Tutup Freeport. (Foto doc. FRI-WP.Ist) |
[Fitri Lestari ]
ARTIKEL,KABARMAPEGAA.COM--Situasi politik di Papua memiliki karakteristik yang berbeda. Terlebih, level demokrasinya sangat sulit berkembang maju di tengah-tengah kerdilnya demokrasi Indonesia, berikut operasi-operasi militernya memperparah. Bahkan, hampir tak ada demokrasi. Isu HAM pun sekedar lewat begitu saja, menyelinap di retakan gunung emas, jatuh tersandung ke lubang Grasberg.
Proses politik (integrasi) Papua juga menyisakan kontroversi yang diawali dengan perebutan wilayah (klaim Indonesia: agar Papua tidak dicaplok Belanda), lalu, klaim itu berakhir pada titah invasi berlabel Trikora. Selanjutnya, proses yang tak selesai tersebut dilanjutkan dengan cara-cara tak adil, brutal dan militeristik oleh orde baru. Ambisi Soekarno dalam Trikora (dibumbui dengan prasangka kekuasaan Majapahit di Papua) membukakan jalan bagi persekusi, invasi kapital, dan kesengsaraan-kesengsaraan yang datang berikutnya.
Pembacaan luas terhadap Papua begitu penting, agar kita bisa jujur atas sejarah yang adil.
Penipuan Sejarah Bangsa West Papua
Tidak kurang dari 50 tahun, bangsa West Papua masih tetap hidup dalam intimidasi dan represi militer (TNI-Polri). Bermula dari penipuan sejarah, diskriminasi rasial, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang terus terjadi sampai hari ini adalah bentuk dari praktek kolonialisasi terhadap bangsa West Papua yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah Indonesia. Selama bangsa West Papua masih menjadi bagian dari NKRI, maka selama itulah bangsa West Papua hidup dalam keterpurukan, kesedihan dan nihil akan kebahagiaan. Praktek genosida yang dilakukan secara sistematis dan perampokan kekayaan alam yang menghancurkan hajat hidup dan kebudayaan bangsa West Papua akan terus berlangsung sejauh pemerintah Indonesia dengan militernya masih bercokol di sana.
Berawal dari 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda, West Papua adalah koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya. Pada 1 Desember 1961, bangsa West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya dengan membentuk Dewan Nieuwgunearaad. Sayangnya, kemerdekaan tersebut hanya berusia 19 hari. Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui kemerdekaan bangsa West Papua, di bawah kepemimpinan Soekarno yang menganggap bahwa Bangsa West Papua (pada waktu itu) adalah negara boneka buatan Belanda, berupaya mengintegrasikan lewat proses pemaksaan (aneksasi) terhadap bangsa West Papua melalui program Trikora (Tiga Komando Rakyat). Ir. Soekarno mengumandangkan TRIKORA pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta. TRIKORA tersebut berisikan:
(1). Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, (2). Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, (3). Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Berkumandangnya TRIKORA diikuti dengan berbagai gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi, seperti; Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatuyu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Lumba-Lumba dan lain-lain. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan operasi Jawawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi militer ini, tidak sedikit orang Papua yang menjadi korban dan meninggalkan trauma terhadap mereka. Itu artinya, tidak hanya kekerasan fisik yang dialami oleh orang Papua lewat operasi ini. Namun, juga kekerasan mental (psikologi) pun harus diterima oleh mereka dan mewarisinya sampai saat ini.
Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional sesuai dengan New York Agreement Pasal 18, berikut isi dari pasal tersebut;
New York Agreement
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian)
(As signed at the United Nations Headquarters, New York, August 15, 1962)
Article XVIII
Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
(A) Consultations with the representative councils on procedures l and appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will of the population;
(B) The determination of the actual date of the exercise of free choice within the period established by the present Agreement;
(C) Formulation of the questions in such a way as to permit the inhabitants to decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish to sever their ties with Indonesia;
(D) The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement and at the time of the act of self-determination, including those residents who departed after 1945 and who return to the territory to resume residence after the termination of Netherlands administration.
Dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut:
Pasal 18:
Indonesia akan membuat pengaturan, dengan bantuan dan partisipasi PBB Perwakilan dan stafnya, untuk memberikan orang-orang di wilayah, kesempatan untuk melaksanakan kebebasan memilih. Pengaturan demikian akan mencakup:
(A) Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang harus diikuti untuk memastikan secara bebas menyatakan kehendak penduduk.
(B) Penentuan tanggal yang sebenarnya dari pelaksanaan pilihan bebas dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Persetujuan ini.
(C) Formulasi pertanyaan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penduduk untuk memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia, atau (b) apakah mereka ingin memutuskan hubungan dengan Indonesia.
(D) Kelayakan dari seluruh orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri akan dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional, yang bertempat tinggal pada saat penandatanganan Persetujuan ini, termasuk mereka warga yang berangkat setelah 1945 dan yang kembali ke wilayah itu untuk melanjutkan tinggal setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.
Dan di pasal 20 tertulis:
Article XX
The act of self-determination will be completed before the end of 1969;
Dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut:
Pasal 20
Tindakan penentuan nasib sendiri akan selesai sebelum akhir tahun 1969.
Sebagai bagian dari Perjanjian New York, sebelum akhir tahun 1969, pemerintah Indonesia wajib menyelenggarakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di West Papua. Maka dari itu pada awal tahun 1969 pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan PEPERA. Tapi sayang sekali, penyelenggaraannya keliru, tidak sesuai dengan aturan yang disepakati dalam PBB, penuh intimidasi, tidak demokratis. Pasalnya, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina, dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat (1% dari jumlah keseluruhan). Sehingga musyawarah-mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA tidak sah, penuh manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat.
