Benediktus Goo (facebook.com) |
Tulisan ini persembahkan buat para Bupati Baru di Daerah Meeuwodide yaitu Kabupaten Nabire, Dogiyai, Deiyai dan Paniyai
Oleh: Goo Benediktus
Pengantar
Berbicara
soal kepemimpinan berarti berbicara soal pemimpin dalam suatu organisasi atau
komunitas sehingga kata kepemimpinan sudah tidak asing lagi untuk didengar oleh
semua kalangan baik itu pelajar, mahahiswa, intelektual maupun masyarakat.
sistem kepemimpinan itu sudah melekat pada setiap manusia sejak manusia itu
lahirkan oleh ibunya sebab manusia yang dilahirkan itu hadir dalam suatu
komunitas atau organisasi; umpamanya anak kecil yang baru dilahirkan ibunya itu
hadir dalam komunitas keluarga sehingga otomatis hadir pula dalam kepemimpinan
bapaknya dalam keluarga.
Kepemimpinan
yang sudah melekat pada setiap manusia itu akan dipakai sesuai dengan sistem
kepemimpinan yang diyakini dan disepakti oleh seluruh masyarakat setempat,
misalnya sistem kepemimpinannya Republik, Kerajaan, dll. Kemudian sistem
kepemimpinan ini terus dianut oleh masyarakat setempat dalam komunitas sehingga
sistem kepemimpinan tersebut akan menjadi sistem kepemimpinan suatu suku
bangsa.
Jika
dilihat dari skala Papua Barat (Sorong – Samarai) sistem kepemimpinan yang
dianut masyarakat Papua Barat yang mana ditemukan oleh Antroplog Indonesia
yaitu Koenjaningrat beliau menemukan empat sistem kepemimpinan di Papua Barat
yaitu yang pertama sistem kepemimpinan Pria Berwibawa atau Big Man, yang
kedua adalah sistem kepemimpinan Kerajaan, yang ketiga adalah sistem
kepemimpinan Ondoafi dan yang terakhir adalah sistem kepemimpinan Campuran.
dari keempat sistem kepemimpinan diatas ini beliau juga dipilahkan dengan
penganut-penganutnya di bumi Papua Barat. sistem kepemimpinan Big Man adalah
diperoleh melalui pencapaian, sumber kekuasaan terletak pada kemampuan
individual, kekayaan material, kepandaian berdiplomasi atau pidato, keberanian
memimpin perang, fisik tubuh yang besar, sifat bermurah hati. Suku-suku di
Papua Barat yang menganut sistem kepemimpinan tradisional Big Man atau Pria
Berwibawa adalah Orang Dani, Orang Asmat, Orang Mee, Orang Meibrat, Orang Muyu.
(Mansoben, 1995). kemudian sistem kepemimpinan Kerajaaan adalah pewarisan
berdasarkan senioritas kelahiran dan klen. Weber (1972:126) menyatakan sebagai
birokrasi patrimonial atau birokrasi tradisional. Birokrasi tradisional
terdapat pada cara merekrut orang untuk duduk dalam birokrasi. Biasanya mereka
yang direkrut mempunyai hubungan tertentu dengan penguasa, misalnya hubungan
keluarga atau hubungan pertemanan. Suku-suku yang menganut sistem kepemimpinan
ini adalah Raja Ampat, Semenanjung Onin, Teluk MacCluer (telukBeraur) dan
Kaimana. (Mansoben, 1995: 48). lalu sistem kepemimpinan Ondoafi adalah sistem
ini merupakan pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional.
Wilayah/territorial kekuasaan seseorang pemimpin hanya terbatas pada satu
kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik
saja dan pusat orientasi adalah religi, terdapat di bagian Timur Papua,
Nimboran, Teluk Humbolt, Tabla, Yaona, Skou, Arso, Waris. (Mansoben,
1995:201-220). dan yang terakhir adalah sistem kepemimpinan Campuran; sistem
kepemimpinan ini berbaur dari ketiga sistem kepemimpinan diatas dan wilayah
yang menganut sistem kepemimpinan ini adalah di wilayah Saireri yaitu teluk
cendrawasih.
