Agustinus Kadepa (Foto: Dok FB/Ist/KM) |
Oleh: Agustinus Kadepa
Dimana Nurani masyarkat
jelata ditarukan. Sebagai Inti dari suatu
pembangunan. Apakah nurani itu
diremehkan? Sehingga, waktu yang pergi dan
datang memakannya semata! “Hasil renungan”.
Pergerakan
Institusi (Lembaga) Adat, Agama, Pemerintah dan Lembaga Sosial lainnya,
kurang lebihnya memperlihatkan kemajuan dari pada lembaga dan visinya itu
sendiri. Demi
mengejar suatu kehendak yang baik dari lembaga itu. Telah tercanang bahwa, apa yang dilakukan di
masyarakat luas dari lembaga akan terlihat jelas imprufitas di lingkungan masyarakat,
bertambah atau berkurang. Semakin bergerak banyaknya suatu lembaga terhadap
masyarakat, begitu pula akan sama besarnya pengaruh yang diberikan dari lembaga
itu ke masyaraka. Sehingga, legal kebijakannya di
hargai dan diakui. Dengan demikian situasi hebo akan hal diatas.
Namun, fatalitas perkembangan sosial masyarkat di Papua yang illustrasinya
seribu ide untuk seribu jalan di manfaatkan oleh lembaga dan pengambil
kebijakan sebagai arena pertandingan visinya, sehingga nurani masyarakat mati sia-siakan.
Dalam
nuansa seperti itulah, tercipta suatu iklim yang tidak kondusif diantara kaum
kecil alias masyarakat dengan saling memberikan informasi yang tak berkunjug
pada titik penuntasan masalah sosila, dengan demikian lahirlah barisan-barisan
garis radikalis untuk mempertahankan ide dan prinsip. Barisan-barisan ini merupakan
tempat dimana saling memupuk dan mempersiapkan amunisi setiap individu untuk
berunjuk rasa secara halus mapun tidak demi untuk menciptakan dan mempengaruhi
lingkungan masyarakat sedemikian rupa.
Seribuh
jawaban itu terlihat dan benar-benar bekerja ketika politik demokrasi (Pilkada)
eksekutif-legislatif, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tak terlihat dari
lembaga organik maupun nonorganik yang hasilnya berdampak luas dalam kehidupan
masyarakat. Politik horisontal ini menjadi keheboan siang dan malam oleh para
masyarakat sebagai dampak korban dari pengaruh tadi. Sampai-sampai tidak
memikirkan pekerjaan pokok hari-harinya. Ladang para petani semak berduri dan
rerumputan tinggi, nelayang di laut hanya ombak saja yang terlihat, jiwa mereka
ditontonankan seperti bola kaki yang dapat di mainkan oleh siapa pun, ide
apapun dan hasilnya merusak kehidupannya sendiri.
Para
elit-elit menjadi top sebagai penguasa kecil
di tengah kehidupan jiwa yang dimatikan, sehingga mereka bebas untuk
bernafas sebanyak mungkin yang mereka (para elit-elit) inginkan. Para penguasa
itu tak perna memikirkan apa yang saya harus perbuat untuk rakyat, namun
sebaliknya apa yang saya harus perbuat untuk memepetahankan kejayaan ini.
Pikiran privat inilah yang menjadi inti persoalan Papua dan yang memakan banyak
korban jiwa. Jika kita merubahkan konsep dengan kata “ seribu ide untuk satu
jawaban” ini sangat menarik dan mudah untuk mamajukan masyarakat dan daerah di
Papua.
Penulis
mencobah untuk merilis dalam penulisan renungan ini yaitu ada dua kalimat yang
perlu kami pahami dan yang selama ini kami perbuat. Renungkan bahwa apakah saya
telah, sedang ikut dalam barisan seribuh ide untuk seribu jawaban, ataukah saya
telah, sedang ikut dalam barisan seribuh ide untuk satu jawaban. Sebab dua
konsep inilah sedang di pakai oleh para elit-elit Papua. Konsep utama yang
sedang berjalan sementara ini yaitu seribu ide untuk seribu jawaban yang
kemudian mematikan pola hidup masyarakat dengan karena banyaknya jalan dan
jawaban yang datang (susah untuk menentukan jati dirinya) di bandingkan konsep
seribu ide untuk satu jawaban.
Sekarang
kita sudah paham apa yang sedang terjadi di Papua, tentunya kita harus memilih
jalan mana seharusnya di jejaki dengan melihat korban nurani yang terjadi
selama ini. Penulis bukan hanya mengali masala namun juga penulis mencoba untuk
menemukan beberapa jalan keluar yang bisa di tempu oleh siapapu yang membaca
renungan ini yaitu beriku : (1). Tentukan saya ini siapa sebenarnya, dengan ini
akan membantu untuk membedaka mana yang baik dan baruknya setiap tingka yang kami lakukan termasuk hal diatas.
(2). Memilih jalan untuk keluar dari kepunaan nurani dari kepentingan tertentu.
(3). Mengejar cita-cita. (4). Memulai hidup baru bersama masyarakat dengan
kekuatan seribu Ide untuk satu jawaba: dengarkan ide atau keluan masyarakat,
bersatukan pedapat dan memulai hidup baru. (5). Kemerdekaan ada di tangan kita.
Beberapa point ini penulis merasa peluru untuk melawan penindasan nurani
terhadap masyarakat Papua, dengan demikian penulis berharap dapat berubah
sedikit demi sedikit mulai dari diri pirbadi dan masyarakat seluruhnya di
Papua.
Penulis:
Mahasiswa Papua, Kulia di Yogyakarta, Jawa.
0 thoughts on “Seribu Ide untuk Seribu Jawaban: Papua Dalam Elit Politikus”