Freeport Mencuri Kekayaan Alam Papua
Bagi kedua belah pihak yang bertikai memperebutkan Papua berakhir pada kesimpulan bahwa persoalan Papua hanyalah Freeport, tidak manusianya. Tingginya angka kemiskinan, penyakit, kerusakan alam dan pelanggaran HAM berat menyembul dengan sendirinya sebagai fakta bahwa Papua bagi mereka hanya persoalan bisnis tambang, lain tidak. Sejak kapan? Sejak Trikora, berlanjut dan penindasan makin dikeraskan setelah PEPERA.
Pemerintah Indonesia tetap melaksanakan kepentingan ekonomi-politiknya karena sebelum terlaksananya PEPERA tahun 1969, pemerintah mempersilahkan PT. Freeport mencuri kekayaan alam Papua. Hal tersebut lahir ketika disahkannya peraturan perundang-undangan pertama yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Semangat anti-imperialisme Soekarno yang menyerang Belanda dengan upaya mengintergrasikan West Papua justru disertai dengan kekerasan, represifitas dan intimidasi terhadap bangsa West Papua. Kemudian dilanjutkan Soeharto di tahun 1966 setelah berhasil mengambil alih kekuasaan secara paksa atas Soekarno, yang kemudian mengamini ekspansi, eksploitasi dan akumulasi modal PT. Freeport di tanah Papua.
Terhitung dari 1967 saat mendatangani Kontrak Karya (KK) sampai 2017, Freeport terus melakukan eksploitasi besar-besaran dan akumulasi kapital. Tercatat pada tahun 2006 Freeport memperoleh penghasilan sebesar 5.791 miliar dollar AS, 2007 sebesar 16.939 miliar dollar AS, 2009 sebesar 15.040 miliar dollar AS, 2010 sebesar 18.982 miliar dollar AS dan 2017 sebesar 30.000 miliar dollar AS. Hal tersebut membuat Freeport menduduki peringkat teratas dan terbesar di seluruh dunia dalam memproduksi emas dan tembaga.
Keuntungan PT. Freeport dari penjarahan kekayaan alam bangsa West Papua diikuti dengan pengrusakan terhadap lingkungan alam yang masif dilakukan tanpa bertanggung-jawab akan lingkungan alam yang dirusaknya. Freeport telah mematikan 23.000 Ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Sungai pun meluap karena pendangkalan akibat endapan tailing.
Freeport membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa yang berdampak langsung bagi masyarakat setempat yang mendiaminya. Limbah tailing Freeport telah mencapai pesisir laut Arafuru. Tailing yang dibuang Freeport ke sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis makhluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport.
Sejatinya makhluk hidup dan alam memiliki inter-relasi (saling hubungan) yang merupakan bentuk kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. John Bellamy Foster dalam bukunya Ekologi Marx menjelaskan, “alam adalah badan inorganik manusia karena alam bukanlah badan manusia. Manusia hidup dari alam, artinya, alam adalah tubuhnya, dan dia harus mempertahankan dialog dengan alam jika tidak ingin mati. Sederhananya, alam berhubungan dengan dirinya sendiri karena manusia bagian dari alam.”
Namun, Freeport yang terus mengeksploitasi sumber daya alam papua tidak pernah dan tidak akan pernah mengindahkan kepentingan alam. Allen Mayers dalam bukunya Mengapa Kapitalisme Menghancurkan Dunia menjelaskan bahwa kapitalisme tidak akan pernah memikirkan kepentingan alam, sebagaimana tujuan utamanya yakni mengakumulasi nilai lebih (surplus value). Di bawah kapitalisme, tidak ada tujuan yang lebih berharga selain penumpukan nilai surplus. Pun sebagaimana juga Karl Marx dan Friederich Engels yang telah menemukan hukum-hukum gerak modal bahwa entah itu imperialisme-kapitalis, entah itu kapitalis lokal, sebenarnya keduanya memiliki watak yang sama, yakni merusak alam selain dari mengeksploitasi hasil kerja buruh dan mengalienasinya. Maka itu demi akumulasi kapitalnya, Freeport, tidak segan melakukan tindakan yang merusak kehidupan manusia dan alam.
Freeport Menciptakan Konflik
Kehadiran Freeport membawa bencana bagi masyarakat Papua, terutama masyarakat suku yang bermukim di lokasi tersebut. Sebelum masuknya Freeport, ada tujuh suku kerabat yang hidup di lokasi pertambangan. Suku-suku tersebut antara lain adalah Suku Amungme, Suku Kamoro, Suku Nduga, Suku Damal, Suku Moni, Suku Mee dan Suku Dani. Suku-suku tersebut telah hidup tidak kurang dari 5.500 tahun lamanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bergantung terhadap alam. Suku-suku tersebut telah tinggal dan memanfaatkan sumber makanan dari pegunungan tengah melenesia ribuan tahun lalu. Patra M. Zen mencatat, “Berdasarkan bukti peninggalan radiokarbon dari sisa-sia tungku rumahtangga suku Amungme dengan perkiraan linguistik dari bahasa Angkal Daman. Hutan dan tanah merupakan sumber penghidupan bagi mereka. Namun, sekarang mereka mengalami kesulitan akibat dari perluasan kawasan pertambangan yang berkonsekuensi pada pengrusakan hutan, perampasan tanah, tercemarnya lingkungan hidup oleh aktivitas pertambangan dan hancurnya hubungan sosial akibat konflik yang diciptakan oleh Freeport.”
