JAKARTA,(KM)-- Meski tidak ada penegasan eksplisit, penjelasan Presiden Jokowi kepada James R Moffett, presiden dan chief executive officer (CEO) Freeport McMoran di Istana Merdeka, Kamis (2/7), memberikan spirit yang cukup melegakan. Para anggota Komisi VII DPR RI dalam pertemuan dengan manajemen PT Freeport Indonesia juga menyampaikan spirit yang sama. Namun, untuk kepastian investasi PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua, tetap dibutuhkan kepastian hukum mengenai perpanjangan kontrak pasca Kontrak Karya (KK) II yang berakhir 2021.
"Pak Moffett cukup senang karena dia menangkap spirit yang kuat dari Presiden agar Freeport melanjutkan investasinya di Indonesia," kata Presdir PT Freeport Indonesia (FI) Maroef Sjamsuddin dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi saat berbuka puasa di kantornya, Kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (10/7). Sebagai presiden dan CEO, Moffett harus menjelaskan perkembangan investasi PT FI kepada para investor dan dewan direksi Freeport McMoran.
Pada pertemuan dengan Moffett, kata Maroef, Presiden memberikan tiga arahan kepada Freeport. Pertama, PT FI harus memberikan manfaat lebih kepada pembangunan ekonomi, khususnya bagi Papua.
Kedua, meminta agar penggunaan local content atau produk dalam negeri ditingkatkan. Ketiga, PT FI ikut membangun power plant atau pembangkit listrik. Keempat, PT FI harus merealisasikan pembangunan smelter.
Moffett, kata Maroef, menyatakan bahwa PT FI bersedia melaksanakan semua permintaan Presiden. Untuk poduk lokal. Moffett bahkan berencana membeli alat-alat berat dari Pindad dan balian peledak dari BUMN. Kontribusi terhadap Indonesia, dan khususnya Papua, akan terus ditingkatkan. Pembangunan power plant dan smelter sedang dalam proses realisasi. Selain Maroef Sjamsuddin, Moffett dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo Qokowi) didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) Sudirman Said serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago.
Spirit yang ditunjukkan Presiden dan DPR RI, demikian Maroef, perlu dituangkan dalam produk hukum agar ada kepastian bagi investor. "Landasan hukum yang tepat bagi PT FI sedang dikaji oleh pemerintah, yang diwakili Kementerian ESDM, dan DPR. Investasi jangka panjang yang menyedot dana besar membutuhkan kepastian hukum," ungkapnya.
Saat ini, pemerintah dan DPR tengah mempelajari dua kemungkinan payung hukum bagi PT FI. Pertama, mengamandemen Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan mineral dan Batubara. Kedua, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Payung hukum sangat penting bagi PT FI, karena KK II perusahaan ini baru berakhir 2021. KK adalah kontrak antara pemerintah dan perusahaan yang dibuat berdasarkan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 1 Tahun 1967 tentang PMA, dan UU No 6 Tahun 1968 tentang PMDN.
Dalam pada itu, tahun 2009, lahir UU No 4 tentang Pertambangan mineral dan Batubara (Minerba) yang menerapkan konsep izin usaha Pertambangan (IUP) dan izin usaha Pertambangan khusus (TUPK).
Jika pada KK kedudukan negara dan investor sama kuat karena sama-sama sebagai pihak yang terlibat dalam kontrak karya Pertambangan, pada IUPK, posisi pemerintah lebih kuat Pemerintah adalah pemberi izin dan izin itu bisa dicabut sewaktu-waktu jika pihak yang diberikan izin melanggar peraturan atau melalaikan kewajiban. Tapi, PT FI tidak serta-merta beralih ke IUPK dan meninggalkan KK Kewajiban untuk membangun smelter sesuai UU No 4 Tahun 2009 harus dipatuhi, tapi KK masih tetap berlaku hingga 2021.
Masalah kepastian hukum dialami PT FI karena pertama, perusahaan ini harus membangun smelter dan wajib beroperasi 2017 sesuai UU No 4 Tahun 2009. Kedua, smelter sudah harus mulai dibangun agar 2017 bisa beroperasi. Ketiga, sesuai ketentuan, PT FI baru akan mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2019, dua tahun sebelum kontrak berakhir. Keempat, PT FI harus mempertahankan produksi ore atau bijih tambang, agar pembangunan smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian bijih tambang yang beroperasi 2017 tidak mubazir dan produksi PT FI tidak habis sebelum kontrak berakhir.
"Cadangan di open pit, Grasberg, akan habis tahun 2017. Kalau tidak investasi penambangan di bawah tanah, ore akan habis begitu smelter selesai dibangun. Ini yang menjadi masalah," papar Maroef.
