(Foto: Dok. Prib, Ismantoro/KM) |
Artikel, (KM). Setelah kudeta militer yang dirancang gagal oleh CIA pada 30 September 1965, yang kemudian diikuti oleh pembantaian anggota-anggota dan simpatisan organisasi komunis (PKI) tanpa ampun Soeharto pun mulai bergerak. Melalui kudeta merangkak Soeharto, yang pernah datang ke Papua memimpin operasi mandala, menggantikan posisi Soekarno sebagai presiden.
Ketika terjadi proses penghancuran PKI, Max Lane dalam buku yang ditulisnya mencatat, catatan yang mendirikan bulu kuduk, sebagai berikut:
Pembunuhan massal yang dilakukan oleh Angkatan Darat dan milisi Islam sayap-kanan sekarang sudah didokumentasikan dalam beberapa buku. Kebanyakan pengamat memperkirakan bahwa sekitar 500 ribu sampai 2 juta orang dibantai. Kebanyakan dari orang-orang tersebut adalah pemimpin-pemimpin, para aktivis, dan pedukung salah satu komponen atau yang lainnya dari sayap-kiri Indonesia yang menginginkan aliansi PKI-Soekarno menjadi pemimpin. Banyak yang dibunuh, mati secara mengerikan, sebagai bagian kampanye teror. Mereka dipenggal kepalanya, dikeluarkan isi perutnya, diseret di belakang truk atau, kalau tidak, dengan kejam dibunuh. Sebagai tambahan terhadap pembunuhan tersebut, ratusan ribu lebih dipenjara antara beberapa bulan sampai setahun, sering di rumah-rumah penyekapan yang tak diketahui, tak terdaftar. Paling tidak 12.000 orang kemudian dipenjara selama 10 hingga 12 tahun. Puluhan ribu dipecat dari pekerjaannya, terutama sebagai guru, pegawai negeri sipil, dan buruh kereta api (Max Lane, “Unfinished Nation,” Djaman Baroe, Yogyakarta, 2014. Hlm. 83).
Di atas mayat-mayat dan penindasan terhadap manusia tidak berdosa tersebutlah rezim Soeharto ditegakkan. Rezim yang ramah terhadap investasi asing dan anti terhadap komunis. Sejarah mencatat, investasi asing pertama yang diberi kesempatan oleh rezim Soeharto untuk menjarah kekayaan alam Indonesia adalah Freeport Sulphur Company.
Pada awal Soeharto berkuasa masih ada hal yang harus diselesaikan oleh Freeport untuk mengamankan modalnya di tanah Papua, yakni mendorong Soeharto agar kedaulatan papua berada di dalam cengkraman rezimnya.
Bahwa ketika kedaulatan Papua berada ditangan Belanda, Freeport menginginkan status quo tetap dipertahankan, walaupun pada kenyataannya hal itu tidak dapat dipertahankan karena peranan John F. Kennedy di dalamnya. Bahkan untuk memaksa Belanda menyetujui Formula Bunker, pemerintahan Kennedy sempat melakukan intimidasi kepada pihak Belanda.
Ketika rezim Soeharto berkuasa, Freeport tidak mungkin lagi mendukung Belanda, karena alasan: Pertama, hasil kesepakatan antara Belanda dan Indonesia melalui PBB hanya menentukan dua opsi bagi Papua, merdeka atau bergabung dengan Indonesia? Tidak ada opsi untuk bergabung dengan Belanda. Kedua, operasi mandala dalam rangka pembebasan Irian Barat dipimpin oleh Soeharto. Jadi, tidak mungkin Freeport menurunkan gengsi Soeharto dalam mempertahankan tanah Papua yang pernah dipertahankan Soeharto dalam operasi tersebut. Selain itu, Soeharto juga memiliki kepentingan untuk memperkaya diri sendiri melalui kerjasamanya dengan Freeport. Dan, yang ketiga, akan lebih menguntungkan—dalam ukuran akumulasi kapital—apabila kedaulatan Papua berada dalam cengkraman Soeharto.
