Foto Yusuf Kobepa, Dok/KM |
Suku meepago adalah salah satu suku asli Papua
yang mendiami beberapa daerah di Pulau New Guinea bagian barat (Pegunungan
Papua Bagian Barat), yaitu daerah-daerah dekat tiga danau, mapiha dan daerah
sepanjang sungai degeuwo, daerah sugapa, bilogai, hitadipa. Secara sudut
pandang wilayah adat, suku meepago terdiri dari tiga subsuku, yaitu; Mee, Moni,
dan Wolani. Secara antrolinguistik, suku meepago tergolong ras trans New Guinea
(Papua Asli), dalam kanca rumpun Melanesia, di Papua.
Maka, karena terjadi proses perkembangan
perubahan kehidupan manusia secara global di planet bumi ini, sehingga suku
meepago mengalami dan mengikuti proses perkembangan itu yang terjadi secara
alami serta pengaruh dari luar daerah suku meepago. Objek proses perubahan itu,
suku meepago mulai mengenal, sejak awal mereka saling mengenal dengan para
misionaris kristen prostestan dan khatolik, sejak tahun 1930-an, dan proses
perubahan itu juga mereka sedang mengalami dan mengikuti sampai saat ini. Dengan
demikian, berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor atau akibat dari proses
perkembangan perubahan kehidupan manusia itu, dari zaman ke zaman dengan sudut
pandang “munculnya fenomena pemusnahan
suku meepago, papua,” yaitu:
1. Keadaan suku mee sebelum mengenal orang
luar Papua,
Di masa lalu, sebelum agama dan pemerintah hadir
dalam wilayah suku meepago, dalam
kehidupan, mereka hanya ada dan mengenal empat faktor penyebab kematian terjadi,
yaitu; lanjut usia, perang adat, sakit atas penyakit tidak menular seperti
penyakit beri-beri dan kusta, dimi paa, oneedou, umaa/umaa kopai (kematian atas
suruhan roh jahat hanya kepada orang yang tidak di sukainya), hanya itulah yang
ada dari dulu sejak nenek moyang mereka hidup.
Oleh karenanya, di masa itu kematian suku meepago
di setiap harinya, jarang ditemui bahkan sampai satu bulanpun tidak pernah
dilihat bahwa ada orang meninggal. Hal itu boleh terjadi, karena kehidupan
masyarakat saat itu, kebutuhan kehidupan mereka tergantung dari alam, saat itu
juga pola makan secara tradisional itu telah menjadi sebuah pengaruh dalam
pertahanan tubuh mereka, sehingga faktor itu juga yang mendukung untuk tidak
terjadi kematian terus-menerus.
Mata pencaharian, suku meepago saat itu adalah
beternak babi, berkebun / bertani secara teratur, berburuh, dan mencari udang
secara tradisional di danau. Oleh karenanya, saat itu, mereka tidak ragu dalam
kebutuhan sehari-hari mereka untuk menghidupi keluarganya. Suku ini, mempunyai
kemampuan dan percaya diri secara tradisional yang sangat tinggi, sehingga
mereka bisa bikin rumah tinggal yang bagus sekaligus dipagari di keliling rumah
serta mereka juga pintar untuk buat pagar untuk mengelilingi kebun mereka.
Terkait dengan ini, mereka juga, selalu menjunjung tinggi hukum adat dan budaya
mereka, yang isinya 90 % hampir sama dengan 10 hukum Musa dalam Alkitab
perjanjian lama, sehingga kebun mereka itu, sering disebut “Kebun di Taman Eden (Dupi-dapi taida/Pipogataida alias Oda-Owada)”.
2.
Zaman Awal
Masuknya Injil (Zaman Pemerintahan Belanda),
Suku meepago, mengenal orang bukan suku meepago
adalah para misionaris Kristen-Khatolik,
dan seorang pilot orang belanda namanya, J.Wissel mendarat di danau
Paniai dekat kampung Aikai, serta pemerintah belanda, sebelum mengenal yang
lain. Setelah beberapa tahun, kemudian pemerintah belanda menugaskan JV.de Brujin
sebagai kepala pemerintahan di daerah suku meepago yang berpusat di Enarotali
(Enagotadi). Saat JV.de Brujin ada, para misionaris dan pemerintah bekerjasama
untuk mendatangkan para ilmuan, antara lain antropolog dan budayawan untuk
mengelidiki budaya suku meepago, serta mulai mengembangkan pendidikan berbasis
teologi, dan mendatangkan pelayan kesehatan yang mampu menangani masyarakat suku
meepago.
Satu kebijakan luar biasa yang dilakukan oleh
pemerintahan belanda di Paniai, yang dipimpin oleh JV.de Brujin adalah “Ditugaskan beberapa pelayan kesehatan di dekat
Bandar udara Biak yang bertujuan jikalau orang luar datang ke daerah Meepago
(Paniai), sebelum mereka naik pesawat ke Paniai, dilakukan pemeriksaan
kesehatan, maksud mereka terkait kebijakan ini, karena di daerah meepago tidak
boleh ada penyakit baru dari luar, sebab di daerah meepago mempunyai hanya dua
penyakit yang ada dan ditemukan, yaitu penyakit beri-beri dan penyakit kusta”.