Mengantisipasi penurunan produksi di tambang terbuka, Grasberg, PT FI sejak 2008 membangun infrastruktur untuk kegiatan penambangan bawah tanah, antara lain, terowongan yang saat ini sudah mencapai 500 km. Lewat terowongan ini, ore akan diambil untuk diolah menjadi konsentrat. Kegiatan penambangan bawah tanah atau underground mining sudah menghabiskan investasi USS 4 miliar. Saat ini, PT FI sedang membangun lagi terowongan bawah tanah sepanjang 500 km, sehingga total panjang terowongan akan mencapai 1.000 km.
Dalam kondisi normal, PT FI mengolah sekitar 200.000-240.000 ton bijih per hari. Mencapai puncak tahun 2008 dengan produksi ore 238.000 ton, produksi PT FI merosot akibat ketidakpastian investasi, khususnya pasca lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan Batubara. Pada 2014, produksi PT FI sebesar 118.000 ton bijih per hari, turun dari 179.000 ton tahun sebelumnya. Tahun 2017, penambangan open pit menipis dan andalan utama adalah penambangan bawah tanah yang saat ini sudah menghasilkan 50.000 ton per hari.
PT FI pernah terkena pembatasan ekspor konsentrat Pada periode Januari-Juli 2015, PT FI hanya mendapat kuota ekspor 580.000 ton konsentrat Izin tersebut merupakan perpanjangan dari periode enam bulan sebelumnya, yakni Juli 2014 hingga Januari 2015. Izin ekspor digunakan pemerintah untuk menekan PT FI membangun smelter. Kebijakan larangan ekspor mineral menjadi salah satu penyebab membengkaknya defisit neraca perdagangan.
Sejak mendapat izin operasi 1967 dan beroperasi komersial 1973, PT FI sudah menginvestasikan dana US$ 11 miliar. PMA pertama yang akan habis masa kontrak tahun 2021 itu menyiapkan sekitar USS 17 miliar untuk investasi di hulu Pertambangan sebesar USS 15 miliar dan pembangunan smelter USS 2,3 miliar. "Ketika ada kepastian, investasi baru akan dikucurkan," kata Maroef.
Payung Hukum
Opsi revisi PP atau penerbitan Perppu tengah dikaji pemerintah dan DPR. PT FI mengharapkan pemerintah sebagai regulator menjadi jembatan antara investor dan legislatif. Masing-masing opsi memiliki plus dan minus. Opsi Perppu kemungkinan tidak hanya untuk PT FI, melainkan semua perusahaan Pertambangan. "Apa pun opsi, kami terima asalkan ada kepastian hukum bagi Freeport untuk melanjutkan investasi," ujar Maroef.
Pada kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya W Yudha menuturkan, pemerintah bisa menerbitkan Perppu guna memberi kepastian hukum bagi pemerintah dan industri Pertambangan umum. Namun, penerbitan Perppu tersebut harus terlebih dahulu dikonsultasikan ke DPR.
Menurut Satya, persyaratan menerbitkan Perppu adalah dalam keadaan darurat Persyaratan itu sudah terpenuhi saat ini di dunia Pertambangan. Pasalnya, PP No 1 Tahun 2014 maupun Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2014 tidak senafas dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan Batubara.
Sebagai contoh, dalam UU dikatakan peningkatan nilai tambah mineral paling lambat berlaku lima tahun sejak UU diundangkan. Artinya, pada 2014 hanya produk mineral hasil pemurnian yang diizinkan ekspor. Namun, faktanya, PP No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 memberi relaksasi hingga 2017. "Pemerintah sudah melanggar ketentuan dalam UU Minerba. Oleh sebab itu, langkah bijaknya dengan merevisi UU tersebut Berapa lama lagi kita izinkan industri dan pemerintah melanggar UU Minerba," tandasnya.
Satya menuturkan, revisi UU Minerba sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Namun, revisi UU memakan waktu dan bukan hal yang sederhana, sedangkan pelanggaran konstitusi masih berlangsung.
Oleh sebab itu, menurut dia, pemerintah bisa menerbitkan Perppu guna memberi kepastian hukum bagi pemerintah dan industri Pertambangan. Untuk menerbitkan Perppu, bisa dalam waktu 2 pekan. "Kalau mengeluarkan Perppu mempersingkat pelanggaran yang ada," paparnya.