Berdasarkan
uraian singkat diatas maka dalam tulisan ini penulis hanya menngutarakan pada
runtuhnya sistem kepemimpinan tradisinal suku bangsa Mee yang mana sistem
kepemimpinan suku bangsa Mee adalah Big Man atau Pria Berwibawa atau juga
sistem kepemimpinan TONAWI lalu suku bangsa Mee menjemput sistem kepemimpinan
baru yaitu sistem kepemimpian Ondoafi dan Kerajaan.
Runtuhnya
Sistem Kepemimpinan Pria Berwibawa atau TONAWI Menjemput Sistem Kepemimpinan
Ondoafi dan Kerajaan.
Sistem kepemimpinan suku bangsa Mee di Papua Barat yang menganut sistem
kepemimpinan Pria Berwibawa atau TONAWI dimana didalam sistem kepemimpinan ini
memilih pemimpin secara demokrasi alami artinya bahwa masyarakat akan
mengangkat seorang pemimpin atau TONAWI berdasarkan pengalaman hidup
sehari-hari yang mana masyarakat akan melihat orang yang berkharisma, orang
yang pandai berpidato, mampu menyelesaikan masalah, mempunyai harta banyak,
mempunyai istri banyak, dll. sehingga dalam kepemimpinan suatu komunitas di
suku bangsa Mee juga tidak mengalami masalah dalam kehidupan sehari-harinya.
Namun
demikian, realita hidup masyarakat Mee di Meeuwodide (kabupaten Nabire,
Dogiyai, Deiyai dan Paniyai) telah membuktikan bahwa sistem kepemimpinan
trasional Pria Berwibawa mengalami peralihan menuju sistem kepemimpinan baru
yaitu sistem kepemimpinan Ondoafi dan Kerajaan. Sebab merebut pemimpin dalam
kepemimpinan telah dan sedang melahirkan sistem politik tidak sehat sehingga
persaingan tidak sehat juga lahir ditengah-tengah masyarakat.
Dalam
pertaruhan merebut pemimpin ini berhasil direbut maka birokrasi pemerintahan
dalam kepemimpinannya akan menyususn kabinet dengan dengan konsep siapa
keluarga saya, siapa lawan, siapa teman saya, siapa kerabat saya. Hal ini dapat
kita lihat dalam birokrasi pemerintahan di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) bahwa jika Bupatinya Giyai Maka Kepala Keuangan juga Giyai. jika Kepala
Dinas P dan P itu marga Titowau maka sekretaris Dinas P dan P dan Bendara Dinas
juga marga Titowau atau keluarga sendiri. Contoh kasus seperti ini kita
bisa lihat dengan mata kepala kita sendiri di setiap SKPD Dogiyai, Nabire,
Deiyai dan Paniyai. Hal tersebut inilah yang sistem kepemimpinannya Kerajaan
dan Ondoafi sehingga sistem kepemimpinan suku Mee sedang beralih ke sistem
kepemimpinan Kerajaan dan Ondoafi.
Pemilihan
Umum Kabupaten (Pemilukada) di daerah Meeuwodide (Nabire, Dogiyai, Deiyai dan
Paniyai) ini telah membawa perpecahan tatanan hidup masyarakat Mee di Papua
Barat sehingga selalu menjadi musuh abadi dalam kepemimpinannya yang mana telah
menjadi lawan politik ini menjadi penonton setia dalam kepemimpinannya selaman
lima tahun di birokrasi pemerintahannya.
Menyadari
akan hal itu maka, penulis menyarankan dua hal yaitu yang pertama kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk merombak peraturan perekrutan kabinet dalam
birokrasi pemerintahnya itu memberikan kewewengan penuh kepada Sekretaris
Daerah (Sekda) sehingga tidak ada nuansa politik tidak sehat dalam perekrutan
kaninet. Yang kedua kepada para bupati di Meeuwodide agar lebih sadar tentang
konsep politik yang sebenarnya sehingga mampu memilahkan bahwa semua kegiatan
yang terjadi di lapangan adalah arena politik yang tidak perlu membawa masuk ke
dalam kepemimpinannya. dengan demikian sistem kepemimpinan yang dianut oleh
suku Mee dapat terjaga dan terpelihara dengan baik.
Penulis
adalah masyarakat Dogiyai yang saat ini tinggal dan hidup di kampung
Goodide.
Sumber : tabloidjubi
0 thoughts on “Peralihan Sistem Kepemimpinan Suku Mee di Papua Barat ”