BREAKING NEWS
Search

Mekanisme Pasar Jasa Konstruksi: Pulau Jawa Fokus Pada Peningkatan Kenyamanan, Tanah Papua Masih Terisolasi

Masalah jaskon Papua/Senator 


Tanah Papua,(KM) – Perbedaan persoalan kontekstual yang terjadi antara Pulau Jawa dengan Tanah Papua, dalam menghadapi persoalan Jasa Konstruksi, mengharuskan pendekatan yang berbeda dalam menetapkan definisi-definisi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (Jaskon). Diharapkan rancangan undang-undang Jasa Konstruksi (Jaskon) tidak terjebak pada pembahasan aspek keteknikan semata dalam perumusannya, dan terkesan hanya mengakomodir kepentingan para pelaku usaha dalam sektor Jasa Konstruksi (Jaskon) serta melupakan kewajiban negara dalam menyediakan infrastruktur dasar bagi kepentingan public service.

Pemerintah Pusat juga diharapkan tidak hanya menargetkan pengalokasian anggaran dalam sektor Jasa Konstruksi (Jaskon) yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip pasar, dengan kata lain setiap spending (belanja) Pemerintah dalam sektor Jasa Konstruksi (Jaskon) wajib mengikuti kaidah-kaidah pasar, yang hanya mengkalkulasi belanja di sektor Jasa Konstruksi (Jaskon) sebagai megaproyek yang wajib menghasilkan profit (keuntungan). Tentunya pandangan yang mengimani mekanisme pasar dalam Jasa Konstruksi (Jaskon) menjadi penyebab utama tidak tercapainya tujuan pemerataan pembangunan di republik ini.

Kaidah-kaidah pasar yang telah menjadi ruh dalam skema kebijakan Pemerintah, yang diperkuat oleh “iman” yang diyakini secara defacto oleh sektor keuangan nasional yang wajib mengikuti “mekanisme pasar” dalam sektor Jasa Konstruksi (Jaskon), telah menyerahkan sepenuhnya berbagai obligation (tanggung-jawab) Pemerintah/Negara perihal pemenuhan kebutuhan rakyat (public service) kepada institusi baru yang bernama “individu negara/ kapitalisasi negara”. Pemerintah/negara tidak lagi menjadi institusi publik yang berkewajiban melindungi segala kepentingan rakyat, tetapi telah bermetamorfosis menjadi “institusi pencari keuntungan”.

Dalam berbagai diskusi perihal rapat kerja dengan Pemerintah, berbagai pernyataan yang mendiskreditkan pemberian anggaran yang besar ke Tanah Papua, dipandang oleh para elit-elit Jakarta sebagai sebuah pemborosan anggaran. Tidak sedikit para politisi senayan yang menyatakan keberatannya dengan program-program afirmasi yang diberikan ke Tanah Papua. Mereka beranggapan, daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk terbesar, sepertihalnya Pulau Jawa pantas mendapatkan alokasi anggaran yang besar dalam sektor infrastruktur karena memiliki jumlah penduduk terbesar, dan menguntungkan dari segi pengembangan perekonomian (profitable). Sedangkan di Tanah Papua, tidak perlu diberikan alokasi anggaran yang besar, sebab jumlah penduduknya terbilang sedikit. Inilah wajah kebijakan negara yang tergambar dalam proses pengambilan keputusan, yang selama ini tidak pernah ditampilkan secara terbuka dihadapan publik nasional.

Para elit-elit nasional yang menganut paham “mekanisme pasar/profitable” telah melupakan ajaran konstitusi negara (UUD 1945) yang menempatkan kewajiban negara untuk mendistribusikan keadilan pembangunan bagi seluruh wilayah nusantara. Hubungan Pemerintah Pusat dan rakyat di daerah-daerah bukanlah hubungan yang mengikuti kaidah-kaidah pasar, seolah-olah negara berperan sebagai produsen dan rakyat di daerah-daerah (sepertihalnya Tanah Papua) dipandang sebagai konsumen, dimana setiap spending (belanja) negara harus menghasilkan keuntungan (profitable).

Jika terpaksa harus menghitung-hitung kontribusi terhadap negara, dibandingkan sejumlah anggaran yang katanya besar terdistribusi ke Tanah Papua, seharusnya para elit-elit Jakarta harus secara terbuka dan transparan menghitung-hitung kontribusi Tanah Papua terhadap perekonomian nasional. Hingga hari ini, mayoritas kekayaan resources (sumber daya alam) di Tanah Papua dimonopoli oleh kekuasaan Jakarta. Pemberdayaan sumber daya keuangan daerah (fiskal daerah) yang bersumber pada kekuatan perekonomian di Tanah Papua sendiri, tidak bisa dilakukan oleh masyarakat di Tanah Papua, karena seluruh resources tersebut di monopoli oleh kekuasaan Jakarta. Bahkan kepentingan smelter PT. Freeport Indonesia-pun berusaha untuk dibajak demi kepentingan daerah lain.