Untuk memastikan tanah Papua (Irian Barat) berada dalam cengkraman kedaulatan rezim Soeharto, maka dirancang dan dilaksanakanlah manipulasi pilihan bebas di tanah Papua.
Penyelenggaraan manipulasi pilihan bebas ini dilakukan oleh rezim militer Soeharto pada tahun 1969. Pada saat itu, pelaksanaan “pilihan bebas” ini dinamakan dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Rezim Orde Baru berdalih, bahwa penyelenggaraan tersebut dilakukan untuk memenuhi amanat mantan presiden Soekarno agar rakyat Papua diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri (Act of Free Choice), sebagaimana terumuskan dalam Formula Bunker dan kemudian direalisasikan dalam bentuk kesepakatan antara Indonesia dan Belanda melalui PBB (UNTEA). Hasil dari PEPERA inilah yang terus dijadikan pengabsah untuk menolak tuntutan dan menindas perjuangan bangsa Melanesia (Papua) untuk menentukan nasibnya sendiri di wilayah itu.
M.R. Siregar mempertanyakan, benarkah PEPERA yang diselenggarakan oleh rezim diktator Soeharto merupakan pemenuhan komitmen Indonesia yang dibuat oleh Presiden Soekarno sesuai dengan Act of Free Choice yang disepakati bersama antara tiga pihak—Indonesia, Belanda dan administrasi PBB—yang dibuat dalam tahun 1960an sebelum rezim Orde Baru berkuasa?
Dalam catatannya M.R. Siregar menulis, sewaktu PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) dilaksanakan di Papua Barat terdapat 1024 wakil Papua yang dipilih oleh Indonesia untuk dapat menyampaikan keinginan rakyat Papua Barat kepada PBB melalui utusannya, Dr. Ortiz Shaz. Ke-1024 wakil ini sama sekali tidak dipilih oleh rakyat Papua Barat. Para wakil ini sebelum pelaksanaan PEPERA telah diindoktrinasi, bahkan diintimidasi oleh pemerintah RI bersama TNI-nya. Ke-1024 wakil itu diasramakan selama PEPERA berlangsung dan mereka diberi berbagai hadiah berupa radio, uang dan lain-lain. Ortiz Sanz di dalam laporannya kepada PBB mencatat bahwa pelaksanaan PEPERA sebenarnya dilakukan secara tidak bebas dan tidak jujur. Tetapi, akhirnya toh Papua Barat diserahkan kepada Indonesia melalui campur tangan Amerika Serikat. Semua itu diluar pengetahuan dan keinginan bangsa Melanesia di Papua Barat (M.R. Siregar, “Menentukan Nasib Sendiri Versus Imperialisme,”SHRWN, Medan, 2000. Hlm. 188). Tindakan sistematis lainnya dalam rangka memanipulasi pilihan bebas adalah rakyat Papua pada saat itu diintimidasi dan dilarang berkampanye untuk merdeka.
Dengan demikian hasil dari PEPERA tersebut bukan berdasarkan atas pilihan bebas dari rakyat Papua, tetapi hasil dari pemalsuan pendapat rakyat Papua. Hasil dari pemalsuan inilah yang kemudian dijadikan alat bagi rezim yang berkuasa untuk mempertahankan Papua tidak lepas dari cengkramannya. PEPERA sudah final dan jika ada rakyat Papua yang ingin menentukan nasibnya sendiri, maka konsekuensinya akan mengalami penindasan. Dalam hal ini M.R. Siregar mencatat bahwa sudah ada sedikitnya 200.000 orang yang disembelih oleh rezim dalam mempertahankan PEPERA.
Setelah menganeksasi Papua, pemerintah Indonesia mulai melakukan teror pada rakyat Papua yang tidak percaya pada hasil PEPERA. Indonesia menuding, bagi siapa saja yang sangsi atau sama sekali tidak percaya terhadap hasil “pilihan bebas” tersebut dan melakukan gerakan perlawanan, mereka adalah kaum separatis. Dengan sewenang-wenang Indonesia memelintir akronim OPM menjadi Organisasi Pengacau keaManan. Keberadaan kelompok yang dianggap separatis ini dijadikan alasan bagi pemerintah Indonesia untuk mengusir penduduk dari tanahnya untuk kepentingan Freeport dan kemudian mengevakuasinya secara paksa ke pemukiman-pemukiman yang tidak layak, membakar desa-desa, penyiksaan, pembunuhan ekstra-yudisial dan perkosaan oleh TNI.