Dia memaparkan, ada tiga hal yang bersifat urgen untuk menyelesaikan masalah Pertambangan agar tidak melanggar regulasi. Pertama, mengenai batas waktu pemberlakuan kewajiban hilirisasi mineral. Batas waktu itu harus berdasarkan kajian dan kondisi yang dihadapi pelaku usaha. Dengan begitu, nantinya tidak ada lagi relaksasi seperti saat ini.
"Kita tidak bisa bilang hilirisasi paling lambat 2017. Iya kalau industri tambang siap, kalau tidak, maka bisa melanggar lagi," ucapnya.
Kedua, lanjut Satya, terkait perpanjangan usaha bagi pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B). Dalam UU Minerba, ketentuan mengenai perpanjangan itu tidak diatur secara jelas, yang menyebabkan multitafsir. Oleh sebab itu, dalam Perppu ataupun revisi UU Minerba harus memuat ketentuan yang jelas mengenai hal tersebut.
Ketiga, mengenai perubahan rezim kontrak karya dan PKP2B menjadi IUPK. Dalam UU Minerba ketentuan ini belum diatur secara jelas bagaimana masa transisinya.
Namun, dia mengingatkan, Perppu yang diterbitkan itu jangan hanya mengakomodasi kepentingan Freeport "Penerbitan Perppu jangan dikerditkan pada satu industri saja. Bukan hanya untuk Freeport," tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Dito Ganinduto mengatakan, apa pun kebijakan yang akan diambil pemerintah, apakah melalui amandemen PP atau menerbitkan Perppu, semuanya harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR. Yang terpenting, produk hukum yang dikeluarkan nantinya bermanfaat bagi industri Pertambangan umum secara keseluruhan dan pemerintah tidak melanggar UU yang sudah ada.
"Jadi, jangan sampai ada kesan pemerintah mengeluarkan produk hukum baru atau bahkan mengubah produk hukum hanya untuk kepentingan satu perusahaan. Nanti malah diprotes perusahaan lain," kata dia.
Pengamat energi dari UI Iwa Gar-niwa mengatakan, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang tegas agar ada kepastian bagi pelaku usaha, sehingga mereka bisa menentukan program berikutnya. Apalagi, yang terkait dengan kontrak jangka panjang, khususnya yang nilai investasinya besar.
Sementara itu. Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral menyatakan, kepastian usaha bagi PT Freeport Indonesia bakal diputuskan paling lambat akhir tahun ini. Keberlangsungan operasi pasca berakhirnya kontrak di 2021 terintegrasi dengan pembangunan wilayah Papua.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga iklim investasi serta membutuhkan keterlibatan investor dalam pembangunan infrastruktur serta industri hilirisasi Pertambangan. Perpanjangan usaha untuk Freeport, lanjut dia, harus memiliki manfaat yang besar bagi Indonesia khususnya Papua.
"Paling lambat akhir tahun ini harus ada kepastian. Kami juga menunggu kajian Bappenas terkait dengan pembangunan Papua," kata Dadan kepada InvestorDaily di Jakarta, Sabtu (11/7).
Dadan menuturkan, Freeport Indonesia sudah bersedia mengubah pola hubungan kerja dengan pemerintah dari kontrak karya menjadi izin usaha Pertambangan khusus. Namun, dia menegaskan, pemerintah belum memutuskan kapan pemberian IUPK itu. Pasalnya, pemerintah masih melakukan kajian hukum terkait hal tersebut serta mendengarkan masukan dari berbagai pihak.
Hal itu lantaran ada Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan mineral dan Batubara. Peraturan itu menyebutkan, permohonan perpanjangan usaha diajukan paling cepat dua tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum kontrak berakhir. Artinya, Freeport dapat mengajukan perpanjangan usaha di 2019. "IUPK memang enggak bisa diberikan sekarang. Tapi, apa pun nanti keputusan pemerintah tidak akan melanggar ketentuan yahg berlaku," ucapnya.
Dia menegaskan, pemerintah tidak akan merevisi PP tersebut demi memuluskan pemberian usaha bagi Freeport. Begitu juga tidak akan menerbitkan Perppu hanya untuk kepentingan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. Apabila ada revisi regulasi, hal itu berlaku untuk kepentingan sektor Pertambangan mineral dan batubara. "Kalau menerbitkan Perppu atau revisi PP bukan semata-mata untuk Freeport. Tapi, juga berlaku untuk umum," tuturnya.
Sebelumnya, kepada Investor Daily, Ketua Program Studi Teknik Metalurgi ITB Zaki Mubarok mengatakan, keputusan yang akan diambil pemerintah terkait Freeport sangat dinanti-nantikan. Dia menyambut positif sudah adanya titik temu antara pemerintah dan Freeport. "Ini yang kita tunggu-tunggu, bagi industri Pertambangan merupakan sinyal positif. Yang terpenting adalah komitmen dan realisasinya," kata Zaki.