Penerapan Jasa Konstruksi (Jaskon) yang selama ini diserahkan pada mekanisme pasar, telah melahirkan kesenjangan yang sangat lebar dan tajam, antara wajah pembangunan yang tampak di kawasan Paling Timur Nusantara (Tanah Papua) dengan pencapaian pembangunan yang sangat luar biasa terjadi di Pulau Jawa. Kesenjangan tersebut seperti tidak bisa diuraikan (dipecahkan) dengan berbagai regulasi saat ini, sebab sumber masalah terletak pada cara pandang Negara/Pemerintah menerapkan mekanisme pasar dalam pembangunan Jasa Konstruksi di seluruh nusantara. Implikasinya terlihat sangat signifikan, klaim dana yang besar diturunkan ke Tanah Papua (padahal tidak sebesar yang di dengung-dengungkan selama ini) dalam realitasnya, pemecahan persoalan infrastruktur masih belum terselesaikan hingga saat ini di kawasan pegunungan tengah-Tanah Papua.

Sehingga sebagai representasi rakyat di Tanah Papua, saya menolak setiap penyamaan definisi-definisi, penyamaan pendekatan, penyamaan cara pandang, yang ditujukan dalam pemecahan persoalan Jasa Konstruksi (Jaskon) antara yang terjadi di Tanah Papua dengan persoalan Jasa Konstruksi (Jaskon) yang terdapat di Pulau Jawa. Pendekatan mekanisme pasar dalam persoalan Jasa Konstruksi (Jaskon) di sektor Infrastruktur dasar yang dihadapi di Pulau Jawa tidak bisa diterapkan pada persoalan Jasa Konstruksi (Jaskon) di Tanah Papua.

Dari segi kepentingan pembangunan Jasa Konstruksi (Jaskon) di Pulau Jawa, dimana secara umum persoalan infrastruktur dasar di Pulau Jawa telah terbangun dengan baik. Kendala yang dihadapi oleh daerah-daerah Jawa, adalah ledakan penduduk yang sangat besar menjadikan infrastruktur dasar yang terbangun terus mengalami penyesuaiaan kapasitas. Bahkan disejumlah besar daerah-daerah di Pulau Jawa, pembangunan infrastruktur telah fokus pada peningkatan fungsi layanan (optimalisasi layanan infrastruktur) yang mengarah pada pencapaian kenyamanan dan kepuasaan masyarakat pengguna fasilitas publik.

Sedangkan konteks yang berbeda terjadi di negeri-negeri paling timur nusantara. Persoalan Jasa Konstruksi di sektor infrastruktur dasar di Tanah Papua masih mengalami defisit infrastruktur dasar yang sangat parah. Sebagian besar daerah-daerah di Tanah Papua, terutama Kabupaten-Kabupaten di kawasan pegunungan tengah Papua mengalami keterisolasian. Satu-satunya akses terhadap daerah-daerah tersebut hanya dapat dicapai oleh transportasi udara dengan cost transportasi yang terbilang sangat mahal.

Secara umum, kebutuhan Infrastruktur dasar di Tanah Papua mengalami masalah pada “ketiadaan infrastruktur” yang berdampak pada terisolasinya sejumlah kawasan di Tanah Papua, dengan implikasi terhadap perekonomian yang berbiaya mahal. Disisi lain, persoalan infrastruktur dasar di Pulau Jawa “terus mengalami penyesuaian kapasitas infrastruktur dasar” yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan infrastruktur dasar yang telah tersedia, dan untuk menghadirkan kenyamanan dalam penyediaan layanan bagi kepentingan pelayanan publik.

Sehingga sangat tidak adil rasanya, jika demi mencapai kenikmatan dalam pelayanan infrastruktur dasar disebagian besar daerah-daerah di pulau Jawa, sejumlah elit-elit Jakarta ingin memangkas alokasi anggaran yang ditujukan untuk memecahkan persoalan infrastruktur dasar (keterisolasian dan ketiadaan infrastruktur) yang terjadi di Tanah Papua.(Mako/KM).

Penulis adalah Mantan MPR Periode 2009-2014



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Mekanisme Pasar Jasa Konstruksi: Pulau Jawa Fokus Pada Peningkatan Kenyamanan, Tanah Papua Masih Terisolasi