Foto; Dok,Pulau Papua, Google/KM |
OPINI, KABARMAPEGAA.COM – Ketika Indonesia memproklamasikan pada tanggal, 17 Agustus 1945 Indonesia memiliki 8 provinsi yaitu; Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Selain itu ada dua daerah istimewa yakni Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara provinsi lainnya baru dimekarkan di era republik serikat (1945-1950) dan era demokrasi terpimpin dan Orde Lama (1959-1966) serta era 1999 sampai sekarang.
Sedangkan provinsi Irian Barat (kini disebut Papua dan Papua Barat) dibentuk pada tahun 1965. Irian Barat sendiri lahir dengan proses tarik ulur, bahkan memakan waktu yang cukup lama. Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, Muhamad Hatta menolak untuk Irian Barat menjadi bagian dari provinsi Indonesia. Ia berpendapat Papua bukan Indonesia. Orang Papua punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Tidak pantas Indonesia klaim Papua bagian dari Indonesia. Demikian pernyataan Hatta, “Secara pribadi ingin saya menyatakan bahwa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bahwa bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
Pernyataan beliau tidak diterima oleh Soekarno. Dalam KMB tersebut bung Karno secara terang benderang menyatakan bahwa semua daerah bekas jajahan Belanda adalah bagian dari Indonesia. Perbedaan pandangan di antara Soekarno dan Hatta mengharuskan mereka menghabiskan waktu yang cukup panjang. Untuk membahas Papua bagian dari Indonesia atau tidak, menghabiskan waktu kurang lebih 7 tahun (1949-1965). Proses ini terjadi karena pada waktu itu pemerintah Belanda cukup eksis duduki pulau Papua dan tidak berkehendak untuk Indonesia ambil ahli Papua. Indonesia pikir dua kali lipat bahkan membangun strategi dan diplomasi politik yang cukup luar biasa.
Soekarno menginginkan bekas wilayah jajahan Belanda harus menjadikan sebagai satu negara dalam Indonesia. Sekali pun Bung Hatta berpendapat lain, namun bung Karno ngotot mendorong agenda Papua untuk merebut dari tangan Belanda. Dalam kurung waktu tujuh (7) tahun itu Soekarno mencari akal susah paya. Memang waktu itu sulit merebut Papua dengan gampang. Karena Belanda secara de facto dan de joure duduki Papua sangat kuat. Ada beberapa catatan lucu yang dibuat Soekarno guna merebut Papua dengan cara-cara yang memalukan. Ia Soekarno menguatkan diplomasi politik ke PBB pada akhirnya menjadi kolonial bagi orang Papua di tanah Papua.
Diplomasi Soekarno ke PBB cukup berhasil karena presiden yang di lengserkan Soeharto ini membawa isu sumber daya alam Papua di hadapan Amerika Serikat. Isu kekayaan alam Papua tersebut menjadi isu utama untuk mendapat dukungan dari AS. Hal tersebut diperkuat dengan berkat petualangan penjelajah asal Belanda, Jean Jacques Dozy pada 1936 yang pernah mendaki gunung Nemangkawi. Hal ini membuat AS semakin percaya karena temuan Dozy tersebut pernah dimuat di majalah terkenal di AS, yakni New York Times 1936. Makanya jangan heran kalau penandatanganan Kontrak Karya Freeport dilakukan 7 April 1967, atau dua (2) tahun sebelum PEPERA dilaksanakan.
Selain lobi politik ke Amerika Serikat untuk PBB, pemerintah Indonesia berusaha keras membentuk provinsi Irian Barat. Pada akhirnya provinsi Irian Barat dibentuk berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat oleh Presiden Soekarno dengan nomor surat: 15/1956 tanggal 16 Agustus 1956 di Jakarta. Silahkan baca juga UU Pembatalan Persetujuan Konferensi Meja Bundar; b. 1. Pasal 2, 89, 131 dan UU Nomor 22 Tahun 1948 RI dan UU tersebut dalam Staatsbland Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950. Referensi lain juga ada Piagam Persetujuan Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan Bersama tanggal 19 dan 20 Juli 1950.