Beberapa waktu yang lalu, sejak ditetapkannya PP No 1 Tahun 2017 pertentanganantara Freeport dengan pemerintah Indonesia semakin tajam. Pasalnya, peraturan pemerintah mengatur tentang pengalihan Kontrak Karya (KK) ke Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) disertai dengan syarat divestasi saham 51% oleh Freeport kepada borjuasi nasional. Tentu freeport merasa dirugikan. Freeport pun tidak tinggal diam. Berbagai upaya negosiasi hanya mendapatkan kebuntuan dan memaksa perusahaan tersebut harus menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) versi koloni Indonesia tetapi masih menolak kewajiban divestasi saham sebesar 51 persen.
Freeport mulai memainkan peranya demi kepentingan akumulasi modal dengan menciptakan konflik sosial antar suku. Acap kali terjadi perang antar suku yang sengaja diciptakan oleh Freeport. Penciptaan konflik suku tersebut terutama terjadi di kalangan dua suku besar Amungme dan Kamoro dan lima suku kerabat, Nduga, Damal, Moni, Mee dan Dani. Tujuan penciptaan konflik ialah untuk mengalihkan perhatian publik, mengacaukan konsentrasi massa rakyat yang sadar akan pentingnya perlawanan untuk Tutup Freeport. Konflik yang diciptakan juga bertujuan menumpulkan perlawanan dengan memecah belah gerakan massa rakyat terhadap Freeport.
Disadur dari berita westpapuanews.org, tertanggal 1 April 2017, antek Freeport berhasil mengorganisir pembunuhan terhadap salah satu tokoh suku amungme bernama Luther Magal. Luther Magal tewas ditikam, jenazahnya kini masih ditahan pihak keluarga dan saat ini sedang terjadi mobilisasi keluarga Magal untuk melakukan penyisiran dan pembalasan terhadap suku-suku yang diduga merupakan suku asal para pelaku pembunuhan.
Di kalangan suku Kamoro, seorang Tokoh Lembaga Masyarakat Suku Amungme (LEMASA), yang juga antek Freeport, pada 1 April 2017 mulai menghasut masyarakat suku Kamoro di Pelabuhan Pomako untuk saling perang antar kampung. Kemudian pada 2 April 2017 antek Freeport berhasil merekayasa dan melanjutkan perang di antara sesama suku Nduga. Komunitas Nduga di Jalur 01 dan Jalur 03 di kampung Kandung Jaya KM 11 Timika terlibat baku panah sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Korban konflik suku Nduga rata-rata dilarikan ke Rumah Sakit Caritas, sebuah Rumah Sakit yang dibangun menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) oleh PT Freeport dengan tujuan terselubung mengobati korban konflik suku-suku pribumi yang terlihat sengaja dipelihara.
Konflik suku tidak dilakukan oleh Freeport saja namun juga didukung oleh militer kolonialisme indonesia. Pada waktu masyarakat Nduga saling serang, pihak Polri dan TNI tidak mendamaikannya namun mereka hanya menonton saja. Militer bersikap acuh bukan tanpa alasan, sebagai helder penjaga modal, faktanya, berdasarkan laporan keuangan Feeport McMoran Copper & Gold disebutkan anggaran keamanan untuk Indonesia mencapai US$ 14 juta. Sehingga tidaklah heran jikalau militer tidak pernah berpihak kepada bangsa West Papua, militer mendukung penuh Freeport agar keuntungan Freeport juga mengalir ke pihak militer.
Dukungan militer represif Indonesia (kolonial) terhadap modal adalah salah satu bentuk dari bisnis militer sebagaimana tumbuh kembang di masa Orde Baru yang diwarisinya sampai saat ini. Oleh karenanya, sebagai pengaman modal, militer negara yang represif selalu membungkam gerakan-gerakan orang Papua yang menuntut perbaikan nasib. Dengan kucuran dana terhadap Militer TNI dan Polisi, mereka menyerang orang-orang West Papua.
Di tanah Papua selalu terjadi penembakan, pembantaian, penangkapan dan pembunuhan untuk mengamankan beroperasinya Freeport. Dalam perkembangannya, tidak hanya orang-orang Melanesia yang dibunuh oleh Freeport lewat aparat represif negara dan orang-orang bayaran (baca; pembunuh gelap), tetapi juga buruh-buruh yang dianggap mengganggu juga ikut dihabisi.
Rakyat melanesia yang bermukim di sekitar tempat beroperasinya Freeport merasa tidak aman dan tidak bebas bergerak. Militer selalu mencurigai mereka dan setiap orang yang berkumpul di bubarkan. Pencegahan berkumpul, berdiskusi dan berorganisasi begitu ketatnya di Papua, sampai-sampai, disetiap lima meter ada pos militer dan polisi untuk kepentingan pengawasan. Semua kawasan Freeport bagaikan daerah operasi militer karena semua komponen militer ada di sana.
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Perjuangan Kemerdekaan
Menggeliatlah hasrat merdeka. Batasan-batasan kebahagiaan Rakyat West Papua tidak boleh dihalangi oleh keputusan-keputusan yang tak pernah mereka kehendaki sehingga, merebut kebebasan adalah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya jalan keluar bagi Rakyat West Papua. Namun, merebut pembebasan ternyata bukan hal mudah, jalannya begitu rumit, cadas dan berliku, karena, kepentingan modal raksasa membentang di jalur-jalur yang, tanahnya juga menghidupi kehidupan rimba. Miliaran dolar yang dipertaruhkan kapitalis di bumi Papua. Logisnya, butuh mobilisasi tenaga pengamanan bersenjata.
