Petrus Douw (Foto: Dok KM) |
Oleh: Petrus Douw
Tanah Papua dan Manusia Asli
Papua (MAP) telah mengambil nama dimuka Internasiol sebagai hewan buruan
dan Daerah Operasi Militer (DOM). Sehinga berbagai pelangaran Hak Asasi Manusia
(HAM) besar-besaran dilakukan oleh pihak kolonialisme Indonesi di Tanah Papua
dengan kebijakan yang tidak tetap.
Awal mula dari operasi-operasi militer
di tahun 1963-1969, seperti operasi sadar 1965-1967, operasi bhartayudha
1967-1969, operasi wibawa 1969. Selain itu masih ada niat kekerasan terhadap
warga Papua termasuk operasi di daera Jayawijaya 1977-1982, operasi sapu bersi
I dan III 1981, operasi galang I dan II 1982, sampai tahun 1998. Setelah kasus
ini masih banyak penyisiran besar-besaran yang dilakukan oleh gabungan
TNI/POLRI, seperti Wamena berdara 2004, Dogiyai berdara 2011, Paniai berdara
2014 dan kasus Tolikara dan Timika 2015, serta 1 Desember 2015, sejumlah orang
dibunuh oleh gabunga TNI/POLRI di Mambramo, Yapen dan ditangkp lebih 200 orang.
Sehinga Papua dikategorikan sebagai daera operasi militer (DOM).
Kekerasan fisik, non fisik, segaja,
tidak segaja, kelihatan dan tidak kelihatan di lontarkan melaui Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Atas dasar berbagai kekerasan dan tidakan
kriminalitas terhadap masyarakat jelata, aktivis, sampai dengan pejuang tanah
serta manusia Papua mengalami Penjajaan, Penyisiran, dikerjar, ditangkap dan
ada yang Dibunuh langsung, serta hukuman mati.
Negara Indonesia sering dikenal dengan “Negara Hukum” kadang kalah, hanya wacana
tertulis yang tidak pernah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran Hak Asasi
Manusia (HAM) dan hukum Indonesia mengambil kebijakan berdasarkan masalah lain
dan aturan yang dituntut lainnya pula.
Dinamika hukum dan pelengaran HAM
ringan sampai dengan berat, pengambilan kebiajakan dan hukum yang tepat tidak
pernah mengambil posisi yang strategis. Hal ini mengakibatkan banyak pelangaran
HAM di Papua belum selesai sampai saat ini. Berbagai lembaga LSM, LMA, serta Tokoh
Adat, Tokoh Perempuan, Tokoh Pemuda serta berbagai elit peduli manuia EPM,
Pihak Hukum, Pemerintah Pusat tidak perna menghormati, menghargai harkat dan
martabat sebagai OAP.
Salah satu contoh kongkrit adalah,
Nason Pigai sebagai tokoh Adat kabupaten Dogiyai, selalu berbincang tentang
keadaan mama-mama Papua dalam bidang Ekonomi, PEMDA tidak pernah peduli akan
itu. Bagian dari mahasiswa sebagai agen perubahan kabupaten Dogiyai, pernah
melakukan berbagai aksi tentang, mendesak pemerintah daerah membuat dan
terapkan peraturan daerah (PERDA) itu pun, tidak pernah terjawab. Seolah-olah
suara OAP hanya distikma oleh pihak berwenang yang mencari keuntungan diantara
kemiskinan, keterbelakangan, kegoncangan dan ketindasan oleh pemerintah
Indonesia.
Tanah Papua dan manusia Papua (TPMP),
sedang diselimuti dalam bara-api, dimana manusia mulai mencari tempat
perlindungan, akibat peledakan penduduk non-Papua mulai berkembang. Pulau Papua
tiga kali lebih luas dari pulau Jawa. Orang Papua menduduki hanya separu. Orang
Asli Papua (OAP), mengalami satu tekanan halus yang mendalam. Sumber Daya Alam (SDA)
di exploritasi besar-besaran oleh Negara. Hampir semua kota di Papua dan non-Papua sedang membangun rumah seperti
seekor burung melayangg-layang. Bangunan hanya separu, namun mereka mencari
ekonomi di Papua dengan berbagai langka. Ada yang menjual pulsa, jahit sepatu
dan banyak cikal bakal kehidupan yang dihiasi demi hidup mereka.