Dia menekankan soal komitmen Freeport untuk membangun smelter, yang diikuti komitmen pemerintah untuk memperpanjang kontrak. "Antara kelanjutan kontrak dengan pembangunan smelter logisnya memang harus saling terkait Karena secara Bisnis, untuk membangun smelter membutuhkan investasi dalam jumlah besar. Jadi, masuk akal jika Freeport mengharapkan perpanjangan kontrak," ucapnya.
Dia berharap, program hilirisasi mineral terlaksana sesuai rencana, meski pelaksanaannya terlambat Ini mengingat, jika mengacu Undang-Undang Minerba, smelter sudah harus terealisasi pada 2017.
"Karenanya, dibutuhkan dukungan penuh dari lembaga dan instansi terkait lainnya. Pengalaman selama ini, kendala justru ada di nonteknis, seperti masalah lahan, lingkungan. dan lainnya. Mudah-mudahan, dengan keterlibatan Presiden, masalah ini bisa diatasi dengan baik," ujarnya.
Kontribusi
Sementara itu, PT FI sudah menyetujui kenaikan royalti Tembaga dari 3,5% menjadi 4%, emas dari 1% menjadi 3,75%, dan perak dari 1% menjadi 3,25%. PPh badan sebesar 35% dari laba bersih yang harus dibayar PT FI tetap berlaku. Padahal, semua korporasi Indonesia membayar PPh 25% sesuai UU PPh. PT FI juga sepakat divestasi saham ditingkatkan dari 9,36% menjadi 30% dan mengharapkan divestasi dilakukan lewat initial public offering (IPO). Penggunaan barang dan jasa dalam negeri akan dinaikkan dari 71% ke 90%.
Dalam 42 tahun beroperasi di Indonesia, PT FI sudah berkontribusi secara langsung dan tidak langsung kepada Indonesia dan Papua. Pada kurun waktu 1992-2014 atau 22 tahun beroperasi, kontribusi langsung PT FI kepada Indonesia US$ 15,6 miliar dan secara tidak langsung US$ 29,5 miliar.
Kontribusi langsung adalah pajak, royalti, dividen, dan biaya lain. Sedangkan kontribusi tidak langsung mencakup gaji dan upah, pembelian dalam negeri, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri. pajak dan pungutan lainnya yang diterima pemerintah dari PT FI selama 22 tahun itu mencapai USS 12,8 miliar, dividen USS 1,3 miliar, dan royalti USS 1,6 miliar.
Total tenaga kerja yang diserap PT FI mencapai 30.000 orang, 97,4% di antaranya adalah orang Indonesia. Para insinyur yang bekerja di Pertambangan bawah tanah semuanya orang Indonesia. "Keahlian mereka tidak kalah dari asing, bahkan sejumlah prestasi mereka jauh di atas para insinyur di negara lain," ujar Maroef.
Dari total tenaga kerja Indonesia yang bekerja di PT FI, sekitar 27% adalah warga asli Papua. Lebih dari 95% produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika berasal dari PT FI. Dalam kurun waktu 1992-2014, total investasi pengembangan masyarakat setempat yang diberikan PT FI mencapai US$ 1,3 miliar. PT FI, antara lain, membangun infrastruktur jalan, pelabuhan udara, sekolah, dan rumah sakit.(Kudiai m/KM)
(Sumber komunitas Freeport /Primus Dorimulu Kepada www.kabarmapegaa.com)
Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan perusahaan asal negeri mereka bakal terus berinvestasi di Indonesia, selama keberadaannya diinginkan Pemerintah Indonesia.
ReplyDeleteHal tersebut disampaikan Wakil Asisten Menteri Energi AS Jonathan Elkind, menanggapi langkah Presiden Joko Widodo yang memberi previllege kepada PT Pertamina (Persero).
Yakni terkait masa kontrak ladang minyak dalam negeri yang akan habis masa kontrak pengelolaannya dari tangan swasta asing, sebagaimana yang telah dilakukan dalam isu Blok Mahakam di Kalimantan Timur.
“Perusahaan AS bisa kontribusi dengan baik di pasar Indonesia apabila pemerintah Indonesia masih menginginkan keberadaan mereka di Indonesia,” kata Elkind, dalam jumpa pers usai menghadiri acara diskusi bertajuk Indonesia Energy Investment Roundtable di Jakarta, Senin (3/8).
Siap Investasi, Perusahaan AS Tunggu ‘Sinyal’ Pemerintah Indonesia