Foto: Dok, Prib, Carla M. A/KM |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Masyarakat Indonesia, khususnya warga Kabupaten Maybrat tengah diwarnai dengan diselenggarakannya pesta demokrasi atau PILKADA serentak pada tanggal 15 Februari lalu.
Momen ini menjadi saat yang tepat bagi masyarakat untuk memilih kepala daerah yang memiliki sepak terjang yang jelas untuk memajukan bumi A3 menuju Maybrat yang maju, mandiri, dan baru. Melihat situasi dan kondisi PILKADA mulai dari PRA PILKADA, PILKADA dan PASCA PILKADA sebagai seorang perempuan yang memiliki naluri perasaan yang kuat dapat dikatakan bahwa hampir 90% lebih hasil PILKADA “cacat total” artinya PILKADA ini.
Tidak berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan. Alasannya cukup jelas yakni hampir seluruh wilayah di Kabupaten Maybrat melakukan kesalahan yang secara sengaja dilakukan baik itu money politik, jual beli jabatan, kekerasan fisik dan sebagainya demi tercapainya kemenangan oleh pasangan calon tertentu.
Berkaca dari PILKADA sebelumnya seharusnya pemerintah dalam hal ini KPU sebagai lembaga pelaksana seharusnya lebih teliti agar PILKADA ini tidak mengulang kesalahan yang sama. Sebab, apa boleh buat, politik selalu berkaitan dengan praktek kotor yakni segala cara dihalalkan demi terciptanya kepentingan segelintir orang.
Dalam pemilihan kepala daerah kali ini terdapat dua pasangan calon yang akan bertarung untuk merebut kursi Bupati dan Wakil Bupati Kab. Maybrat periode 2017- 2022 yaitu Paslon Nomor Urut 1 atas nama Bapak Bernard Sagrim sebagai Calon Bupati dan Bpk. Paskalis Kocu sebagai Wakil Bupati serta di Paslon Nomor Urut 2 ada Bapak Karel Murafer sebagai Calon Bupati dan Bapak Yance Way sebagai calon Wakil Bupati.
Pesta demokrasi seharusnya menjadi ajang yang sakral bagi setiap orang karena kehadirannya yang sekali diadakan dalam lima tahun. Seharusnya, menjadi momentum yang sangat berharga bagi masyarakat di mana suaranya bisa disalurkan sesuai hati nuraninya tanpa ada paksaan.
Namun, mungkin ini hanyalah khayalan saya yang tidak akan pernah terjadi dalam dunia politik. Begitulah kenyataan yang terjadi pada pilkada kali ini di Kab. Maybrat. Di kampung saya, sebut saja Kampung Faan yang jumlah DPT hanya 65 orang banyak sekali terjadi nuansa politiknya mulai dari suap menyuap, pencoblosan tidak diberikan kepada masyarakat, money politik, saksi dibayar, dan sebagainya. Praktek kotor ini juga hampir berlaku di seluruh wilayah Kab. Maybrat.
Akibat yang ditimbulkan dari praktek ini yakni keluarga saling benci, rakyat kecil yang menjadi alat propaganda, perkelahian dan permusuhan di mana-mana, makan minum tak tenang karena pikir siapa yang menang dan siapa yang kalah, menjadi bahan gosip di setiap wilayah, jadi bahan sindiran di media sosial, semua kalangan jadi pintar bicara politik baik yang masih buta huruf sampai orang dewasa dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, semua yang telah terjadi, apapun keputusannya kelak saya berharap kepada semua pihak untuk mampu menerima keputusan ini dengan penuh rasa syukur karena siapa pun pemimpinnya dia adalah ayah bagi anak-anaknya yakni rakyatnya sendiri. Akhir kata, jika laki-laki melihat politik dari segi peluang, keuangan, arti pendukungnya, ada unsur janji jabatan maka perempuan mampu melihat politik karena perasaannya, panggilan hati, dan kemauan pribadinya tanpa embel-embel janji politik.
Dan mereka yang berjalan karena bisikan hati nurani tidak pernah kalah dari kekuatan basa basi karena perjuangannya tulus untuk kepentingan umum bukan satu atau dua orang saja. Mau tahu buktinya? Tanyakan saja pada tiga perempuan hebat yang ada di kampung Faan, mereka akan menceritakan kisahnya.
* Penulis adalah Mahasiswi Papua, asal Kab. Maybrat
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “ Melihat PILKADA Kabupaten Maybrat dari Kacamata Kaum Perempuan”