Selanjutnya, Provinsi Irian Barat diperjelas kembali berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat. Pada saat itu provinsi Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada 7 April 1967. Tepat 2 tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 1968 di Irian Jaya, sekarang disebut provinsi Papua dan Papua Barat. Yang kita kenal pelaksanaan PEPERA cacat hukum pada waktu itu. Waktu itu, provinsi Irian Jaya berkedudukan di Jayapura. Sementara wilayah provinsi ini terdiri dari 9 kabupaten, antara lain; kabupaten Jayapura, Biak Numfor, Manokwari, Sorong, Fak-fak, Marauke, Jayawijaya, Paniai, dan Yapen Waropen.
Coba, bayangkan betapa lucunya Indonesia membentuk provinsi otonom Irian Barat sebelum 1 Mei 1963. Wajarlah kalau dilakukan sesudah 1 Mei 1963, yang Indonesia klaim hari integrasi Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Tapi ini tidak. Malah Indonesia bentuk provinsi otonom jauh sebelumnya. Maaf tidak salah, kalau orang Papua saat ini dengan sadar menyatakan Indonesia itu penjajah bagi Papua. Hal ini realitas yang tidak bisa di sampingkan dengan cara apa pun. Boleh anda katakan sudah sah dan final Papua menjadi satu moto nasional “Bhineka Tunggal Ika”, tetapi pernyataan tersebut hanya bersifat paksaan. Ingatlah bahwa A tidak bisa paksakan menjadi B. A tetaplah A, begitu pula sebaliknya. Jangan membuat logika secara paksa. Tidak bisa, jangan paksakan menjadi bisa.
Kenyataan tidak bisa di pungkiri, bahwasanya UU pembentukan provinsi Irian Barat hanya dibuat untuk memperkuat posisi Indonesia dalam melancarkan perjuangan. Produk UU itu hanya sebuah cara untuk melemahkan pengakuan Belanda pada tahun 1952. Pemerintah Belanda pernah menyatakan bahwa orang Papua mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri atau dengan kata lain merdeka. Pada tahun itu, Belanda telah mengakui orang Papua sebagai sebuah bangsa yang mempunyai harkat dan martabat seperti Indonesia dan bangsa-bangsa lain. Pernyataan itu sangat kuat dan terikat pula dalam pasal 73 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bahkan, Belanda pernah mengundang Indonesia di depan Pengadilan Hukum Internasional untuk memperjelas klaim Indonesia atas New Guinea Barat (Papua saat ini). Baca juga buku “Pemusnahan Etnis Melanesia”, karya Socrates Yoman. Tetapi kolonial Indonesia tetap bersih keras. Malah mereka (kolonial) menganggap Papua harus direbut agar menurut kekayaan alam leluasa. Lalu, kolonial menjadikan UU Nomor 15 Tahun 1956 adalah memiliki dasar hukum. Padahal itu hanya dibuat-buat untuk kepentingan merebut Papua secara paksa.
Goresan sejarah masih hangat dalam ingatan bagi orang Papua. Dalam konferensi yang diadakan Belanda dengan Australia pada Maret 1960 di Holandia, (sekarang Jayapura) Belanda berpidato secara terang–terang di depan publik bahwa pihaknya mengakui dan menghormati orang Papua sebagai sebuah bangsa. Pada forum itu, Belanda ikut mendorong isu kemerdekaan Papua ke dalam agenda konferensi untuk membuahkan kesepakatan bersama guna menyiapkan persiapan kemerdekaan Papua selama 10 tahun. Hal ini dapat didukung dengan dokumen proposal menteri luar negeri, Luns yang berisi dokumen lengkap untuk menyiapkan kemerdekaan Papua (Alua, 2000).
Dua bulan sebelumnya, dalam kongres Papua pertama, Belanda menunjukkan tekadnya, mengakui dan menghormati Papua sebuah bangsa yang sejajar dengan bangsa–bangsa lain di dunia. Pengakuan Belanda tersebut dapat dilakukan pada 19 Oktober 1961 di Port Numbay. Adapun dalam kongres Papua menetapkan : a) Bendera Bintang Kejora sebagai bendera bangsa Papua Barat, b) Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan Papua Barat, c) Papua Barat sebagai nama bangsa dan, d) Nama negara sebagai negara Papua Barat dan menetapkan wilayah Papua Barat.