Dalam zaman itu, banyak kisah baik yang dibuat oleh mereka demi suku meepago,
termasuk soal pendekatan pendidikan berbasis budaya dan agama (Kristen
protestan & khatolik).
Pada saat para misionaris Kristen Portestan &
Khatolik bersama pemerintahan Belanda ada di daerah Meeuwo, sentuhan pelayanan
kepada masyarakat Suku Meepago cukup baik, sehingga kematian pun tak ditemukan
lagi, seperti yang sedang terjadi saat ini (zaman ini), serta saat itu, hubungan
antara masyarakat dan pemerintahan Belanda pun masih sangat erat.
3.
Zaman Negara
Indonesia (Zaman Kini),
Mulai sejak tahun 1963, pemerintahan di tanah
papua yang disebut “Netherland New Guinea” di ambil alih oleh Pemerintahan
Indonesia, maka sejak itulah masyarakat Suku Meepago mulai mengenal dan
mengalami kematian dalam kehidupan mereka, seperti yang tidak pernah terjadi
sbelumnya. Akibat meningkatnya kematian (korban) orang Meepago di setiap
harinya, sejak itu saat ini terjadi melalui beberapa model, sebagai berikut :
1) Pembunuhan
melalaui operasi militer secara terbuka yang menewaskan puluhan ribu orang Meepago,
sejak Tahun 1963 sampai saat ini,
2) Maraknya
penyebaran ilmu hitam (jin, ilmu santet, ilmu gaib, penyamun, ilmu
Meeno/Tubakaga/Aakaga, dll), yang ujung-ujungnya meminta darah manusia, ini sudah
mulai berjalan, sejak tahun 1963 sampai saat ini, sekalipun susah dibuktikan,
namun sedang merengkut puluhan ribu nyawa manusia dan ini sedang menjadi
rahasia umum saat ini,
3) Pembiaran
penyebaran penyakit menular yang sangat luar biasa, seperti: Spillis, TBC, dan
terakhir saat ini penyakit HIV/AIDS tanpa penanganan yang serius dan cepat dari
Pemerintah Indonesia, yang menyebabkan Ratusan ribu nyawa orang Mee, telah
meninggal sejak Tahun 1963 hingga saat ini,
4) Meningkatnya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korbannya ribuan orang mee hingga saat
ini,
5) Meningkatnya
penghilangan orang, pembunuhan kilat, keracunan melalui gas dan makanan sampai
saat ini cukup banyak, sehingga ribuan orang masih terus menjadi korban hingga
saat ini,
6) Banyak
Pria dan wanita muda mengalami kemandulan saat ini yang menyebabkan kehilangan
ribuan manusia,
7) Kurangnya
sosialisasi tentang pola hidup sehat dari pemerintah dan kurangnya pemahaman
dan kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat itu, sehingga ribuan nyawa
org Mee menjadi korban melalui penyakit biasa yang sebenarnya dapat dicegah
contohnya: Malaria,
8) Tidak
cegahnya agent-agent MIRAS, togel dan Prostitusi sehingga orang Mee tidak ada
harapan hidup di atas tanahnya sendiri.
Saya, mengakhiri tulisan saya ini, dengan sebuah
kalimat, yaitu, dengan adanya banyka pintu masuknya pemusnahan suku meepago
Papua khususnya dan orang asli Papua umumnya ini, tidak disikapi atau tidak
dimitigasi baik oleh pemerintah Indonesia yang ada di seluruh kabupaten dan
propinsi di atas tanah Papua kepada rakyatnya sendiri, maka tidak ada harapan
hidup bagi orang asli Papua di atas tanahnya sendiri yang sudah dijadikan
sebuah propinsi dari Negara Indonesia, sejak tahun 1963 dan dikukuhkan melalui
PEPERA tahun 1969 itu.
Peringatan :
Kalau itu sudah jalan dan terus-menerus tanpa mitigasi, maka tidak ada yang
dapat dibantahkan pernyataan seorang dokter senior berambut putih, namanya dr.Gunawan
bahwa suku mee sedang dalam bahaya yang besar dan sedang dalam ancaman
kepunahan. Pandangan beliau ini hanya dari sisi kesehatannya, belum lagi dengan
kematian yang disebabkan oleh faktor lainnya.
Pesan :
Waspadalah, hidup di dunia ini hanya sekali, sudah saatnya pemerintah Meepago,
segera menangani rakyatnya dari ancaman kepunahan, jangan pernah berdansa di
atas tangisan darah rakyatnya. Jangan juga menanfaatkan rakyat, dalam arena
persaingan politik yang bertujuan untuk memunculkan konflik antar masyarakat.
Penulis
adalah Intelektual Muda
Suku Meepago Papua
Editor : Demi Nawipa
0 thoughts on “Fenomena Pemusnahan Suku Meepago Yang Perlu Dicengah Oleh Pemerintah Daerah Di Papua”