Oleh
: Willem Wandik,S.Sos
Foto : Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Republik Angola, Manual Domingos Vicente di Istana Kepresidenan.(@senator Papua) |
Kabarmapegaa.com.
Presiden
Joko Widodo menandatangani perjanjian pembelian minyak dengan Wakil
Presiden Republik Angola, Manual Domingos Vicente di Istana Kepresidenan.
Pemerintah mengklaim bahwa kerja sama pembelian minyak dengan Anggola
tersebut dapat menghemat belanja negara untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam
negeri sebesar US$ 2,5 Juta per hari, atau kurang lebih menghemat anggaran
sebesar Rp 15 triliun per tahun.
Dilihat
dari segi kepentingan Indonesia, langkah pembelian minyak ke Republik Angola
merupakan langkah strategis dan penting untuk memenuhi ketahanan energi fosil
di Indonesia. Namun dibalik keberhasilan perjanjian kerja sama tersebut,
Republik Angola justru telah menunjukkan diri sebagai negeri yang berhasil
membangun diplomasi perdagangan yang menguntungkan bagi negaranya, dengan
mengingat negara Angola selama ini di landa konflik berdarah yang
berkepanjangan dan berdiri ditengah-tengah kepentingan negeri asing.
Bertahun
tahun lamanya Republik Angola mengalami perang sipil yang mengakibatkan
setidaknya 500.000 anggota milisi dan tentara tewas, serta ratusan ribu jiwa
penduduk sipil yang turut serta menjadi korban jiwa atas konflik berkepanjangan
yang terjadi di negeri berlian dan emas hitam tersebut.
Perang
saudara yang dimulai pada tahun 1975 di Angola, membawa kondisi negara
yang kaya tersebut kedalam kekacauan dan menimbulkan krisis kemanusian
yang sangat serius. Sumber daya alam yang menjadi andalan negeri Angola
seperti berlian dan minyak bumi jatuh ke pasar-pasar gelap dunia, termasuk
sebagian besar pasar berlian masuk ke wilayah Eropa.
Sejak
awal konflik berdarah, Negara Angola berada dalam cengkeraman kepentingan
negara-negara asing seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang saudara
berkepanjangan di negara Angola, terjadi antara dua faksi bersenjata yaitu MPLA
dan FNLA-UNITA. Faksi bersenjata MPLA yang mendirikan Republik Rakyat
Angola merupakan faksi bersenjata ber-ideologi komunis yang di dukung oleh Uni
Soviet. Sedangkan Faksi bersenjata FNLA-UNITA yang bermarkas di Angola Timur
mendirikan pemerintahan yang ber-ideologi demokrasi yang di dukung oleh Amerika
Serikat.
Dalam
perjalanan konflik yang berkepanjangan tersebut, pada akhirnya MPLA berhasil
mengalahkan sepenuhnya perlawanan UNITA ketika pada tahun 2002 pemimpin
UNITA, Jonas Savimbi terbunuh oleh pasukan MPLA. Praktis hingga tahun
2014 saat ini, Republik Angola baru menjalani 12 tahun masa-masa damai tanpa
pergolakan perang saudara.
Dalam
kurun waktu satu dekade, negeri yang dulunya tercabik-cabik oleh perang
saudara, dan di dominasi oleh kepentingan asing yang turut campur dalam
urusan dalam negerinya, kini berhasil membangun kedaulatan dalam negerinya
dengan mendorong sejumlah perjanjian perdagangan dengan negara luar,
termasuk apa yang telah disepakati antara Indonesia dan Republik Angola dalam
pembelian minyak di negaranya.
“Negeri Angola dulu
berdarah, namun kini menjadi negeri terkaya di Afrika. Lain padang lain
ilalang, lain lubuk lain ikannya, Tanah Papua setelah 45 Tahun bergabung dalam
unifikasi bersama Republik Indonesia, kondisinya masih berdarah-darah“
Kembali
ke persoalan dalam negeri, unifikasi Tanah Papua ke pangkuan Republik Indonesia
telah berlangsung selama 45 tahun lamanya. Unifikasi ini ditandai dengan
dilaksanakannya referendum rakyat Papua untuk bergabung kedalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA di tahun 1969 dan hasil Pepera
tersebut di akui oleh sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Namun
setelah unifikasi tersebut, kondisi Tanah Papua hingga hari ini masih
diliputi oleh konflik bersenjata yang belum juga berakhir. Konflik ini
mengalami pasang surut seiring dengan pergantian kebijakan rezim berkuasa di
Jakarta “Pemerintah Pusat”.
