Timika, yang mengakibatkan korban 105 orang asli Papua .
Ada indikasi, actor utama atas konflik itu adalah TNI/
POLRI dan pemerintah serta Freeport Indonesia. Buktinya berbulan-bulan terjadi
perang tetapi pembiaran terus dilakukan. Memang, misi kemanusian itu selalu
saja dianggap sebagai misi kebodohan oleh pemerintah Indonesia.
Pandangan kebodohan ini dinyatakan oleh pemerintah ketika
SOLPAP menghadap pemerintah di depan Asrama Timika jam 09.00 pagi WPB. Mereka
mengatakan, “Gubernur, Polda dan Pangdam saat tidak ada di tempat.“ kata polisi
dengan muka membatu, yang saat itu diutus dari Polda Papua. Padahal Gubernur
dan jajarannya itu sudah ada di kantor, dibalik jejeran senjata yang
memagarinya.
Alasan yang dilontarkan polisi bukan hal baru bagi kami
orang Papua. Ini sebernarnya mereka mau membungkam misi kemanusian orang Papua karena
peristiwa konflik di Timika antara suku Migani, Mee, Dani, damal dan Dauwa itu
terindikasi setingan dari Bin, Bais, Intelijen,milisi, BMP, dan LMRI serta
pemerintah dan FT.Freeport.
Bagaimana pencuri mengakui bahwa saya pencuri ketika
diadili di depan public? Jadi amat dimaklumi kalau polisi berikan alasan yang
tidak logis. Lebih jelas lagi, polisi larang kami untuk turun jalan
memperjuangkan HAM di Papua. Semua ini mau menggambarkan secara jelas tindakan
kekerasan NKRI terhadap keberadaan Papua dari tahun ke tahun.
Bagi rakyat Papua, semua kasus buruk itu sudah menjadi
pengalaman harian. Pengalaman ini biasanya disebut sebagai suatu memoria
passionis, yang tak pernah akan terlupakan dari ingatan rakyat Papua. Kami
hidup dalam pelanggaraan HAM sebagai pengalaman pahit dengan jumlah sekian juta
yang tak dapat dibahasakan. dengan penuh harapan, Orang Papua selalu bertanya
kapankah konflik akan berakhir?
Apakah pemerintah Internasional yang cinta akan HAM
juga berpikiran bawah rakyat Papua harus dihabisi bersama habisnya burung
Cenderawasih dan emas di Papua? Apakah PBB ada kebijaksanaan dalam menuntaskan
konflik Papua secara menyeluruh demi Papua damai? Harapan Rakyat Papua agar
presiden terpilih mendatang mesti menyediakan kesempatan terbukanya untuk
menanggapi situasi HAM Papua dalam bingkai NKRI sebagai isi kampanye.
Penulis sangat mengharapkan agar para pejuang HAM dan
amnesty Internasional menyeruhkan kepada semua kandidat presiden untuk harus
memegang komitmen yang berpihak menindaklanjuti agenda-agenda HAM melalui
dialog. Untuk itu, diharapkan beberapa hal dilakukan. Pertama, menjamin
akuntabilitas atas pelanggaraan HAM dari pasukan keamanan. Kedua, menghormati
dan melingdungi kebebasan memperjuangkan HAM di Papua. Ketiga, melindungi pembelah
HAM. Keempat, mengakhiri impunitas dan penggunaan hukuman mati. Kelima,
menegahkan hak prempuan dan anak di Papua. Keenam, menghormati HAM,
mempromosikan dan melingungi HAM di Papua.
Penulis adalah
Musa Boma Aktivitis Papua
0 thoughts on “Pelanggaran HAM di Papua Bukan Masalah Nasional”