Profersor John Wing dan Peter King dari Universitas Sydney telah meneliti proses bagaimana Papua bergabung dengan Indonesia. Penelitian mereka menunjukkan bahwa pada tahun 1962 di New York, pemerintah Belanda dan Indoensia menandatangani perjanjian yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk mengadakan referendum mengenai masa depan Papua yang disebut ‘Act of Free Choice.’ PBB beserta pemerintah Amerika Serikat seharusnya menjamin proses demokrasi yang akan menunjukkan ‘pilihan penduduk apakah akan memilih untuk berintegrasi atau berpisah.’ Tapi Indonesia melakkan segala upaya untuk memastikan bahwa hasil referendum (plebisit) akan berpihak padanya. Mereka menggunakan aturan-aturan ‘anti-subversi’ dalam Keputusan Presiden No. 8 dan 11 tahun 1963 untuk menutup-nutupi sentimen anti-integrasi dan utuk ‘menghilangkan identitas Papua dari masyarakat.’ Mereka juga melarang masyarakat untuk menyanyikan lagu kebangsaan Papua dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Wing dan King mencatat bahwa:
Operasi militer berskala luas dilakukan dalam kurun waktu tahun 1965-1969, dan seroang koresponden AFP di Papua selama tahun 1969 mencatat: “Tentara-tentara dan pejabat-pejabat Indonesia melancarkan kampanye intimidasi besar-besaran untuk memaksa ‘Act of Free Choice’ mengarah pada pendukung Republik.” Selama tahun 1968-1969, mereka melakukan operasi melawan penduduk sipil di wilayah pengunungan Arfak dan Enarotali, dengan melakukan pemboman dari udara dan menatuhkan 500 pasukan payung.
Dua orang politisi junior dan anggota Majelis Provinsi Irian Barat, Clemens Runaweri dan Willem Zongganau, menyeberangi perbatasan ke wilayah Papua dan Papua Nugini yang dikelola oleh Australia di bulan Mei 1969 dan meminta kepada pihak berwenangn untuk membantu mereka pergi ke PBB. Mereka membawa dokumen yang membuktikan adanya represi oleh pemeirntah Indonesia, bukti-bukti eksplosif yang mungkin berpengaruh pada masalah Papua yang menolak membantu kedua orang ini untuk bepergian, mereka bahkan dicegah untuk meninggalkan Pulau Manus. Atas permintaan Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia, pemerintah Australia, Belanda dan Amerika bersekongkol untuk menolak memberikan dokumen perjalanan yang diperlukan untuk melakukan perjalanan internasiona antara periode Juni-Agustus 1969.
Di kota-kota besar, seperti Jayapura, Manokwari dan Merauke, kekerasan terhadap para pembangkang disaksikan dan dilaporkan oleh media. Pemilihan perwakilan yang akan mendukung integrasi diskenariokan dengan hati-hati, dengan cara mengontrol proses pemilu secara ketat oleh badan-badan keamanan dan intelijen Indonesia. Di bulan Februari, Presiden Soeharto mengatakan bahwa orang Papua yang memilih untuk menentang integrasi akan dituduh ‘makar.’
Untuk referendum, Pemerintah Indonesia mengambil 1.024 pemilih dari populasi 815.906, yang dengan sura bulat memilih untuk integrasi.
Selanjutnya Papua dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer dan kebebasan bergerak sangat dibatasi. Ekspansi identitas budaya, seperti lagu-lagu yang dinyayinkan dalam bahasa setempat, dianggap sebagai manifestasi dari gerakan separatis dan bisa dihukum dengan penyiksaan dan bahkan hukuman mati (John Wing dan Peter King, ‘Genocide in West Papua? The Role of The Indonesian State Aparatus and a current needs assessment of The Papua People.” Laporan untuk proyek Papua Barat di Pusat Studi Perdamaian dan Konflik, Universitas Sydney, dan ELSAM Jayapura, Papua).
