Oleh, Fransiskus Yogi
Fransiskus Yogi.Ist/Foto : Doc.Prib |
Cerpen/(KM) --- ORANGTUAKU, Engkaulah Pengobat sejati di tepian Kota Injil. Semenjak tahun 2009 itu, panggilan hati yang tidak terduga telah hadir dalam benakku. Walaupun tidak terdeteksi arah dan teracu dimana akan ku pergi. Mendengar kabar dari kakanda tertua itu, termotivasilah dan pergi di tepian kota injil disana yang juga Manokwari itu. Terjemputlah oleh dia yang hebat.
Saya tidak sanggup melihat, karena kamu memang daripada mereka. Saya menghilang engkau berseru. Saya mendengar jeritan suaramu. Kadang kalah tak pedulikan panggilanmu. Kadang kalah panggilannya tak ku kunjung. Panggilan senantiasa saja ada di pintu tercinta. Entahl itu siang, malam mapun pagi. Engkau menyapaku dengan suara nyaring, Matoyai....matoyai....matoyai....katamu, selama 6 tahun (2009-2015) yang telah dibawah pergi oleh Sang waktu.
Engkau adalah Bapakku yang ku kira Yimomadi dari sudut kampung yang hampa Yagapa Agadide itu, tapi bukan. Ternyata Engkau adalah yang diutus Tuhan dari bawah tanjung berseri wegeeutoo, Paniai yang hina itu. Aku datang bukan untuk menjawab harapanmu, tidak begitu tapi karena engkau Bapaku yang menerima aku sebagai anakmu. Walau engkau adalah bukan yang ku duga, entah dimana...?, sama siapa...?, bagimana? Sebelumnya. Namum, ternyata memang engkaulah jawabanku, engkaulah mukimku, engkaulah payungku dan engkaulah orangnya.
Aku tak sanggup melihat, mengintip dan melirik sekalipun atas dedikasimu yang penuh kharisma. Engkau figur yang terutusnya demi para perantau yang beda latar belakang suku, bahasa, ekonomi, dan karakter. Mereka yang akan membawa kabar setiap jeritanmu, bukan hanya saya seorang diri semata karena mereka juga telah merasakannya jiwa sosialmu. Tertimpa malunya membuat kedua gigiku terkancing mengintip salip kasih berkeringat yang telah, sedang dan akan dipikulnya. Kadangkala susah payah mendekatimu untuk melap bau tajam meleleh di belakang dan depan yang membasahi permukaan ragamu itu.
Walau anak Matoyai membuatmu luka dihati, namun dengan segenap hati dibalas dengan 1001 kebaikan bagimu tidak terasing itu. Saya mengetahui mottomu, yaitu “jangan kalah dengan kejahatan, tetapi kalahkan kejahatan itu dengan kebaikannya”. Sejumlah orang hebat datang negosiasi jabatan dan posisi, tidak menerimanya. Apalagi yang engkau manjagaku dengan serupa-rupa wujud, entah secara visual maupun abstrak. Ortu ku, waktu itulah ku tidak sadar sesukarnya itu.
Irama canda dan tawa sehat yang berhamburan tanpa peduli siapa-siapa di pondok lapuk sarang tikus dan nyamuk yang tercinta itu. Satu bulan senantiasa tidak pernah terlewatkan, nona manis picah di telapak tangan yang hampaku ini tanpa hitung jumlah dan besar. Kelalaian, kesalahan, kelupaan, ketagihan, tuntutan, pemecahan, dan perintahan adalah hal tak suka bagimu. Itulah seorang pius alias seorang beriman sosial setinggi yang menghampiri paradise. Acuh tak acuh dan tak peduli melihat orang yang berbondong-bondong mengurusi kepentingan satu atapnya semata itu bukan karakter Bapa.
Kesungguhan batinku terbuka dan tanganku tersikap kepada yang maha khalik. Wajahku berserah kepada-Nya, mohon kasih dari Allah Israel, Allah Papua, Allah Paniai, Allah Mee, Allah Rohku akan memagari kamu dari aksi duniawi. Harapan misteriusku ini semoga engkau mendapat sebuah amplop souvenir emas terspesial buat engkau sebagai upah. Saya berdoa, agar panjang umumnya di planet bumi dan semoga mendapat salaman dari Bapak paradise yang Khalik.
Anakmu MATOYAI hanya masih mampu mengungkapkan dan sharing kisah nyata dan faktual ini sebagai pergumulan doa. Tingkat kemungkinan untuk mengelok ke belakang sangatlah kecil, karena tidak mungkin bagiku, namun pasti bagi-Nya. Memang jiwamu seperti lampu yang terang dan ragamu seperti kecoklatan manis semoga akan berkepanjangan selama waktu permainan dalam ruang dan waktu serta warna dan bunga yang corak. Terima kasih ku padamu dari lubuk hati yang lebih terdalam.
Terima kasih, Ortu ku.
Manokwari, 17 Februari 2016
0 thoughts on “Engkaulah Pengobat Sejati di tepian Kota Injil”