Sadisnya "Kata" (Foto: Desing KM) |
Oleh: Alexander Gobai
“Sekali ungkap satu
kata akan menjadi sejuta kalimat dan beda makna dan pengertinya”.
Mulut
manusia jugu disebut pemberi dan penerima informasi. Mendikte kata per kata
adalah bahan informasi yang selanjutnya diungkapkan kalimat kepada orang lain
agar ditanggapi kembali dari asal kata yang diungkapkan. Entah kata yang
diungkapkan tentang soal apa saja.
Hal
itu bukan menjadi sebuah alat pemicu yang harus ditakuti untuk mengungkapkan
kata per kata kepada sesama. Namun, penting digunakan dalam keberlangsungan hidup
manusia, agar dikenal dan saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.
*****
Merumuskan
dan mendikte satu kata sangat penting, agar dimengerti maksud yang
disampaikannya. Tetapi juga dimengerti dalam menyikapi tiap persoalan agar
tidak terjebak pada kondisi yang berlangsung pada saat-saat itu. Karena dengan
mentafsirkan kata itu, kebanyakan manusia terjabak bodoh-bodoh. Akibatnya,
personal pertama yang dapat jebakan itu, justru akan membagi virusnya kepada
orang lain agar terjebak lagi, berikut pun menjadi korban. Banyak hal yang
sudah terjadi di sekitar kita tinggal. Ini semua hanya karena pengaruh gigihnya
“Kata”.
Kata
yang diungkapakan itu lebih jauh penting untuk diidentifikasi secara matang
terlebih dahulu, sebelum orang lain berbicara. Sehingga, tidak terjebak di masalah
yang kedua kalinya secara bodoh-bodoh pada orang tertentu. Banyak yang
mengalaminya. Ada yang terjebak secara cepat dan tepat, karena menerima kata
yang kemudian tak tahu maksud yang dibicarakan.
Kata
kadang menjadi pemicu masalah dalam hidup manusia. Mengapa terjadi pemicu
masalah. Karena akar masalah dari informasi yang diberikan kepada orang lain
kadang tidak tepat pada sasaran. Akhirnya menjadi jebakan serius sehingga orang
tersebut menjadi pemicu masalah bagi orang lain pula. Ia mendapatkan masalah
itu dari infoman yang awalnya diungkapkan itu tidak benar. Itulah salah satu
akar masalah yang sering terjadi dari sekian banyak masalah yang terjadi di
dalam hidup manusia.
Masalah
dalam keluarga, sahabat, organisasi dan sesama, kadang terjadi peristiwa itu,
hanya karena akarnya yaitu “kata”. Melalui
kata itu menjadi sebuah wacana yang sederhana lalu ditindaklanjuti menjadi
wacana serius, akibat dari itu virus dari orang pertama yang menerimanya akan tertular
kepada pihak kedua dan seterusnya. Nah, itu bahan contoh yang kadang terjadi
masalah dalam kehidupan berkeluarga dan sesama lainnya.
Dalam
konteks ini, pada perkembangan masa kini, dimana kehidupan sosialnya cenderung
dihadapakan dengan masalah politik. Sekali kata yang diungkapkan kepada pihak
ketiga yakini Aparat (TNI/Porli) menjadi ancaman berat bagi orang yang mengungkapkan
kata seperti “Referendum”.
Dengan
kata itu, telah menjadi ancaman bagi mereka, aparat keamanan (TNI/Porli) di Negara
ini. Apalagi melihat dengan perkembangan status politik yang sedang berkembang
di akhir-akhir ini telah menjadi isu di kanjang Internasional. Dan hal itu akan
menjadi ancaman bagi Negara.
Padahal,
maksud dari sebutan “kata” justru
dikembangkan dari sisi positif, bukannya bertingkah buruk bagi Negara.
Sala
satu contoh kecil, sebutan kata “Referendum”
saja sudah menjadi goncangan keras di mata Negara. Kemana mencari orang yang
ungkapkan kata Referendum itu. Apalagi dilakukan dengan tindakan keras Kepada
Negara. Malah kehancuran yang menimpah.
Rakyat
Papua kadang dijadikan buruan, yang harus dikejar, ditangkap lalu dibunuh.
Buktinya sudah terjadi di Papua. Rakyat Papua banyak yang korban karena menyebutkan
kata-kata yang melanggar UUD Negara Indonesia.
