Foto ist/ Odiyai/KM |
Oleh : Alfridus Dumupa
Opini (KM) : Seseorang atau sekelompok orang yang berkunjung ke rumah orang lain adalah tamu. Sebagai tamu, ketika sampai di rumah orang yang hendak dikunjungi, tentu saja hal pertama yang dilakukan adalah mengetuk pintu dan/atau memberi salam dengan santun. Selanjutnya tamu bisa masuk ke rumah orang yang dikunjungi apabila diizinkan oleh tuan rumah. Ini adalah etika universal, yang berlaku dalam hampir semua kebudayaan di dunia. Hal yang berbeda adalah pencuri. Seseorang atau sekelompok orang yang hendak mencuri di rumah atau tempat orang lain, tentu saja tidak akan memberi tahu pemilik rumah atau tempat tertentu mengenai aksi pencuriannya. Selanjutnya, dengan penuh rahasia pencuri melaksanakan aksinya, bahkan hingga dapat membunuh tuan rumah atau pihak lainnya yang dinilai mengetahui dan/atau menghalangi aksi bejatnya. Dalam aksi pencurian tidak ada nilai etikanya, karena semuanya dilaksakan dengan motif jahat.
Apakah para migran (orang non-asli Papua) yang masuk ke Papua dari luar Papua secara liar dalam jumlah besar setiap hari adalah tamu atau pencuri? Jawabannya tentu beraneka ragam sesuai dengan kapasitas dan kepentingan masing-masing orang. Mayoritas orang asli Papua tentu saja akan mengatakan mereka adalah “pencuri” (bahkan disebut “penjajah”), yang hendak menduduki dan mencuri (menjajah) Papua. Para migran tentu saja tidak akan merasa dan mengakui dirinya sebagai pencuri (penjajah), karena merasa berhak ke Papua dan menetap sebagai bagian dari wilayah NKRI. Pemerintah sudah tentu apatis dengan migrasi ini dan justru menganggapnya sebagai hal yang wajar atau semestinya, bahkan dianggap legal untuk menyebarkan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya di wilayah yang jarang penduduknya seperti Papua.
Tetapi jika melihat proses migrasi dan motif yang tekandung di dalamnya secara obyektif, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai aksi pendudukan dan penjajahan. Para migran berperilaku seperti pencuri. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan.
Pertama, tindakan migrasi dilakukan secara ilegal. Tak ada dasar hukum apapun yang memperbolehkan mereka memasuki dan menduduki Papua, aturan perundang-undangan yang mengatur tentang kependudukan (misalnya Perdasi tentang Kependudukan) dilanggar, bahkan urusan administrasi kependudukan juga diabaikan begitu saja. Kedua, arus migrasi dan jumlah migran tak terkendalikan. Migrasi terjadi setiap hari, yang kedatangannya melalui kapal laut dan pesawat udara, yang jumlahnya diperkirakan ribuan bahkan ratusan ribu orang setiap hari. Ketiga, pemerintah sangat apatis terhadap proses migrasi liar dan besar-besaran ini. Wilayah Papua dengan status khusus dalam politik dan pemerintahan di Indonesia justru dibaikan, tidak ada kebijakan dan tindakan afirmasi untuk meproteksi orang asli Papua, termasuk dari ancama pendudukan dan penjajahan wilayah Papua oleh para migran. Keempat, besarnya arus migrasi para migran dan tindakan apatis pemerintah justru mengindikasikan kuatnya motif politik dan ekonomi untuk kepentingan mereka semata. Pemerintah mempunyai kepentingan mempertahankan wilayah Papua dalam NKRI, menjadikan wilayah Papua sebagai “lumbung ekonomi” Indonesia, dan menjadikan wilayah Papua sebagai wilayah tujuan penyebaran penduduk. Sedangkan para migran sendiri mempunyai kepentingan “mencari makan” dan “memperkaya diri” di Papua, karena di tempat asalnya cenderung miskin (bahkan mayoritasnya “miskin absolut”). Kelima, para migran dan pemerintah mengabaikan etika, moral, dan proses pemerintahan dan pembangunan yang baik dan benar. Mereka “tidak mampu” untuk menilai kebaikan dan kebenaran tindakannya. Mereka tidak mempunyai belas kasihan, tidak mempunyai kemauan baik untuk melindungi orang asli Papua sebagai warga negara minoritas dalam NKRI, dan tidak melaksanakan ketentuan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Sekarang, masihkah kita mau menyangkal kejahatan migrasi liar dan besar-besaran, yang para migrannya bersama pemerintah bersama-sama sedang menduduki dan menjajah Papua ini ?