Setelah berhasil melaksanakan manipulasi pilihan bebas di tanah Papua dan ketika Soeharto sepakat untuk menyerahkan kekayaan alam mineral di Papua Barat kepada Freeport, sebagai imbalannya, Indonesia (baca: Soeharto) menerima milyaran dolar dari korporasi itu.
Dari sini wajar jika seorang Zely Ariane, seorang aktivis Hak Asasi Manusia sayap kiri dari NAPAS (National Papuan Solidarity), melontarkan pertanyaan menggugat, “bagaimana mungkin kontrak eksplorasi sumber daya alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia secara hukum?” (Zely Ariane, “Tidak Ada Demokrasi di Papua, Gramedia, Jakarta, 2014).
Sejarah mencatat, setelah tahun 1967 Freeport menandatangani kontrak dengan Indonesia (atas undangan dari Soeharto), perusahaan-perusahaan asing diundang oleh Soeharto untuk menanamkan modalnya untuk mengeksploitasi kekayaan alam di tanah tidak merdeka, Papua.
Setelah penandatanganan kontrak dilakukan antara Freeport dan Indonesia pada tahun 1967 (sekali lagi: sebelum diadakannya plebisit oleh rakyat Papua), pada tahun itu juga penyelidikan di Ersberg atau gunung bijih di tanah Papua segera dilakukan oleh Freeport Sulphur Company.
Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Freeport diketahui, tubuh bijih itu mirip bentuk gigi dengan akarnya tertanam pada rahang. Bagian yang tersingkap setinggi 140 meter, yang menjulang di atas lembah, dan akarnya menjulur ke bawah sampai sedalam 360 meter. Dan dari hasil penyelidikan, tersingkap bahwa kandungan emas dalam gunung tersebut kadarnya sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia.
Penyelidikan dilakukan kembali pada tahun 1968. Penyelidikan dilakukan oleh Del Flint dengan arahan Forbes K. Wilson. Del Flint memimpin tim geologi dalam penyelidikan itu. Dari penyelidikan ini ditemukan singkapan bijih sekitar 1,5 km di timur Erstberg.
Setelah dilakukan penyelidikan, dan Freeport memastikan perusahaannya akan kaya raya dari hasil eksploitasi mineral yang terkandung di dalam gunung Ersberg, maka pada tahun 1972 dilakukanlah penggalian. Hal ini dilakukan setelah Freeport melakukan akumulasi primitif yang menindas rakyat Papua.
Sementara penggalian dilakukan oleh Freeport, perusahaan Amerika ini melanjutkan kembali penyelidikannya pada tahun 1973. Penyelidikan pada tahun ini dilakukan oleh seorang geologiawan Frank Nelson yang memetakan daerah itu. Dari hasil pemetaan tersebut, Frank Nelson, berhasil memetakan bagian-bagian daerah mana saja yang kaya dan sangat kaya terhadap kandungan emas dan tembaga. Bagian-bagian yang terpetakan inilah yang kemudian terkena pemineralan yang dikenal dengan sebutan Flint Extension, kelanjutan dari penyelidikan yang dilakukan Del Flint.
Cadangan bijih yang luar biasa besarnya ditemukan di Grasberg yang membuat Freeport kaya raya. Besarnya kandungan sangat luar biasa, 1,76 miliar ton, dengan kadar rerata tembaga sebesar 1,11%, atau setara dengan 35,2 miliar pound logam tembaga murni, dan kandungan emasnya sebanyak 49 juta troy ounce. Luar biasa!
(Penulis adalah Pemantau Pembebasan Nasional in Analisa Situasi, Ekonomi, Hukum, Lingkungan, Politik, Sosial - December 12, 2014 0 525 View)
Posted by: Frans Pigai
0 thoughts on “Manipulasi Plebisit di Tanah Papua dan Kepentingan Freeport”