Militer sebagai mesin penghancur demokrasi akan selalu menjadi senjata ampuh bagi pemerintah Indonesia maupun Freeport dalam upaya meredam gerakan politik bangsa West Papua. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, baik pemerintah Indonesia maupun Freeport sama-sama penindas bangsa West Papua. Kedudukan Papua di dalam tubuh NKRI lewat proses sejarah yang tidak sah, maka keberadaan Indonesia di tanah Papua adalah ilegal. Sehingga tepat jika Negara Indonesia dianggap sebagai Negara kolonial, dan keberadaan Freeport di tanah Papua tidak lain adalah sebagai imperialisme AS. Sebagai kolonial dan imperialis, Indonesia dan Freeport adalah pencuri harta kekayaan alam Papua milik bangsa West Papua.
Sebagai jalan keluar, kolonial Indonesia dan imperialis AS harus segera angkat kaki dari tanah Papua. Namun, kontradiksi kelas penindas dan kelas yang ditindas tidak mungkin dapat diselesaikan lewat jalan reformis belaka,damai, tanpa menyasarkan serangan pada inti persoalan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Marx, “sejarah dari semua masyarakat di dunia adalah sejarah perjuangan kelas”. Oleh sebab itu, penting bagi kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan rakyat Indonesia (sebagai kelas yang ditindas oleh sistem kapitalisme) harus menyadari bahwa dukungan untuk membebaskan bangsa West Papua dari penindasan adalah dukungan untuk perjuangan kemerdekaan. Hak menentukan nasib sendiri adalah solusi demokratik yang harus diberikan oleh pemerintah kolonial Indonesia terhadap bangsa West Papua.
Perjuangan bangsa West Papua adalah perjuangan yang harus didukung oleh rakyat Indonesia, sebagaimana rakyat Indonesia yang pernah berada dalam kandungan penindasan kolonial Belanda. Dengan Amanah UUD 1945 dalam pembukaan, “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Secara langsung hal itu menjelaskan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa West Papua merupakan bagian dari gerakan politik yang berada di bawah konstitusi, dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang membuktikan dukungannya terhadap perjuangan bangsa West Papua.
FRI-WP adalah gabungan gerakan politik rakyat Indonesia yang tidak hanya bersolidaritas terhadap perjuangan bangsa West Papua tetapi juga ikut memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa West Papua. Tentu perjuangan FRI-WP adalah perjuangan yang berdasarkan kesadaran atas sejarah Papua dan penindasan-penindasan yang terjadi di sana. Sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara FRI-WP (Surya Anta) dalam Deklarasi FRI-WP 29 November 2016, “Bahwa kami sadar, ada penindasan dan praktek kolonialisasi Indonesia terhadap bangsa West Papua. Oleh karenanya kami yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua tidak sudi dikatakan oleh bangsa West Papua sebagai bagian dari penindas”.
Sejak 1 Desember 2016 sampai saat ini, perjuangan FRI-WP berlangsung lewat aksi massa yang digelar secara serentak se-Indonesia, juga di Papua. Dalam kurun waktu tersebut terjadi pemukulan, penangkapan, intimidasi, represifitas, dan kriminalisasi aktivis yang terlibat dalam perjuangan. Di dalam persoalan Freeport, FRI-WP bersama AMP pun menggelar aksi serentak di 14 kota di Indonesia, yang terselenggara pada tanggal 20 Maret 2017. Salah satu tuntutannya adalah Tutup Freeport dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua. FRI-WP merupakan wujud konkrit dari rakyat Indonesia yang tidak terjebak dalam nasionalisme sempit. FRI-WP memberikan dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan bangsa West Papua untuk hak menentukan nasib sendiri. Hal itu merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan mengusir kolonialis Indonesia dan Imperialis Amerika Serikat.
Sebagai rakyat Indonesia yang mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua maka, FRI-WP merupakan gerakan politik yang bisa dijadikan percontohan bagi gerakan-gerakan rakyat di Indonesia dan orang Papua tentunya. Solidaritas demokrasi. FRI-WP tidak hanya mempelopori gerakan rakyat Indonesia untuk memberikan dukungan terhadap bangsa West Papua atas perjuangan hak menentukan nasibnya sendiri, namun FRI-WP juga menjelaskan secara langsung kepada gerakan pro demokrasi tentang arti penting dari perjuangan demokrasi sejati dan makna internasionalisme dalam upaya membebaskan bangsa West Papua dari cengkraman penindasan kolonialisme Indonesia dan imperialisme Amerika Serikat. (sumber: Pembebasan.org)
Salam Pembebasan Nasional, salam demokrasi!
ARTIKEL,KABARMAPEGAA.COM--Situasi politik di Papua memiliki karakteristik yang berbeda. Terlebih, level demokrasinya sangat sulit berkembang maju di tengah-tengah kerdilnya demokrasi Indonesia, berikut operasi-operasi militernya memperparah. Bahkan, hampir tak ada demokrasi. Isu HAM pun sekedar lewat begitu saja, menyelinap di retakan gunung emas, jatuh tersandung ke lubang Grasberg.
Proses politik (integrasi) Papua juga menyisakan kontroversi yang diawali dengan perebutan wilayah (klaim Indonesia: agar Papua tidak dicaplok Belanda), lalu, klaim itu berakhir pada titah invasi berlabel Trikora. Selanjutnya, proses yang tak selesai tersebut dilanjutkan dengan cara-cara tak adil, brutal dan militeristik oleh orde baru. Ambisi Soekarno dalam Trikora (dibumbui dengan prasangka kekuasaan Majapahit di Papua) membukakan jalan bagi persekusi, invasi kapital, dan kesengsaraan-kesengsaraan yang datang berikutnya.
