Yunus Gobai Ketua Ikatan Mahasiswa Papua Bogor. (Foto:dok/KM) |
By: Yunus Ekii Gobai
Artikel, KABARMAPEGAA.com-- Di
Tanah Papua sering terjadi banyak kasus Pelanggaran HAM; hingga sampai saat ini
satu pun belum terselesaikan. Berbagai kasus pelanggaran tersebut terjadi
disetiap sektor kehidupan. Perampasan tanah adat dan penggusuran rakyat Papua;
Penebangan ilegal, pertambangan menduduki diatas tanah adat tanpa
mempertimbangkan batas-tanah yang tentu memicu konflik; dan persoalan dominasi
militer beserta segalah bentuk prodak jakarta di Papua. Hal itu membuat rakyat
terasing, terpinggirkan bahkan termarginalisasi.
Ketika
rakyat bersuara atas keberadaan mereka yang tentu memisahkan mereka dari alam
dimana mereka tinggal, militerlah dengan gaya represifitas menjadi tanggapan
balik. Pengejaran, penangkapan, pemerkosaan, intimidasi, penganiayaan, penjarah
hingga pembunuhan. Rakyat Papua di Posisi yang tak dapat berbuat apa-apa.
Demokrasi dibranguskan habis oleh rezim, berbagai lebel stigmanisasi terhadap
rakyat Papua sebagai alasan pembenaran atas tindakan Negara melalui
aparaturnya. Diatas sangat terisolir akses jurnalis asing; persoalan papua yang
sesungguhnya masalah HAM berat, kemudian menjadi persoalan demostik. Inilah
keberadaan sosial rakyat Papua.
Semua
itu dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi dan politik; atas kepentingan kekuasan
dan pengeksploitasian Sumber Daya Alam (SDM) Papua demi akumulasi kapital. Para
penguasa ini tentu tidak bekerja sendirian demi kepentingan mereka. Mengapa?
Karena terlihat para pemimpin Papua, bahkan legislatif Papua, hingga
orang-orang yang menduduki di tempat terpenting dalam struktur sistim Negara,
justru memilih diam.
Sekali
lagi, wakil rakyat dipilih oleh rakyat Papua dalam pesta demokrasi, mereka
justru diam dan tak merespon aspirasi rakyat. Entahlah! Setelah mereka
menduduki kursi wakil rakyat—kini Dewan Perwakilan Rakyak yang kita kenal dalam
kerangka RI—Sudah merasahkan kenyamanan atas uang rakyat, janji kampanye
hanyalah tontonan atau Gadaian seperti halnya tonton lawakan semata. Kenamakah
mereka? Janji berantas korupsimu, berantas miras, togel, dadu, judi, akan
menuntas penambangan legal logging yang beroprasi di papua. Misalnya kasus 8 Desember 2014 yang
menewaskan 4 pelajar oleh Militer di Paniai, Bupati Paniai, Dr. Henky Kayame,
SH, MH, mengatakan bila Negara tak selesaikan kasus tersebut “saya akan lepas
Garuda” hanya iklan maniso, tipu keluarga korban atas darah dan tangisan
mereka.
Saya
disini hampir ngiris melihat keadaan rakya “kecil” di Tanah Papua. Kadang
merasa malu sendiri untuk mengakui bahwa kita rakyat Papua yang terkenal
kemakmurannya yang kaya akan SDM, tapi semua tidak ada buktinya—hanya bohong
dan isapan jempol belaka.
Saya
hanya bertanya kepada diri saya mengapa orang-orang Papua yang elit-birokrat,
apa lagi yang duduk di kursi wakil rakyat, ini terkesan terdiam atas persoalan
HAM yang menimpa rakyat? Itu kah cara wakil rakyat menerima rakyat sebagaiman
orientasinya? Ataukah kepala daerah punya kekuasan untuk menipu dan
menanfaatkan orietasinya sebagai penguasa?
Memang
pejabat yang seperti ini pantas jadi intipnya neraka. Kita harus bangga memberi acungan jempol bahwa
pejabat yang seperti itu sudah berhasil atau sukses mencekik rakyat kecil.
Pejabat Papua Jangan Umbar Janji Manis
terhadap Rakyat
Melihat
kondisi ini penulis melihat, seharusnya, Pejabat Pemerintah Provinsi Papua tidak
mengumbar janji manis kepada masyarakat, apa lagi menipu; adalah sama halnya
anda adalah bagian dari sentimen pelaku pelanggaran HAM Papua. Bahkan,
masyarakat Papua selama ini telah bosan dengan janji manis yang disampaikan
para pejabat elit-birokrat: entah Pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi
dan kabupaten.
Misalnya,
masalah pembangunan Pasar Mama-Mama Papua yang terbelengkalai. Padahal sudah
menjadi janji Presiden Joko Widodo ketika melakukan kunjungan ke Jayapura,
Papua. “Pak Presiden sudah janji kepada
masyarakat Papua, disampaikan secara langsung di publik. Tapi kok, Pemerintah
Pusat seperti setengah hati meresponnya. Mengapa?” Ah... Ini pertanyaan
saya yang subjektif dan pesimis.
Penulis
mengharapkan agar Pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi dan kabupaten dapat
memberikan bukti nyata kepada masyarakat Papua, dalam setiap kunjungan ke Papua
bahkan daerah. “Masyarakat saat ini menunggu bukti janji-janji Pemerintah
Pusat, Provinsi dan Kabupaten, kami harap dapat direalisasikan, supaya
masyarakat Papua, setidaknya, percaya dengan Pemerintah Pusat. Kalau
memang tidak direspon maka, orang-orang
west papua akan bertanya sambil mereka habis satu persatu.