Opini (KM) : Seseorang atau sekelompok orang yang berkunjung ke rumah orang lain adalah tamu. Sebagai tamu, ketika sampai di rumah orang yang hendak dikunjungi, tentu saja hal pertama yang dilakukan adalah mengetuk pintu dan/atau memberi salam dengan santun. Selanjutnya tamu bisa masuk ke rumah orang yang dikunjungi apabila diizinkan oleh tuan rumah. Ini adalah etika universal, yang berlaku dalam hampir semua kebudayaan di dunia. Hal yang berbeda adalah pencuri. Seseorang atau sekelompok orang yang hendak mencuri di rumah atau tempat orang lain, tentu saja tidak akan memberi tahu pemilik rumah atau tempat tertentu mengenai aksi pencuriannya. Selanjutnya, dengan penuh rahasia pencuri melaksanakan aksinya, bahkan hingga dapat membunuh tuan rumah atau pihak lainnya yang dinilai mengetahui dan/atau menghalangi aksi bejatnya. Dalam aksi pencurian tidak ada nilai etikanya, karena semuanya dilaksakan dengan motif jahat.
Apakah para migran (orang non-asli Papua) yang masuk ke Papua dari luar Papua secara liar dalam jumlah besar setiap hari adalah tamu atau pencuri? Jawabannya tentu beraneka ragam sesuai dengan kapasitas dan kepentingan masing-masing orang. Mayoritas orang asli Papua tentu saja akan mengatakan mereka adalah “pencuri” (bahkan disebut “penjajah”), yang hendak menduduki dan mencuri (menjajah) Papua. Para migran tentu saja tidak akan merasa dan mengakui dirinya sebagai pencuri (penjajah), karena merasa berhak ke Papua dan menetap sebagai bagian dari wilayah NKRI. Pemerintah sudah tentu apatis dengan migrasi ini dan justru menganggapnya sebagai hal yang wajar atau semestinya, bahkan dianggap legal untuk menyebarkan penduduk dari wilayah yang padat penduduknya di wilayah yang jarang penduduknya seperti Papua.
Tetapi jika melihat proses migrasi dan motif yang tekandung di dalamnya secara obyektif, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai aksi pendudukan dan penjajahan. Para migran berperilaku seperti pencuri. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan.
Pertama, tindakan migrasi dilakukan secara ilegal. Tak ada dasar hukum apapun yang memperbolehkan mereka memasuki dan menduduki Papua, aturan perundang-undangan yang mengatur tentang kependudukan (misalnya Perdasi tentang Kependudukan) dilanggar, bahkan urusan administrasi kependudukan juga diabaikan begitu saja. Kedua, arus migrasi dan jumlah migran tak terkendalikan. Migrasi terjadi setiap hari, yang kedatangannya melalui kapal laut dan pesawat udara, yang jumlahnya diperkirakan ribuan bahkan ratusan ribu orang setiap hari. Ketiga, pemerintah sangat apatis terhadap proses migrasi liar dan besar-besaran ini. Wilayah Papua dengan status khusus dalam politik dan pemerintahan di Indonesia justru dibaikan, tidak ada kebijakan dan tindakan afirmasi untuk meproteksi orang asli Papua, termasuk dari ancama pendudukan dan penjajahan wilayah Papua oleh para migran. Keempat, besarnya arus migrasi para migran dan tindakan apatis pemerintah justru mengindikasikan kuatnya motif politik dan ekonomi untuk kepentingan mereka semata. Pemerintah mempunyai kepentingan mempertahankan wilayah Papua dalam NKRI, menjadikan wilayah Papua sebagai “lumbung ekonomi” Indonesia, dan menjadikan wilayah Papua sebagai wilayah tujuan penyebaran penduduk. Sedangkan para migran sendiri mempunyai kepentingan “mencari makan” dan “memperkaya diri” di Papua, karena di tempat asalnya cenderung miskin (bahkan mayoritasnya “miskin absolut”). Kelima, para migran dan pemerintah mengabaikan etika, moral, dan proses pemerintahan dan pembangunan yang baik dan benar. Mereka “tidak mampu” untuk menilai kebaikan dan kebenaran tindakannya. Mereka tidak mempunyai belas kasihan, tidak mempunyai kemauan baik untuk melindungi orang asli Papua sebagai warga negara minoritas dalam NKRI, dan tidak melaksanakan ketentuan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Sekarang, masihkah kita mau menyangkal kejahatan migrasi liar dan besar-besaran, yang para migrannya bersama pemerintah bersama-sama sedang menduduki dan menjajah Papua ini ?
Penulis adala Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta.
Sumber : Catatan Pridadi Facebook Dumupa Odiyaipa
0 thoughts on “TAMU ATAU PENCURI ?”