Pembacaan luas terhadap Papua begitu penting, agar kita bisa jujur atas sejarah yang adil.
Penipuan Sejarah Bangsa West Papua
Tidak kurang dari 50 tahun, bangsa West Papua masih tetap hidup dalam intimidasi dan represi militer (TNI-Polri). Bermula dari penipuan sejarah, diskriminasi rasial, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang terus terjadi sampai hari ini adalah bentuk dari praktek kolonialisasi terhadap bangsa West Papua yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah Indonesia. Selama bangsa West Papua masih menjadi bagian dari NKRI, maka selama itulah bangsa West Papua hidup dalam keterpurukan, kesedihan dan nihil akan kebahagiaan. Praktek genosida yang dilakukan secara sistematis dan perampokan kekayaan alam yang menghancurkan hajat hidup dan kebudayaan bangsa West Papua akan terus berlangsung sejauh pemerintah Indonesia dengan militernya masih bercokol di sana.
Berawal dari 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda, West Papua adalah koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya. Pada 1 Desember 1961, bangsa West Papua mendeklarasikan kemerdekaannya dengan membentuk Dewan Nieuwgunearaad. Sayangnya, kemerdekaan tersebut hanya berusia 19 hari. Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui kemerdekaan bangsa West Papua, di bawah kepemimpinan Soekarno yang menganggap bahwa Bangsa West Papua (pada waktu itu) adalah negara boneka buatan Belanda, berupaya mengintegrasikan lewat proses pemaksaan (aneksasi) terhadap bangsa West Papua melalui program Trikora (Tiga Komando Rakyat). Ir. Soekarno mengumandangkan TRIKORA pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta. TRIKORA tersebut berisikan:
(1). Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, (2). Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, (3). Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Berkumandangnya TRIKORA diikuti dengan berbagai gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi, seperti; Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatuyu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Lumba-Lumba dan lain-lain. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan operasi Jawawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi militer ini, tidak sedikit orang Papua yang menjadi korban dan meninggalkan trauma terhadap mereka. Itu artinya, tidak hanya kekerasan fisik yang dialami oleh orang Papua lewat operasi ini. Namun, juga kekerasan mental (psikologi) pun harus diterima oleh mereka dan mewarisinya sampai saat ini.
Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional sesuai dengan New York Agreement Pasal 18, berikut isi dari pasal tersebut;
New York Agreement
Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian)
(As signed at the United Nations Headquarters, New York, August 15, 1962)
Article XVIII
Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nation Representative and his staff, to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
(A) Consultations with the representative councils on procedures l and appropriate methods to be followed for ascertaining the freely expressed will of the population;
(B) The determination of the actual date of the exercise of free choice within the period established by the present Agreement;
(C) Formulation of the questions in such a way as to permit the inhabitants to decide (a) whether they wish to remain with Indonesia; or (b) whether they wish to sever their ties with Indonesia;
(D) The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement and at the time of the act of self-determination, including those residents who departed after 1945 and who return to the territory to resume residence after the termination of Netherlands administration.
Dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut:
Pasal 18:
Indonesia akan membuat pengaturan, dengan bantuan dan partisipasi PBB Perwakilan dan stafnya, untuk memberikan orang-orang di wilayah, kesempatan untuk melaksanakan kebebasan memilih. Pengaturan demikian akan mencakup:
(A) Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang harus diikuti untuk memastikan secara bebas menyatakan kehendak penduduk.
(B) Penentuan tanggal yang sebenarnya dari pelaksanaan pilihan bebas dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Persetujuan ini.
(C) Formulasi pertanyaan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penduduk untuk memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia, atau (b) apakah mereka ingin memutuskan hubungan dengan Indonesia.
(D) Kelayakan dari seluruh orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga asing untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri akan dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional, yang bertempat tinggal pada saat penandatanganan Persetujuan ini, termasuk mereka warga yang berangkat setelah 1945 dan yang kembali ke wilayah itu untuk melanjutkan tinggal setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.
Dan di pasal 20 tertulis:
Article XX
The act of self-determination will be completed before the end of 1969;
Dalam versi bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut:
Pasal 20
Tindakan penentuan nasib sendiri akan selesai sebelum akhir tahun 1969.
Sebagai bagian dari Perjanjian New York, sebelum akhir tahun 1969, pemerintah Indonesia wajib menyelenggarakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di West Papua. Maka dari itu pada awal tahun 1969 pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan PEPERA. Tapi sayang sekali, penyelenggaraannya keliru, tidak sesuai dengan aturan yang disepakati dalam PBB, penuh intimidasi, tidak demokratis. Pasalnya, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina, dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat (1% dari jumlah keseluruhan). Sehingga musyawarah-mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA tidak sah, penuh manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat.
Freeport Mencuri Kekayaan Alam Papua
Bagi kedua belah pihak yang bertikai memperebutkan Papua berakhir pada kesimpulan bahwa persoalan Papua hanyalah Freeport, tidak manusianya. Tingginya angka kemiskinan, penyakit, kerusakan alam dan pelanggaran HAM berat menyembul dengan sendirinya sebagai fakta bahwa Papua bagi mereka hanya persoalan bisnis tambang, lain tidak. Sejak kapan? Sejak Trikora, berlanjut dan penindasan makin dikeraskan setelah PEPERA.
