Perusahan Tambang PTFI/bedikari/2017 |
Oleh: Moses Marxism Douw
KM-Opini. Freeport dijuluki sebagai perusahan tambang
terbesar di dunia,
yang beroperasi di daerah Papua berawal
sejak tahun 1967. Perusahan tambang ini beroperasi berdasarkan perjanjian ekonomi politik antara
Indonesia dan
Amerika Serikat.
Perajanjian
tersebut sudah sangat
melenceng dari ketentuna hukum internasional sebab tak melibatkan Pemilik Hak Ulaya Tanah Adat Orang
Asli Papua (khususnya Amungme
dan Kamoro) yang merupakan hak penuh atas bumi
Mimika.
PT. Freeport
Indonesia menambang konsetrat
emas, tembaga, uranium dan unsur fosil
lainya yang tak terlihat selama
7 periode Kepresidenan Indonesia. Meski demikian, saham dan pedapatan pajak negara sangat minim di tengah bumi
Indonesia yang kaya
akan kekayaan alamnya khususnya Gunung Emas di
Papua.
Kehidupan bernegara pun sangat berombang-ambing. Kemiskinan sangat meraja di tanah air dibandingkan negara-negara yang
lain yang mempunyai kekeyaan secukupnya, negara yang hidupnya
didasarkan atas negara
yang merdeka setelah Indonesia itu.
Itulah kehidupan negara
Indonesia selama 7 Kepresidenan di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia
tertinggal jauh alias tingkat ekonomi sangat rendah (Economic
Lower Level) di Asia Tengara. Hal ini jelas bahwa negara dan warga
negaranya sangat tertinggal jauh menjadi penonton di negeri sendiri dengan perombakan national
foregin policy of horizontal capitalizm dengan perjanjian bilateral indonesia-Amerika atas Freeport sehingga karakter negara menjadi
durhaka di atas tanahnya sediri.
Situasi Indonesia seperti ini membuat Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo untuk mereformasi (Revolusi Mental) semua lapisan pemerintahan; bidang ekonomi, politik, social, budaya dan lembaga lainnya
yang berkepentingan.
Terkait dengan itu, kebijakan
kementerian ESDM dari Kontrak Kerja (KK) ke Isin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). Menurut PTFI, kebijakan tersebut menguntungkan bagi
pemerintah dan merugikan bagi perusaha PTFI
yang dituangkan dalam PP No.23 Tahun 2010, usulan tersebut tertuang dalam
surat kementerian ESDM kepada kementerian koordinator bidang perekonomian
tertanggal 28 desember 2016.
Hal ini merupakan konflik endemk antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang
memakan eksitensi pemilik hak ulayat Amungme
dan Kamoro dalam liang hidup yang kalbu. Merupaka
deskripsi kebajikan karakter company dan pemerintah tidak atas dasar hukum yang
benar “Pemilik Kak Ulayat dinomortigakan yang seharusnya menomorsatukan”
Posisi
Orang Papua dan Persoalan PT.FI
Membincangkan persoalan Freeport ini, tak
semudah untuk orang
Papua melakukan tindakan berdasarkan fakta dan
pembelaan hak ulayat di pemerintah tingkat pusat. Seperti
yang tertulis dalam sejarah Freeport pada awal mulanya perundingan antara
Indonesia dengan Amerika Serikat dengan kepentingan ekonomi politik, bermula sekitar tahun 1967. Dalam perundingan itu
memutuskan bahwa perusahan asal Amerika
akan beroperasi di daerah tambang, tepatnya di Gunung Nemangkawi. Dengan
ketentuan Kontrak Kerja (KK).
Hal tersebut di atas ini sudah jelas bahwa
dalam perundingan antara Amerika dan Indonesia tidak melibatkan Orang Asli Papua khususnya pada Suku Amungme dan Kamoro yang
merupakan pemilik Hak Ulayat Tanah Adat.
Oleh karena
tidak hadirnya Orang Asli Papua di meja perundingan
pada saat itu, sehingga sekarang menjadi
bahan pertimbangan bagi orang Papua sebagi pemilik Hak Ulayat. Konflik antara Freeport dan Indonesia yang sudah sedang berlangsung ini, merupakan bagian
perwujudan dualisme egreement yang tidak memihak Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat.
Dimanakah perjuangan kepemilikan Orang Asli Papua, pemerintah dan LSM di papua ? berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dalam masa transisi konflik horizontal Freeport dan Pemerintah untuk melibatkan Pemilik Hak Ulayat Tanah adat dalam perudingan.
Dimanakah perjuangan kepemilikan Orang Asli Papua, pemerintah dan LSM di papua ? berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dalam masa transisi konflik horizontal Freeport dan Pemerintah untuk melibatkan Pemilik Hak Ulayat Tanah adat dalam perudingan.
- Masyarakat Papua dan Organisasi Swasta harus bersatu menyatukan semua keluhan dan pendapat masyarakat pemilik hak ulayat sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dan pembahasan dalam perjuangan selanjutnya,
- Pemeintah Provinsi dan Pemerintah Daerah memberikan dan memperjuangkan pandangan yang memberi jalan keuntungan bagi seluruh Masyarakat Papua dan pemilik hal ulayat,
- Dari kedua pihak di atas ini merupakan lembaga yang dipercaya pemerintah pusat sehingga sangat tepat untuk bersatu dan memperjuangkan nasib Orang Asli Papua sehingga dapat berunding secara jujur dan bermartabat yang tidak merugikan lain pihak.
Keboikotan kesatuan Orang Papua atas Coorporasi PT.FI
Orang Asli Papua berperan penting dalam kepentingan Ekonomi-Politik, Amerika Serikat dan Indonesia. Hendaknya orang
Papua sebagi pemilik hal ulayat berdiri sebagai pihak pertama
yang dirundingkan dalam persoalan tambang fosil di Papua, tidak serta-merta
perundingan terjadi pada kedua bela pihak
Freeport dan Pemerintah demi kepentingan ekonomi-politik.
Hal ini sudah diketahui oleh Pemilik
Hak Ulayat. Mengapa? Ketika pertama-kali perundingan perjanjian kontrak kerja Amerika dan Indonesia tidak melibatkan Orang Papua sebagai
Pemilik Hak Uayat Tanah Adat sehingga perlu diadakan klarifikasi dan evaluasi
bersama menganai asal usul terjadinya PT. Freeport.
Sampai sekarang ini, penulis
benenar-benar mengetahui bahwa ada gejolak gelap “Pencari perut kenyang” atas dasar
kepentingan indiviualisme tidak menjunjung nilai kemartabatan sosial dengan
membangun relasi yang kurang martabat bersama berbagai pihak yang
mengatasnamakan Pemilik Hak Ulaya Tanah Adat. Keterlibatan sepertin ini penulis
berani mengatakan moralitas tempurung kelapa yang mengimpikan konfilik selalu,
sudah sedan akan terus ada diatas negeri ini.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Swasta (DAP, DAW,
LPMAK, dll) dan Orang Asli Papua (OAP) khususnya suku Amungme dan Kamoro, untuk
bersatu demi mengambil keputusan bersama sebagai Musyawarah dan Mufakat orang
Papua sebagai Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat, berdasarkan Undang-undang
Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 bagi Orang Papua.
Penulis adalah Mahasiswa
Papua Kuliah di Kota Study Yogyakarta
0 thoughts on “Elit Kooporasi PT.FI, Amerika dan Indonesia, Hak Ulayat Diabaikan”