Puncaknya tanggal 1 Desember 1961. Pada hari itu, bendera “Bintang Kejora” berkibar dan lagu nasional “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan bersamaan. Kondisi ini mengundang Indonesia marah besar. Karena hal itu negara kolonial Indonesia anggap mengganggu UU Nomor 15 Tahun 1956 terkait pembentukan provinsi otonom Irian Barat. Tidak lama, sembilan belas hari kemudian, atau tepat pada 19 Desember 1961 Soekarno memandangkan “Trikora” untuk membubarkan negara West Papua. Maklumat 19 Desember tersebut ada tiga bagian, yakni; a). Bubarkan negara boneka Papua buatan Belanda, b). Kibarkan sang saka merah putih di seluruh Irian Barat dan c). Mobilisasi umum untuk merebut Irian Barat.
Pemerintah kolonial yang dibekap AS pada waktu membeli amunisi ke Uni Sovie, AS, Jepang dan lainnya untuk melakukan operasi militer di seluruh Papua. Operasi militer sebenarnya sebuah cara untuk menciptakan pra kondisi menjelang PEPERA, dengan tujuan menutupi pergerakan orang Papua untuk Merdeka. Pra kondisi ini dinilai berhasil dilakukan oleh kolonial, karena 800.000 jiwa orang Papua lari ke hutan sampai ke tetangga Melanesia, Papua New Guinea, Australia, dan di seluruh kawasan Pasifik. Setelah, Hal kolonial Indonesia yang dibeckup langsung AS melahirkan beragam perjanjian seperti New York Agreement, Roma Agreement dan sampai pada 1 Mei 1963.
New York Agreement, 15 Agustus 1962 hanya buah dari usaha diplomasi Soekarno ke PBB melalui Amerika Serikat. Perjanjian New York jelas-jelas tidak ada keterlibatan orang Papua. Hampir 29 pasal yang dibicarakan dalam perjanjian ini tidak pernah menyinggung nasib dan masa depan orang Papua. Malah membicarakan bagaimana usaha pemerintah kolonial merebut Papua dari kuasa Belanda untuk menyerahkan kepada United Nation Temporary Executive Administrasi. Perjanjian tersebut hanya dibuat dengan kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan nasib dan masa depan orang Papua. Permainan busuk Indonesia dapat tercermin dari pernyataan Ortiz Sanz, bahwa “ sekitar 95 persen orang-orang West Papua mendukung gerakan Papua Merdeka dan bahwa PEPERA adalah suatu penghinaan”, (Yoman, 2007,2012).
Sementara, Roma Agreement pada 30 September 1962 pun banyak melangkahi beberapa hal penting. Sebelumnya New York Agrrement pernah dilakukan pada 1 Oktober 1962 setelah Papua mendeklarasikan pada 1961. Malah diperbaharui pada 30 September 1962. Lucu kan, masa perjanjian Roma Agreement sudah lakukan sebelumnya terus bikin lagi yang baru. Ada apa dibalik ini? Otak dibalik ini adalah menteri luar negeri Soebandrio. Ia menjadi sutradara untuk melakukan penandatanganan ketiga belah pihak, yakni Indonesia, Belanda dan As. Dalam momen ini, ketiganya menunda pelaksanaan PEPERA 1969. Penundaan ini memberikan peluang bagi Indonesia dan AS untuk melakukan permainan busuk di tanah Papua.
Perjanjian tersebut juga memberikan kolonial Indonesia untuk duduki Papua dalam tempo 25 tahun (1963-1988), menetapkan pelaksanaan PEPERA dengan sistem “Musyawarah” untuk “Mufakat” menurut sistem dewan musyawarah yang berlaku bagi Indonesia (bukan mekanisme yang berlaku di PBB). Selain itu, memperpanjang waktu untuk melaporkan hasil-hasil pelaksanaan Plebisit ke Sidang Umum PBB agar diterima tanpa ada sanggahan terbuka. Tidak hanya itu, AS menanamkan modal di Papua. Salah bukti adalah penandatanganan KK Freeport pada, 7 April 1967. AS memberikan jaminan USD 30 juta kepada Bank Asia untuk kolonial Indonesia membangun Papua selama 25 Tahun. Bahkan AS membekap kolonial Indonesia untuk transmingrasi ke Papua juga bagian dari pemenuhan maklumat Soekarno sebelumnya.