Pemerintah Indonesia tetap melaksanakan kepentingan ekonomi-politiknya karena sebelum terlaksananya PEPERA tahun 1969, pemerintah mempersilahkan PT. Freeport mencuri kekayaan alam Papua. Hal tersebut lahir ketika disahkannya peraturan perundang-undangan pertama yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Semangat anti-imperialisme Soekarno yang menyerang Belanda dengan upaya mengintergrasikan West Papua justru disertai dengan kekerasan, represifitas dan intimidasi terhadap bangsa West Papua. Kemudian dilanjutkan Soeharto di tahun 1966 setelah berhasil mengambil alih kekuasaan secara paksa atas Soekarno, yang kemudian mengamini ekspansi, eksploitasi dan akumulasi modal PT. Freeport di tanah Papua.
Terhitung dari 1967 saat mendatangani Kontrak Karya (KK) sampai 2017, Freeport terus melakukan eksploitasi besar-besaran dan akumulasi kapital. Tercatat pada tahun 2006 Freeport memperoleh penghasilan sebesar 5.791 miliar dollar AS, 2007 sebesar 16.939 miliar dollar AS, 2009 sebesar 15.040 miliar dollar AS, 2010 sebesar 18.982 miliar dollar AS dan 2017 sebesar 30.000 miliar dollar AS. Hal tersebut membuat Freeport menduduki peringkat teratas dan terbesar di seluruh dunia dalam memproduksi emas dan tembaga.
Keuntungan PT. Freeport dari penjarahan kekayaan alam bangsa West Papua diikuti dengan pengrusakan terhadap lingkungan alam yang masif dilakukan tanpa bertanggung-jawab akan lingkungan alam yang dirusaknya. Freeport telah mematikan 23.000 Ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Sungai pun meluap karena pendangkalan akibat endapan tailing.
Freeport membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui Sungai Ajkwa yang berdampak langsung bagi masyarakat setempat yang mendiaminya. Limbah tailing Freeport telah mencapai pesisir laut Arafuru. Tailing yang dibuang Freeport ke sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis makhluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Tailing yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah punah akibat tailing Freeport.
Sejatinya makhluk hidup dan alam memiliki inter-relasi (saling hubungan) yang merupakan bentuk kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. John Bellamy Foster dalam bukunya Ekologi Marx menjelaskan, “alam adalah badan inorganik manusia karena alam bukanlah badan manusia. Manusia hidup dari alam, artinya, alam adalah tubuhnya, dan dia harus mempertahankan dialog dengan alam jika tidak ingin mati. Sederhananya, alam berhubungan dengan dirinya sendiri karena manusia bagian dari alam.”
Namun, Freeport yang terus mengeksploitasi sumber daya alam papua tidak pernah dan tidak akan pernah mengindahkan kepentingan alam. Allen Mayers dalam bukunya Mengapa Kapitalisme Menghancurkan Dunia menjelaskan bahwa kapitalisme tidak akan pernah memikirkan kepentingan alam, sebagaimana tujuan utamanya yakni mengakumulasi nilai lebih (surplus value). Di bawah kapitalisme, tidak ada tujuan yang lebih berharga selain penumpukan nilai surplus. Pun sebagaimana juga Karl Marx dan Friederich Engels yang telah menemukan hukum-hukum gerak modal bahwa entah itu imperialisme-kapitalis, entah itu kapitalis lokal, sebenarnya keduanya memiliki watak yang sama, yakni merusak alam selain dari mengeksploitasi hasil kerja buruh dan mengalienasinya. Maka itu demi akumulasi kapitalnya, Freeport, tidak segan melakukan tindakan yang merusak kehidupan manusia dan alam.
Freeport Menciptakan Konflik
Kehadiran Freeport membawa bencana bagi masyarakat Papua, terutama masyarakat suku yang bermukim di lokasi tersebut. Sebelum masuknya Freeport, ada tujuh suku kerabat yang hidup di lokasi pertambangan. Suku-suku tersebut antara lain adalah Suku Amungme, Suku Kamoro, Suku Nduga, Suku Damal, Suku Moni, Suku Mee dan Suku Dani. Suku-suku tersebut telah hidup tidak kurang dari 5.500 tahun lamanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bergantung terhadap alam. Suku-suku tersebut telah tinggal dan memanfaatkan sumber makanan dari pegunungan tengah melenesia ribuan tahun lalu. Patra M. Zen mencatat, “Berdasarkan bukti peninggalan radiokarbon dari sisa-sia tungku rumahtangga suku Amungme dengan perkiraan linguistik dari bahasa Angkal Daman. Hutan dan tanah merupakan sumber penghidupan bagi mereka. Namun, sekarang mereka mengalami kesulitan akibat dari perluasan kawasan pertambangan yang berkonsekuensi pada pengrusakan hutan, perampasan tanah, tercemarnya lingkungan hidup oleh aktivitas pertambangan dan hancurnya hubungan sosial akibat konflik yang diciptakan oleh Freeport.”
Beberapa waktu yang lalu, sejak ditetapkannya PP No 1 Tahun 2017 pertentanganantara Freeport dengan pemerintah Indonesia semakin tajam. Pasalnya, peraturan pemerintah mengatur tentang pengalihan Kontrak Karya (KK) ke Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) disertai dengan syarat divestasi saham 51% oleh Freeport kepada borjuasi nasional. Tentu freeport merasa dirugikan. Freeport pun tidak tinggal diam. Berbagai upaya negosiasi hanya mendapatkan kebuntuan dan memaksa perusahaan tersebut harus menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) versi koloni Indonesia tetapi masih menolak kewajiban divestasi saham sebesar 51 persen.