Takut Kehilangan Jabatan Karena Uang?
Beberapa
waktu lalau Legislator Papua Laurenzus Kadepa menulis Para pemimpin daerah
diberikan mandat untuk mengatur uang negara yang sepenuhnya untuk kesejahteraan
rakyat. Uang bukan milik pejabat ini dan itu, bukan milik nenek moyang kecuali
hak- haknya yang sudah diatur sesuai perundang-undangan yang berlaku. Hanya
pemimpin bodok saja yang merasa APBD dan sumber lainnya adalah miliknya.
Barangkali mata hati kita dibutakan oleh prilaku kita sendiri yang merasa uang
rakyat itu milik pribadi dan masuk kantong.
Saya kwatir penyakit kerakusan dan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) ini
dapat memanfaatkan.
Apa
komentarnya?
Tutup
mata degan nilai rupiah alias KKN pemimpin yang rakyat tidak mau hidup
sejahtera. Pejabat kita saat ini rata-rata tidak memiliki sumber uang lain yang Halal...
Setelah menjadi Pejabat tuntutan keluarga,masyarakat dan lingkungan Abnormal
meningkat. Lantas Uang Rakyat menjadi sasaran, Terjadilah korupsi. Ijin Beri
Solusi menurut penulis Pegangan Sumpa Janji Saat kita di lantik dan Sebelum
menjabat kita sudah memiliki mesin Uang (usaha permanen).
Setelah menduduki jabatan atau posisi itu anggap saja pemerintahan itu milik keluarga dan primordialisme. Setelah menjabat, kembali mengisap darah rakyat—ini konsep penindasan yang dimiliki oleh kepada daerah.
Setelah menduduki jabatan atau posisi itu anggap saja pemerintahan itu milik keluarga dan primordialisme. Setelah menjabat, kembali mengisap darah rakyat—ini konsep penindasan yang dimiliki oleh kepada daerah.
Menurut
Brahm Seseray mengomentari soal tindakan dan perilaku
pemanfaatan orientasi para elit-birokrat Politik, bahwa
“Sebagai
anak Papua saya tidak pernah merasakan uang otonomi khusus, mereka oknum
pejabat selalu mengembar gemborkan uang otsus untuk rakyat tetapi mana? Sebagian orang asli Papua
mungkin sudah ada yang merasakan dana otsus namun sebagian juga belum
merasakan, para oknum pejabat asli Papua telah dirasuki roh Tamak, egois,
rakus, mementingkan kesukuismean, kepentingan sendiri.
Korupsi
telah merajahlela hingga ke kepala kampung sampai jajaran terbawa RT/RW.
Beberapa bulan lalu saya memasukan laporan kepihak Polres untuk menangkap salah
satu kepala dinas di kabupaten Provinsi Papua atas dugaan Korupsi dana
keagamaan, tiga kali surat panggilan dari Polres tapi oknum pejabat yang
bersangkutan tidak mau datang, saya ke Polres menuntut agar pajabat tersebut
harus ditangkap paksa, namun pihak polres katakan karena beliau sudah menjadi
pejabat jadi harus minta ijin di bupati dulu, ya memang saya tahu aturan
harusnya begitu namun melihat polisi yang tidak begitu serius menangani, saya
hanya menduga bahwa telah terjadi suap menyuap akhirnya saya mundur.
Lalu saya
ancam pejabat yang bersangkutan melalui sms bahwa saya akan memecahkan
kepalanya, akhinya dia memanggi jemaat yang belum mendapatkan dana keagamaan
tahun 2016 dikasih ini realita kehidupan.
Saya kaget
ketika membaca informasi yang mengatakan bahwa pemda kota-kabupaten se-Papua
mendapatkan WTP dari BPK. Itu penilaian omong kosong patut dicurigai, saya
yakin telah terjadi Suap menyuap kepada BPK, West New Guinea (Papua dan Papua
Barat) merupakan salah satu tempat sorga korupsi dan suap menyuap,pemimpin
harus menjadi pelayan bukan mencari popularitas.
Itulah
kutipan komentar berpandangan Brahm Seseray yang menurut saya sangat penting dalam tulisan
ini.
Bicara
soal korupsi indonesia tuan rumah, bicara papua sama saja karena itu pemain
sepak bola di lapangan hijau jadi siapa saja yang tersentuh bola duit diluar
dari penghasilan keringat pasti ikut menendang hingga gol ke gawang korupsi
sekalipun lembaga-lembaga orang asli
papua yang telah dipercayakan masyarakat untuk duduk di bagian tertentu
mengatur jalannya pertandingan program anggaran milik rakyat yang seharusnya
100 % menyentuh guna pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat papua maju sukses , jika tidak orang asli papua akan hancur karena
ketidak mampuan dan kemiskinan yang
terus melanda hingga ke pelosok itulah dampak yang akan terjadi.
Kapan
orang papua bisa mencapai target 80-90% menduduki jabatan pemerintahan di
seluruh papua dan Papua barat kalau
keadaan ini tidak dapat diatasi dengan baik.
*)
Penulis oleh Ketua Ikatan Mahasiswa Papua Bogor periode 2016-2018
0 thoughts on “Catatan: Pemimpin Harus Menjadi Pelayaan”