Persoalan
mendasar yang dialami oleh rakyat di Tanah Papua adalah permasalahan
kemiskinan, ketertinggalan, keterisolasian, kebodohan, dan penghisapan sumber
daya alam yang sangat luar biasa oleh kepentingan asing.
Persoalan
ini lalu mendorong putera-puteri Tanah Papua yang peduli akan nasib bangsa dan
tanahnya untuk bangkit menyuarakan keadilan dan tuntutan kepada Jakarta. Namun
sikap kritis tersebut justru dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan
negara.
Suara-suara
kritis dari Tanah Papua, yang tidak mendapatkan tempat dalam jalur diplomasi
pemerintahan, terpaksa mencari jalan keluar melalui pergerakan sipil
bersenjata. Kondisi ini semakin menancapkan pengaruh militer di Tanah Papua,
dengan diterapkannya daerah operasi militer di Tanah Papua.
Sejarah
militerisme di Tanah Papua, telah berlangsung sudah sangat lama, terhitung
sejak operasi militer Trikora di kumandangkan oleh Soekarno. Namun di belakang
hari, setelah rezim Soekarno berganti, keberadaan militer di Tanah
Papua justru telah berevolusi menjadi operasi kepentingan asing
“pengamanan bisnis dan unit usaha asing”.
Kekayaan
alam di Tanah Papua pada gilirannya menjadi “Malapetaka dan Bencana” bagi
rakyat sipil di Tanah Papua. Perebutan kepentingan asing dan Pemerintah Pusat
menjadikan masyarakat asli di Tanah Papua hanya sebagai objek rebutan
“kekuasaan”.
Setiap
diplomasi antara kepentingan asing dan Pemerintah Indonesia, selalu mengabaikan
kepentingan masyarakat asli di Tanah Papua, termasuk rencana pembangunan
smeltel PT. Freeport di luar Tanah Papua yang telah masuk dalam agenda
perpanjangan kontrak PT. Freeport beberapa tahun mendatang.
Jika
Pemerintah Pusat, di Jakarta, menyadari sepenuhnya bahwa konflik di Tanah Papua
berakar dari persoalan kesenjangan dan kemiskinan, maka kehadiran beribu-ribu
hingga ratusan ribu anggota militer di Tanah Papua tidaklah diperlukan, kecuali
hanya sebagai penjaga batas wilayah teritorial Republik. Kehadiran militer di
Tanah Papua hanya mempertajam permusuhan antara masyarakat asli di Tanah
Papua dengan Pemerintah Pusat “Jakarta”.
Sadar
dengan potensi Tanah Papua yang sangat kaya, perjuangan untuk menemukan
keadilan bagi rakyat dan Tanah di bumi Papua terus disuarakan oleh segenap
putera-puteri terbaik dari Tanah Papua. Apa yang dibanggakan oleh Republik
Angola yang berhasil melakukan diplomasi perdagangan melalui trading minyak secara langsung ke negara
pembeli potensial seperti Indonesia, adalah cita-cita yang sama ingin
diperjuangkan oleh masyarakat asli di Tanah Papua.
Negeri
Angola yang kaya dengan Berlian dan Minyak Bumi memiliki kemiripan nasib
dengan negeri di Tanah Papua “memiliki emas kuning dan emas hitam”. Namun
cita-cita berdikari dan berdaulat atas kekayaan alam di Tanah sendiri “bebas
dari kepentingan asing”, rasanya masih dihadapkan pada sikap Pemerintah
Pusat yang masih melanggengkan kekuatan militerisme di Tanah Papua.(Albert/KM)
0 thoughts on “Angola Menjual Minyak ke Jokowi, Freeport di Tanah Papua Masih Berdarah”