Salah
satu contoh yang menjadi buruan Aparat (TNI/Porli), tepat di enartotali pada
tanggal 8 Desember 2014, kasus 4 pelajar yang dibunuh dan belasan warga sipil
lainya luka-luka. Ini adalah bukti kasus pembunuhan yang tidak manusiawi.
Kasus
itu sudah menjadi pelanggaran HAM berat. Semestinya palaku diberikan hukuman
mati tanpa ada pertimbangan dan tolerasi apapun. Malah, kasus itu hingga detik
ini tak ada kejelasan dari pihak Komnas Ham RI. Meski sudah mengeluarkan
Rekomendasi Ad Hock dari Komnas HAM
RI.
Selain
itu, pandangan terhadap Pulau Papua yang beragam akan kekayaannya, dapat
menimbulkan istilah kata yang dapat dijadikan bahan refleksi, yakni, “Kami
tak mencintai manusia Papua tapi kami mencintai kekayaan Papua”.
Buktinya sudah jelas. Rakyat Papua tewas tiap menit, tetapi juga kekayaan dirampas
habis tiap waktu. Apa salahnya kalau Negara disebut “Perampok”.
Dengan
melihat tingkah dan tindakan yang dilakukan itu, dapat dipertanyakan, apakah
perlakukan Negara dimata saksi rakyat yang punya hak ulayat adilkah? Melihat
kasat mata pribadi bahwa kata yang diungkap oleh Negara pun sudah melewati
koridor manusia yang utuh. Tak mencintai manusia yang Tuhan sendiri ciptakan
yang serupa dengan-Nya, pun manusia
melanggarnya.
Tindakan
tersebut Negara sudah kalah bukan gagal. Kalah melindungi manusia dan segalahnya
isi yang ada di bangsa ini. Jika, Negara menganggap bangsa Papua adalah bagian
dari NKRI, mestinya melindungi rakyatnya, memproteksi alam dan kekayaan Papua,
bukannya merampok dan membunuh.
Menurut
kasat mata penulis Negara telah melakukan tindakan yang tidak manusia secara
berkelanjutan sampai nantinya. Itu tandanya Negara telah kalah terhadap bangsa
Papua.
Ini
Bukti kepemimpinan Jokowi-JK,telah kalah menjaga dan dan melindungi bangsa
Papua dan kekayaan alam Papua. Akhirnya pergerakan terhadap bangsa Papua
semakin sempit dan bahkan telah bingung untuk tangani masalah Papua.
Presiden
dan wakil Presiden melalui Mentri Koordinator, Politik Hukum dan Keamanan, Republik
Indonesia (Menko Polhukam RI), Luhut Binsar Panjaitan, telah melakukan banyak terobosan-terobasan
yang tujuannya menggagalkan diplomasi Papua di Pasifik. Salah satunya Keluarga
Papua akan kembali pada rumpunnya dalam satu keluarga besar Ras Melanesia di
dalam MSG.
Terobosan-terobasan
yang dilakukan itu, menurut penulis, hanya karena Negara takut. karena Papua akan
dan telah melalukan banyak terobosan pada Negara-Negara maju agar Papua lepas
dari penjajah.
Perlu
diketahui, Papua berjuang bukan meminta kemerdekaan. Tahun 61 Papua telah
merdeka secara hukum. Namum, perjuangan di masa kini ialah meminta kedaulatan
dari Negara Indonesia, Amerika, Belanda dan Jepang yang saat itu menjajah
bangsa Papua.
Menurut
penulis, Kedaulatan itu harus diberikan secara dewasa, tetapi, juga diberikan
secara dejure dan defakto di mata dunia. Jika dilakukan
seperti itu, akan dianggap bangsa Indonesia adalah Negara yang bijak.
****
Inilah
bukti sadisnya “Kata”. Kata yang diungkapan akan mendapatkan sejuta makna dan
pengertian yang berbeda-beda. Kembali pada kata yang di ungkapkan, apakah
mengahasilkan atau menghantarkan kematian bagi orang banyak.
Untuk
mencari solusi dari gigihnya ”Kata”, penulis berpikir, solusinya susah akan
didapatkan. Karena ketika ditafsirkan kata itu, yang dapat diterjemahkan hanya masing-masing
pribadi.
Untuk
itu, semoga dengan tulisan ini, bisa menjadi bahan refleksikan di dalam diri
masing-masing dengan melihat letak kesalahan.
Redaksi Kabar Mapegaa
(04/RED/PO/KM)
0 thoughts on “Sadisnya “Kata””