SOS Tanah Papua Mengadakan Konfrensi Pers, Selasa, (13/06/17) di Kantor JERAT Waena. (Foto: Dok KM) |
Jayapura,
KABAR MAPEGAA.com - Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua (SOS Tanah
Papua) menyatakan bahwa 13 Juni adalah hari tragedi kemanusiaan di tanah Papua.
Hal itu disampaikan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
tergabung dalam SOS Tanah PAPUA dalam konferensi pers pada Selasa, (13/06) di
kantor JERAT, Waena, Jayapura.
Organisasi
dan LSM yang tergabung dalam SOS Tanah Papua diantaranya, Aliansi Demokrasi
untuk Papua (AlDP), Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, Sekretariat Keadilan ,
Perdamaian , Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Keadilan,
Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC)
Sinode GKI Tanah Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dan Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua.
Tidak
hanya itu, ada juga Gerakan Rakyat Demokratik (GARDA) Papua, Forum Independen Mahasiwa (FIM) Papua,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua,
Pemuda Gereja Baptist Papua, serta Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah
Terpencil (Kopkedat) Papua.
“Kami
menyatakan kepada seluruh rakyat Papua, Indonesia dan komunitas Dunia Internasional bahwa pada tanggal 13 Juni akan diperingati setiap
tahun sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan di Tanah Papua (Melawan Lupa)” kata
Wirya Supriadi di kantor JERAT Papua, Waena, Jayapura.
Konferensi
pers hari ini dilakukan dengan tajuk “Bersama Lindungi Hak-Hak Masyarakat Adat Papua”. Secara bersama melakukan
aksi solidaritas foto ops dan jumpa pers untuk mengingatkan kepada kita semua
dan juga kepada negara. Bahwa sejarah
telah tertulis sejak adanya UU No 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) telah
menyebabkan terjadinya konflik agraria, perampasan lahan, kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM, karena
inilah awal mulanya masuk investor asing ke Indonesia.
Menurutnya,
setelah tahun 1969 Tanah Papua baru masuk menjadi bagian dari Indonesia. Banyak
terjadi konflik yang cukup luar biasa. Dimana banyak mengorbankan orang asli
Papua. SOS Tanah Papua menegaskan bahwa aktor dibalik beragam peristiwa di
tanah Papua adalah para kapitalisme global. Banyak orang Papua menjadi korban
tindak kekerasan dan kejahatan negara. Pihaknya menyatakan negara orang Papua
tidak percaya sama pemerintah pusat.
Hal
tersebut ditegaskan karena menurut SOS Tanah Papua, pada tahun 1999 Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia meratifikasi Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) melalui
Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Namun tidak bisa menjamin kehidupan orang
Papua.
Selain
itu, pemerintah Indonesia juga
telah meratifikasi Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan
Budaya melalui UU
No.11 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenant
on Economic, Social and
Cultural Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
“Indonesia
kan sudah meratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak-hak masyarakat sipil.
Tapi negara tak mampu menjalankan itu. Banyak orang Papua ditangkap, disiksa,
ditembak, dibunuh dan lain sebagainya. Bahkan dua kasus, Wasior dan Wamena
beradarah sudah naik sampai di jaksa agung pun aktornya adalah negara melalui
kaki tangannya. Banyak kekerasan dan kejahatan negara timbul setelah adanya
konvenan internasional hak-hak masyarakat sipil”, ujar Peneas Lokbere dalam
jumpa pers kemarin.
Lanjut
dia, orang Papua tidak bisa percaya Indonesia, Karena negara banyak tipu
masyarakat Papua. Mereka (negara) bilang akan selesaikan kasus pelanggaran HAM
tapi tidak konsisten. Slah satunya adalah tim bentukkan Luhut Panjaitan. Tim
ini belum jelas. Tim buatan Luhut harus jelaskan kasus mana yang berhasil dan mana
yang belum. Kalau tidak, pemerintah bentuk tim tersebut hanya untuk kepentingan
politik diplomasi politik Papua Merdeka di luar negeri”, sambungny lagi.
SOS
Tanah Papua juga menegaskan bahwa UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus dan
perubahan UU Otsus melalui UU Nomor 35
Tahun 2008 yang didalamnya tersirat Perlindungan (Protection),
Pemberdayaan (empowerment) dan
keberpihakan (alfirmasi action)
yang merupakan roh
dari Undang-undang Otonomi khusus
Papua kepada masyarakat adat Papua. Namun dikatakan, tidak menjawab persoalan
masyarakat.
Kondisi
Hak Asasi Manusia (HAM) - Sipil Politik
cenderung tidak pernah beranjak
menjadi lebih baik. Masih adanya tindakan sewenang-wenang oleh aparat keamanan
diluar koridor HAM juga masih terjadi. Beberapa fakta yang ditemui adalah
misalnya tidak adanya ruang kebebasan berekpresi & ruang demokrasi bagi rakyat Papua, masih
adanya teror terhadap jurnalisme yang kritis dan teror terhadap aktivis pembela
HAM.
Disisi
lain bahwa oknum aparat keamanan masih juga menjadi “keamanan” dalam menjaga
dan mengamankan perusahaan-perusahaan.
Bahkan di tahun 2016 SETARA Institute mencatat 68 peristiwa pelanggaran
HAM di Tanah Papua dengan 107 bentuk tindakan yang tersebar di wilayah Provinsi
Papua dan Papua Barat. Namun dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Tanah Papua, Pemerintah hanya mengakui tiga pelanggaran berat HAM
yakni kasus Wasior ( 13 Juni 2001), Wamena ( 4 April 2003) dan Paniai ( 8
Desember 2014).
Dengan
demikian, pihaknya menyatakan kepada rakyat Papua, Indonesia dan komunitas
Internasional bahwa 13 Juni adalah hari Tragedi Kekerasan ditanah Papua. Pihaknya
mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan beragam pelanggaran HAM ditanah
Papua. Selain itu, LSM di Papua juga memintah pemerintah membuka akses bagi
jurnalis asing, membuka ruang ekspresi bagi aktivis dan kekerasan terhadap
jurnalis di tanah Papua.
Pewarta : Soleman Itlay
Editor : Alexander Gobai
0 thoughts on “SOS Tanah Papua Nyatakan 13 Juni Adalah Hari Tragedi Kemanusiaan di Papua”