Freeport mulai memainkan peranya demi kepentingan akumulasi modal dengan menciptakan konflik sosial antar suku. Acap kali terjadi perang antar suku yang sengaja diciptakan oleh Freeport. Penciptaan konflik suku tersebut terutama terjadi di kalangan dua suku besar Amungme dan Kamoro dan lima suku kerabat, Nduga, Damal, Moni, Mee dan Dani. Tujuan penciptaan konflik ialah untuk mengalihkan perhatian publik, mengacaukan konsentrasi massa rakyat yang sadar akan pentingnya perlawanan untuk Tutup Freeport. Konflik yang diciptakan juga bertujuan menumpulkan perlawanan dengan memecah belah gerakan massa rakyat terhadap Freeport.
Disadur dari berita westpapuanews.org, tertanggal 1 April 2017, antek Freeport berhasil mengorganisir pembunuhan terhadap salah satu tokoh suku amungme bernama Luther Magal. Luther Magal tewas ditikam, jenazahnya kini masih ditahan pihak keluarga dan saat ini sedang terjadi mobilisasi keluarga Magal untuk melakukan penyisiran dan pembalasan terhadap suku-suku yang diduga merupakan suku asal para pelaku pembunuhan.
Di kalangan suku Kamoro, seorang Tokoh Lembaga Masyarakat Suku Amungme (LEMASA), yang juga antek Freeport, pada 1 April 2017 mulai menghasut masyarakat suku Kamoro di Pelabuhan Pomako untuk saling perang antar kampung. Kemudian pada 2 April 2017 antek Freeport berhasil merekayasa dan melanjutkan perang di antara sesama suku Nduga. Komunitas Nduga di Jalur 01 dan Jalur 03 di kampung Kandung Jaya KM 11 Timika terlibat baku panah sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Korban konflik suku Nduga rata-rata dilarikan ke Rumah Sakit Caritas, sebuah Rumah Sakit yang dibangun menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) oleh PT Freeport dengan tujuan terselubung mengobati korban konflik suku-suku pribumi yang terlihat sengaja dipelihara.
Konflik suku tidak dilakukan oleh Freeport saja namun juga didukung oleh militer kolonialisme indonesia. Pada waktu masyarakat Nduga saling serang, pihak Polri dan TNI tidak mendamaikannya namun mereka hanya menonton saja. Militer bersikap acuh bukan tanpa alasan, sebagai helder penjaga modal, faktanya, berdasarkan laporan keuangan Feeport McMoran Copper & Gold disebutkan anggaran keamanan untuk Indonesia mencapai US$ 14 juta. Sehingga tidaklah heran jikalau militer tidak pernah berpihak kepada bangsa West Papua, militer mendukung penuh Freeport agar keuntungan Freeport juga mengalir ke pihak militer.
Dukungan militer represif Indonesia (kolonial) terhadap modal adalah salah satu bentuk dari bisnis militer sebagaimana tumbuh kembang di masa Orde Baru yang diwarisinya sampai saat ini. Oleh karenanya, sebagai pengaman modal, militer negara yang represif selalu membungkam gerakan-gerakan orang Papua yang menuntut perbaikan nasib. Dengan kucuran dana terhadap Militer TNI dan Polisi, mereka menyerang orang-orang West Papua.
Di tanah Papua selalu terjadi penembakan, pembantaian, penangkapan dan pembunuhan untuk mengamankan beroperasinya Freeport. Dalam perkembangannya, tidak hanya orang-orang Melanesia yang dibunuh oleh Freeport lewat aparat represif negara dan orang-orang bayaran (baca; pembunuh gelap), tetapi juga buruh-buruh yang dianggap mengganggu juga ikut dihabisi.
Rakyat melanesia yang bermukim di sekitar tempat beroperasinya Freeport merasa tidak aman dan tidak bebas bergerak. Militer selalu mencurigai mereka dan setiap orang yang berkumpul di bubarkan. Pencegahan berkumpul, berdiskusi dan berorganisasi begitu ketatnya di Papua, sampai-sampai, disetiap lima meter ada pos militer dan polisi untuk kepentingan pengawasan. Semua kawasan Freeport bagaikan daerah operasi militer karena semua komponen militer ada di sana.
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Perjuangan Kemerdekaan
Menggeliatlah hasrat merdeka. Batasan-batasan kebahagiaan Rakyat West Papua tidak boleh dihalangi oleh keputusan-keputusan yang tak pernah mereka kehendaki sehingga, merebut kebebasan adalah sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya jalan keluar bagi Rakyat West Papua. Namun, merebut pembebasan ternyata bukan hal mudah, jalannya begitu rumit, cadas dan berliku, karena, kepentingan modal raksasa membentang di jalur-jalur yang, tanahnya juga menghidupi kehidupan rimba. Miliaran dolar yang dipertaruhkan kapitalis di bumi Papua. Logisnya, butuh mobilisasi tenaga pengamanan bersenjata.
Militer sebagai mesin penghancur demokrasi akan selalu menjadi senjata ampuh bagi pemerintah Indonesia maupun Freeport dalam upaya meredam gerakan politik bangsa West Papua. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, baik pemerintah Indonesia maupun Freeport sama-sama penindas bangsa West Papua. Kedudukan Papua di dalam tubuh NKRI lewat proses sejarah yang tidak sah, maka keberadaan Indonesia di tanah Papua adalah ilegal. Sehingga tepat jika Negara Indonesia dianggap sebagai Negara kolonial, dan keberadaan Freeport di tanah Papua tidak lain adalah sebagai imperialisme AS. Sebagai kolonial dan imperialis, Indonesia dan Freeport adalah pencuri harta kekayaan alam Papua milik bangsa West Papua.