Kekerasan di tanah Papua akan menjadi
satu sejarah “Peradaban ” yang luar
biasa dari peradaban lain. Seketika Papua masi dalam lingkaran NKRI. Perjuangan
Papua telah melahirkan pemimpin-pemimpin handal yang mampu menerobos berbagai
tembusan. Namun, masi saja begitu. Orang Papua harus bersatu dan menggupas air
mata darah telah alami melalui operasi-operasi militer OAP, terhadap manusia
Papua. Hal ini mulai pada tahun 1962 sampai dengan 1969 dilanjutkan sampai
tahun selanjutnya juga.
Presiden NKRI Joko Widoyo-JK, telah
menipu orang Papua dengan seribu janji. Mulai dari akan rekonsiliasi masalah
penembakan 4 pelajar di paniai 8 deseber 2014 lalu, dan beberapa pelangaran HAM
berat yang terjadi sebelum maupaun saat ini. Dimana kenyatan janji akan
menyelesaikan masalah itu. Tandaya bahwa Negara telah melakukan penipuan
terhadap orang Papua. Dengan ini kepada kuasa hukum tidak membenahi hal itu,
Sementara presiden telah berjanji menyikapi kasus-kasus pelangaran HAM berat
sampai ringan di tanah Papua. Tidak ada kebijakan khusus yang mendesak presiden
untuk mendorong dan tanggungjawab atas segalah konflik di tanah Papua.
Kepemimpinan Joko Widoyo dan Jusuf
Kalla, telah melahirkan berbagai kasus pelangaran HAM terhadap masyarakat sipil
di tanah Papua. sehingga pandangan orang Papua untuk menyelesaikan masalah,
tidak ada harapan. Orang Papua mampu menghindar diri dari berbagai kekerasan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Banyak pihak yang mencari makan dan minum
untuk mereka, melakukan banyak langka dimana membuat pendekatan terhadap OAP.
Sementara kasus pembunuhan besar-besaran dilakukan oleh TNI/POLRI di tanah Papua
dikubur. Kasus-kasus pelangaran HAM berat yang belum terungkap penembakan
terhadap 4 pelajar di kabupaten paniai 8 desember 2014 lalu, penembakan terhadap
dua pemuda GIDI di Tolikara, penembakan salah satu pemuda di Ugapuga kabupaten
Dogiyai, penembakan dan penyisiran di Timika antara 30-an orang ditangkap, dua
orang tewas, dan Kasus 1 desember 2015, penembakan yang samua terhadap suku
Kamoro telah tewas dua pemuda di Timika, dan masih banyak pelangaran HAM yang
ciptakan oleh pihak TNI/POLRI di tanah Papua masi belum terungkap.
Pembagunan infrastruktur di tanah Papua
bukan merupakan menciptakan kesejahteraan hidup dan mengatasi nilai kemiskinan.
Melainkan, konflik bagi orang Papua. Sementara orang Papua dalam duka-duka
kekerasan segaja dilakukan oleh pihak keamanan. 100% orang Papua tidak pernah
memintah infrastruktur, melainkan dihargai hak-hak dasar orang Papua sebagai
pribumi. Sementara membabi buta dengan isu otonomi khusus No 21 tahun 2001.
Implementasi tidak pernah menyelesaikan
masalah dalam bentuk apapun. Kalau dalam dunia politik kegunaan wewenang dan
jabatan dalam demokrasi sebaiknya, tidak mungkin terjadi konflik fisik maupun
batin. Adanya kemacetan dan tidak konsisten demokrasi sebagai salah satu pengantar
penyelesaian masalah Papua. Maka, kebijakan dan keputusan dalam kursi Eksekutif,
sampai Mahkama Agung, tidak menjadi persoalan.
Masalah Papua tidak selesai-selesai. Karena
ada aktor-aktor penyalagunaan wewenang. Nagi pihak yang berwenang tidak
mengambil posisi netral. Maka yang lemah tetap ditidas oleh yang kuat, tidak
ada hukum yang netral.
Orang Papua mampu dan bisa mengatur
diri sendiri tampa campr tangan orang lain. Mencari kelemahan dalam kekerasan,
harus bersatu, solidaritas melawan kekerasan fisik maupun batin dengan
langka-langka yang tersebunyi. Semoga tulisan diatas ini makna bagi kita semua.
Penulis Adalah Mahasiswa Universitas
Cendrawasih yang Sedang Kulia di FKIP
Jayapura, Papua.
0 thoughts on “Manusia dan Tanah Papua dalam Barah Api”