Oleh Detri
Degei
“Profesi yang dimiliki harus sampai tuntas, sebab itu adalah jati
dirinya” Benny Giyai.
Cerpen,
Kabarmapegaa.com--Disuatu tempat
hiduplah seorang ibu dan kedua anaknya. Ayahnya lama telah pergi didunia gelap.
Seakan tunggu keadatangan ayah tak ada kabar satupun. Dimana ayah anak dan ibu
mencarimu adalah jaritan siang malam hanya untaian doa kepada san Ilahi.
Disuatu hari, ibu telah pergi jauh menyelesaikan tugas mulia disana
yakni "berkebun." Dirumah tinggallah kedua anak menyendiri.
Waktu menuju di sore hari, ibu yang jauh merapat ke rumah. Di tengan
bunyi jangikit malam ibu terdengar debatan suara manusia. Siap dan dari mana? Ternyata
kedua anak dari rumah.
Ibu semakin mendekat dan mendengar apa kata mereka? Ternyata kata kaka kepada
adik begini: "Adik jangan memperkecil hati, karena ibu kami tukan kebun yang tak
mampu menghasilkan uang, kaka mohon jangan merendahkan diri, kita bisa, kita
keluarga yang mampu, jangan sedih adik. Buktinya kita makan hasil julan ibu."
Ibu terdengar bisikan kedua anak, lemah daya san pejuang ibu, seakan putus
jantung.
Dalam kesedihan san ibu masuk kerumah memeluk kedua anak sambil berkata
aku menyanyangimu.
Jatuhlah air di pipih manis akan pelukan kasih san ibunya.
Sambil bersedih adik berkata
kapan kita makan daging? Mengapa kita makan ubi dan sayur mayor saja?
Kata ibu sambil tangis, "Anak ada waktu untuk kita makan daging."
Sambil tangis tarik kata kaka, "adik sayur mayor dan buah buahan adalah
bermanfaat bagi jiwa dibanding daging."
Tapi kaka aku ingin makan daging?
Ibu mendengarkan itu sangat sedihlah Dia.
Ibu berjanji! "besok kita makan daging, tanpa melihat dimana diambil
daging."
Dimalam yang sedih dan tagis itu tertidurlah mereka tanpa tak rasa
gigitan nyamuk dalam tidur pelukan penuh kasih saying.
Di waktu subuh hari, ibu berpikir aku harus buat apa? dimana aku
mengambil daging?
Berdiam sejenak, berpikir beribuh kali, ide manis di benak, berkata
dalam hati syukur?
Ibu mengambil mancing karena di pikirkan adalah bermancing di kali. Berjalan
di subuh hari hingga tiba di pagi hari.
Ia memancing, syukur mendapat Ikan pada 5 waktu kemudian. Ibu membawa
pergi dalam semangat.
Bertemu kedua anak dalam mata bengkah, sebab kedua anak masih tangis
dikarenakan mencari Ibu.
aku keluar subuh demi anak berdua, aku merasa syukur kepada Tuhan akan
berkat hari ini.
Ibu membuka noken di tengah anak dua, sambil mengankat ikan yang di
dapat di kali.
Kedua anak terasa lega dan pelukan mati di pingan ibu.
Tidak gampang ibu, engkau Palawan penganti ayah dan guru yang bijak
dalam kehidupan. Yes yes yes hari ini makan daging ikan, kata hati adik.
Setalah masak dan makan anak dua berjanji kami tidak akan memperkecilkan
perjuangan dan pengorbanan ibu. Maafkan kami ibu! Iya iya aku maafkan nak?
Mama aku bersyukur, aku punya mama sepertimu.Tuhan berilah umur panjang
sama mama. Kata adik.
Mama kami menuruti perkataan mama, kami siap membantu mama. Janji kedua
anak.
Mama berpesan, orang bersekolah harus belejar, biarpun ia presiden,
gubernur camat bupati dan lainnya karena mereka sekolah. Mama senang anak harus
sekolah.
Mama kami janji kami akan sekolah ! kami ingin seperti presiden.
Kata hati mama, Tuhan lihat dan berkatilah anak saya semoga sukses dalam
perkataan.
Kata mama! Aku propesi tukang sayur dan petani, itu sudah Tuhan berikan
kepada saya, hanya bisa aku lakukan syukur. Semoga anak saya menjadi ternama.
Kaka aku minta maaf, tadi aku bilang itu, mama tukang sayur. Kata adik
terhadap kaka.
Ternyata mama bukan tukang sayur saja tapi mama bisa cari daging, juga
bisa bisa penganti papa. Terimakasi ya mama.
“Iya sama sama anaku” sambil pelukang.
Bersambung!!!
“Dunia tidak
menuntut anda dan saya menjadi seorang Peresiden, Gubernur, Bupati, DPR, Politikus Ilmuan, Dokter, pegusaha ataupun masyarakat biasa, tetapi menjadikan hidup bermakna apa adanya”
Penulis adalah Mahasiswa
Papua Kuliah Dijawa, Jurusan Teknik Tambang.
0 thoughts on “Cerita Ibu dan Kedua Anak Hidup Tanpa Ayah”