Sebagai jalan keluar, kolonial Indonesia dan imperialis AS harus segera angkat kaki dari tanah Papua. Namun, kontradiksi kelas penindas dan kelas yang ditindas tidak mungkin dapat diselesaikan lewat jalan reformis belaka,damai, tanpa menyasarkan serangan pada inti persoalan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Marx, “sejarah dari semua masyarakat di dunia adalah sejarah perjuangan kelas”. Oleh sebab itu, penting bagi kelas pekerja, petani, mahasiswa, dan rakyat Indonesia (sebagai kelas yang ditindas oleh sistem kapitalisme) harus menyadari bahwa dukungan untuk membebaskan bangsa West Papua dari penindasan adalah dukungan untuk perjuangan kemerdekaan. Hak menentukan nasib sendiri adalah solusi demokratik yang harus diberikan oleh pemerintah kolonial Indonesia terhadap bangsa West Papua.
Perjuangan bangsa West Papua adalah perjuangan yang harus didukung oleh rakyat Indonesia, sebagaimana rakyat Indonesia yang pernah berada dalam kandungan penindasan kolonial Belanda. Dengan Amanah UUD 1945 dalam pembukaan, “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Secara langsung hal itu menjelaskan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa West Papua merupakan bagian dari gerakan politik yang berada di bawah konstitusi, dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang membuktikan dukungannya terhadap perjuangan bangsa West Papua.
FRI-WP adalah gabungan gerakan politik rakyat Indonesia yang tidak hanya bersolidaritas terhadap perjuangan bangsa West Papua tetapi juga ikut memperjuangkan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa West Papua. Tentu perjuangan FRI-WP adalah perjuangan yang berdasarkan kesadaran atas sejarah Papua dan penindasan-penindasan yang terjadi di sana. Sebagaimana yang dikatakan oleh juru bicara FRI-WP (Surya Anta) dalam Deklarasi FRI-WP 29 November 2016, “Bahwa kami sadar, ada penindasan dan praktek kolonialisasi Indonesia terhadap bangsa West Papua. Oleh karenanya kami yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua tidak sudi dikatakan oleh bangsa West Papua sebagai bagian dari penindas”.
Sejak 1 Desember 2016 sampai saat ini, perjuangan FRI-WP berlangsung lewat aksi massa yang digelar secara serentak se-Indonesia, juga di Papua. Dalam kurun waktu tersebut terjadi pemukulan, penangkapan, intimidasi, represifitas, dan kriminalisasi aktivis yang terlibat dalam perjuangan. Di dalam persoalan Freeport, FRI-WP bersama AMP pun menggelar aksi serentak di 14 kota di Indonesia, yang terselenggara pada tanggal 20 Maret 2017. Salah satu tuntutannya adalah Tutup Freeport dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua. FRI-WP merupakan wujud konkrit dari rakyat Indonesia yang tidak terjebak dalam nasionalisme sempit. FRI-WP memberikan dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan bangsa West Papua untuk hak menentukan nasib sendiri. Hal itu merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan mengusir kolonialis Indonesia dan Imperialis Amerika Serikat.
Sebagai rakyat Indonesia yang mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua maka, FRI-WP merupakan gerakan politik yang bisa dijadikan percontohan bagi gerakan-gerakan rakyat di Indonesia dan orang Papua tentunya. Solidaritas demokrasi. FRI-WP tidak hanya mempelopori gerakan rakyat Indonesia untuk memberikan dukungan terhadap bangsa West Papua atas perjuangan hak menentukan nasibnya sendiri, namun FRI-WP juga menjelaskan secara langsung kepada gerakan pro demokrasi tentang arti penting dari perjuangan demokrasi sejati dan makna internasionalisme dalam upaya membebaskan bangsa West Papua dari cengkraman penindasan kolonialisme Indonesia dan imperialisme Amerika Serikat. (sumber: Pembebasan.org)
Salam Pembebasan Nasional, salam demokrasi!
Salam perjuangan, solidaritas tanpa batas, sebab hidup adalah tanggung jawab pemikiran.
[ Penulis adalah anggota PEMBEBASAN Kolektif Wilayah Jogja-Jateng ]
Referensi:
Allen Myers, 2014, Mengapa Kapitalisme Menghancurkan Bumi (terjemahan), Yogyakarta, Bintang Nusantara.
Arah Juang edisi 18, III-IV Maret 2017, Freeport Nasionalisme Borjuis Jokowi & Hak Menentukan Nasib Sendiri.
Coen husain Pontoh, 2005, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Yogyakarta, Resist Book.
Democratic and Socialist Party, 1998, What Sosialists Stand For, Australia, Resistance Book.
John Bellamy Foster, 2000, Ekologi Marx Materialisme dan Alam (terjemahan), Jakarta Selatan, WALHI.
Karl Marx and Engels, 1848, Manifesto of the Communist Party, Germany.
[ Penulis adalah anggota PEMBEBASAN Kolektif Wilayah Jogja-Jateng ]
Referensi:
Allen Myers, 2014, Mengapa Kapitalisme Menghancurkan Bumi (terjemahan), Yogyakarta, Bintang Nusantara.
Arah Juang edisi 18, III-IV Maret 2017, Freeport Nasionalisme Borjuis Jokowi & Hak Menentukan Nasib Sendiri.
Coen husain Pontoh, 2005, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Yogyakarta, Resist Book.
Democratic and Socialist Party, 1998, What Sosialists Stand For, Australia, Resistance Book.
John Bellamy Foster, 2000, Ekologi Marx Materialisme dan Alam (terjemahan), Jakarta Selatan, WALHI.
Karl Marx and Engels, 1848, Manifesto of the Communist Party, Germany.
0 thoughts on “West Papua, Freeport dan Solidaritas Kemerdekaan”