Foto; Dok. Prib, A Imbiri/KM |
Oleh: A. Imbiri
Opini, Kabarmapegaa.Com-- Otonomi khusus (OTSUS) bagi sebagian besar masyarakat sudah tidak asing dan telah menjadi renungan terutama bagi penduduk di (Pemprop) Propinsi Papua, Propinsi Barat dan Aceh. Dua daerah satunya di ujung timur dan satu di bagian barat (Papua dan Aceh), mendapat kekhususan dari pemerintah sebagai tidak lanjut praktek desentralisasi asimetris di Indonesia.
Dalam pandangan para akademisi (ilmuan dan peneliti) proses pelimpahan wewenang bersifat khusus dari Pemerintah Pusat bagi daerah dengan intensitas konflik begitu dominan digambarkan sebagai sebuah hubungan asimetris (disentralisasi asimetris). Sama halnya Aceh dan Papua dengan intensitas gerakan pro pembebasa semakin menguat, sebagai respon sebagaimana aturan telah memberi status kekhususan bagai keduanya, artinya kewenangan khusus yang diberikan merupakan situasi yang tidak bisah terpisahkan dari dinamika politik lokal ke dua daerah yang sering diwaranai konflik politik, keamanan dan sejumlah ketimpangan.
Hubungan kurang harmonis antara daerah dan Pemerintah Pusat telah memunculkan sejumlah konflik. Situasi tersebut bilah dipetahkan perdasar pada aktor yang terlibat sesaui kepentingannya, dapat dikelompokan menjadi 3 antaranya; pertama: pemerintah (pusat dan daerah), kedua masyarakat dan ketiga ormas atau kelompok penjuang hak-hak dasar masayarakat. Benturan antara Pemerintah dan Pejuang hak-hak dasar yang mengatasnamakan rakyat telah berujung pada pertikaiaan berepisode dan terus berlanjut.
Sebagai upaya meredam serentetan perseteruan pada kedua daerah (Papua dan Aceh), Pepemrintah melalui kendaraan Otonomi Khusus (OTSUS) dijadikan sebagai alternatif kebijakan yang diyakini dapat meredam sejumlah konflik vertikal. Kehadiran Otsus sebagai upaya meminimalisir dampak disintegerasi bernegara,
Hubungan tersebut sebagai ciri kahas dari hubungan asimetris atau pelimpahan wewenang khusus sebagai upaya memupuk ke-Indonesiaan tetap kokoh dan meredamkan tindakan-tindakan disintegerasi di kedua daerah. Menariknya selain OTSUS bagi Ache dan Papua terdapat juga Daerah Istimewah Yokyakarta (DIY) dengan status keistimewaan yang bertolak dari aspek historis dan budaya. Posisi DIY dengan keistimewaan telah menyamakan statussnya sebagai bagian dari praktek desentralisasi asimetris sama seperti Papua dan Aceh.
Seperti diketahui praktek desentralisasi melalui sejumlah aturan ikut didalamnya sejumlah nominal sebagai instrumen penggerak dari tindak lanjut kebijakan khusus tersebut baik di Aceh, Papua dan DIY. Praktek pemerintahan DIY yang berbentuk kesultanan dengan kepemimpinan tidak terbatas tealah mengisyaratkan sejumlah nominal dibalik keistimewaan dari Pemerintah Pusat akan mengalir tanpa batas pulah. Sementara Aceh dan Papua sudah pasti pemeberlakuan kekuhususaan sesuai batas waktu sebagaimana aturan mengaturnya dan bila waktunya berakhir dipastikan jumlah nominal sesuai amanat kekhususan pun ikut berakhir.
Sataus keistimewaan DIY bertolak pada praktek kesultatanan tanpa batas. Dan bila menengok pada dinamika politik lokal tidak ada tuntutan memisahkan diri seperti Aceh dan Papua namun diberih porsi sama dengan daerah Papua dan Aceh. Sebuah blunder dari pemerintah yang kita agungkan sebagai penengah dalam sejumlah ketimpangan sosial. Pemerintah melalui sejumlah aturan telah bermain mata, sebuah ego-sentrisme yang telah mencederai kesatuan bernegara. (Frans P/KM)
*) Penulis adalah Intelektual muda Papua, Tinggal di Papua
0 thoughts on “ Desentralisasi Asimetris Aceh, Papua dan DIY”