Kembali ke pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat. Dalam penjelasan pasal demi pasal menyebutkan bahwa pembentukan provinsi Irian Barat adalah suatu perwujudan dari hasrat bangsa Indonesia akan klaim nasional. Karena secara de facto kekuasaan pemerintah Belanda masih menguasai. Di sini pemerintah Indonesia sadar bahwa mengalami kesulitan besar untuk merebut Papua sebagai bagian dari Indonesia. Pemerintah Kolonial Indonesia kemudian melancarkan perjuangan aneksasi Papua berdasarkan Tri Komando Rakyat pada 1 Desember 1961.
Dalam rangka penguatan perjuangan maka pemerintah melakukan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1963 jo Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1963. Tidak lama pemerintah Belanda menyerahkan wilayah kekuasaan di Papua ke tangan Indonesia. Penyerahan wilayah Irian Jaya (sebutan lama), bukan dari rasa kesadaran penuh, bukan juga dengan rasa kesatuan dan persatuannya dengan orang Indonesia lain di bagian tengah dan barat untuk menyatu dalam bingkai NKRI. Tetapi lebih dari itu adalah pemerintah Indonesia yang dibekap langsung oleh AS dengan target mengerut isi perut Nemangkawi, memaksakan orang Papua untuk percaya pada pemerintah Kolonial Indonesia dengan membuat laporan ke PBB secara manipulasi.
Tidak hanya itu, dalam laporan di SMU PBB serta penjelasan dalam pembentukan provinsi Irian Barat menyebutkan bahwa orang Papua menyatakan dengan mutlak menyerahkan diri ke Indonesia. Bahkan sampai saat ini aroma busuknya permainan pemerintah kolonial Indonesia dan AS sangat terasa. Selain itu, atas nama orang Papua menyatakan dengan pernyataan palsu bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan pemerintah Indonesia klaim, dewan musyawarah penentuan pendapat rakyat tersebut adalah sah dan final serta tidak bisa diganggu gugat oleh pihak mana pun. Omong Kosong!
Semua ini bisa terjadi dari klaim seorang Soekarno yang sering diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia atas jasanya terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagai anggota masyarakat Indonesia bagi orang Papua patut diakui Soekarno sebagai pahlawan. Tetapi sebagai bukan bagian dari Indonesia, orang Papua menganggap Soekarno adalah penghianat besar. Kenapa dikatakan demikian, karena buah klaim Soekarno dalam Konferensi Meja Bundar membuat orang dan alam Papua hari ini hancur di operasi demi kepentingan kapitalisme. Soekarno merebut Papua bukan melalui instrumen prosedur yang benar. Melainkan menempuh menjadikan orang Papua sebagai objek demi kepentingan ekonomi semata.
Tanggal 1 Mei 1963 adalah puncaknya Indonesia duduki Papua. Bila dihitung, tentu usia penyerahan dari United Nation Temporary Executive Autority ke tangan kolonial Indonesia mencapai 55 tahun (1963-2017). Pada pasal 13 dari New York Agreement menyatakan bahwa, “pasukan pasukan dari keamanan PBB akan digantikan oleh pasukan Indonesia setelah tahap pertama pemerintahan UNTEA. Kondisi ini secara perlahan, pemerintah Belanda kemudian meninggalkan Papua. Pembentukan negara Papua hanya tinggal kenangan. Tetapi perlu mencatat bahwa 1 Mei bagi Indonesia adalah puncak kemenangan. Namun bagi orang Papua 1 Mei adalah awal malapetaka untuk kepunahan dan kemiskinan.
Kenapa dikatakan 1 Mei adalah awal malapetaka kepunahan dan kemiskinan? Papua pada tahun 1960-an populasi berkisar 800.000 jiwa. Kini menipis drastis, di mana pada tahun 2016 menyebutkan populasi orang asli Papua menurun sampai 3.207.444 jiwa. Informasi lebih jelas tentang kepunahan belakangan ini menjadi sorotan utama sebagaimana diberitakan www.kabarpapua.com. Untuk tingkat kemiskinan berita resmi BPS Papua per Maret 2016 menyebutkan 28,54 persen. Sementara provinsi Papua Barat profil kemiskinan per Maret 2015 tercatat 6,24 persen. Dengan demikian, tingkat kemiskinan kedua Provinsi paling timur Indonesia ini masih berada urutan teratasi. Di mana Papua Barat duduki nomor pertama, sedangkan Papua berada di urutan berikutnya.
* Penulis Adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “ Mengenal Perjuangan Indonesia Merebut Papua ”