Oleh : Willem Wandik, S.Sos
Tanah Papua,(KM) – Pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia telah memasuki tahapan penting. Terdapat beberapa mekanisme yang telah masuk dalam tahapan pengambilan keputusan di tingkat wewenang Kementerian ESDM dan realisasi keputusan-keputusan Pemerintah terhadap masa depan pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua.
Menteri ESDM telah menetapkan status perizinan pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus melalui kesepakatan yang dilakukan secara bersama-sama antara otoritas Kementerian ESDM dengan PT. Freeport indonesia. Terkait penetapan izin IUPK tersebut, terlihat beberapa skenario penting yang dengan sengaja dipaksakan untuk menghapus kewenangan Pemerintah Daerah di Tanah Papua (terutama Pemda Provinsi Papua) untuk mengelola kekayaan sumber daya pertambangan yang menjadi hak rakyat di Tanah Papua (sebelumnya telah diatur dalam uu minerba no.4 tahun 2009, namun saat ini telah di amputasi dengan mengembalikan monopoli wewenang pusat).
Berbagai regulasi yang diterbitkan kedalam bentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di bidang pertambangan menjadi alat legitimasi penguasa Jakarta dan boneka Jakarta “Menteri ESDM” untuk memuluskan persekongkolan menghapus hak-hak rakyat di Tanah Papua untuk ikut terlibat dalam menentukan masa depan pengelolaan sumber daya alam di tanahnya sendiri, terutama masa depan pengelolaan pertambangan yang dikuasai oleh PT. Freeport Indonesia.
Penetapan IUPK atas pengelolaan perizinan pertambangan PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua, telah memperkuat status pertambangan di daerah ini menjadi “wilayah pencadangan negara/ WPN”, dengan kata lain segala proses perizinan yang digolongkan kedalam “wilayah pencadangan negara/ WPN” telah menghapus kewenangan Daerah (Pemerintah Daerah di Tanah Papua) untuk menentukan pengelolaan perizinan wilayah pertambangan di daerahnya sendiri. Para penguasa Jakarta telah mengatur sedemikian rupa regulasi nasional untuk memaksakan kehendak yang bertentangan dengan keinginan rakyat di Tanah Papua perihal pengelolaan sumber daya pertambangan yang dikuasai PT. Freeport Indonesia.
Inilah alasannya, mengapa suara-suara kritis yang berasal dari Gubernur, Bupati, DPRP, DPRD, MRP, serta perwakilan DPR RI dari Tanah Papua, tidak pernah didengarkan oleh Pemerintah Pusat. Mereka terus saja melanjutkan skenario untuk membagi-bagi kue kepentingan di wilayah pertambangan yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia, tanpa perduli dengan protes seluruh jajaran Pemerintah Daerah, Majelis Rakyat Papua, beserta perwakilan rakyat di Tanah Papua yang duduk di parlemen pusat.
Bukankah Pemerintah Daerah di Tanah Papua adalah bagian dari representasi Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan untuk memperhatikan aspirasi rakyat di daerahnya masing-masing. Sehingga segala aspirasi rakyat di Tanah Papua yang diwakilkan melalui fungsi Pemerintahan Daerah adalah bagian dari mekanisme yang secara sah dipandang sebagai representasi dari kehendak negara. Negara tidaklah harus didefinisikan sebagai “milik penguasa Jakarta semata”, tetapi negara sejatinya merupakan representasi dari “rakyat di Tanah Papua” yang diwujudkan melalui wakil pemerintah pusat di daerah (Pemerintah Daerah di Tanah Papua).
Tanah Papua bukanlah dalam status sebagai “tanah koloni kekuasaan pusat”, yang dengan kehendak para pemilik koloni tersebut, dapat berbuat semaunya dengan menetapkan kebijakan-kebijakan/keputusan-keputusan yang dipandang menguntungkan menurut versi penguasa pusat di Jakarta. Rakyat dan Pemerintah Daerah di Tanah Papua adalah bagian dari republik ini yang wajib didengarkan aspirasinya, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan/ kebijakan yang akan berdampak secara luas bagi masa depan suatu daerah.
Polemik kebijakan Kementerian ESDM tidak hanya sampai pada penetapan IUPK pertambangan PT. Freeport Indonesia semata, tetapi juga penetapan skema hilirisasi pertambangan dengan kewajiban pembangunan smelter yang akan tetap dilaksanakan di daerah Gresik, Jawa Timur. Terkait rencana pembangunan smelter di daerah gresik tersebut, pihak PT. Freeport Indonesia telah memastikan akan menyuntikkan dana sebesar US$ 2,3 miliar. Sedangkan rencana skema pembangunan smelter di Tanah Papua, seperti yang telah usulkan melalui negosiasi alot bersama Pemerintah Daerah di Tanah Papua, belum mendapatkan keputusan pasti dari otoritas Kementerian ESDM maupun PT. Freeport Indonesia.
Selain itu, keinginan luhur segenap rakyat di Tanah Papua melalui Pemerintah Daerah, menghendaki adanya kemandirian pengelolaan keuangan daerah yang tidak harus selalu tergantung pada sumber pendanaan pusat. Kemandirian fiskal daerah hanya dapat dicapai melalui optimalisasi peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya pertambangan di daerah. Dalam hal ini, kesempatan untuk berpartisipasi dalam membeli sebagian saham “skema divestasi saham PT. Freeport Indonesia” oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua harus diberikan ruang yang sebesar-besarnya oleh Pemerintah Pusat. Stereotip yang selama ini melekat pada daerah di Tanah Papua sebagai daerah yang belum mampu mengelola sumber pendapatan daerah, lebih disebabkan oleh monopoli Jakarta terhadap sumber daya strategis di Tanah Papua. Sudah saatnya Tanah Papua diberikan kesempatan untuk memiliki sebagian saham PT. Freeport Indonesia, jika republik ini benar-benar memandang Tanah Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia (bukan dipandang sebagai daerah koloni/ warga kelas tiga).
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 77 Tahun 2014 terdapat klausul yang menyebutkan PT. Freeport Indonesia sebagai pemegang izin pengelolaan pertambangan memiliki kewajiban untuk melakukan penawaran penjualan saham (divestasi saham) milik mereka, salah satunya kepada Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan PP tersebut, para pembuat kebijakan nasional telah menskenariokan prioritas untuk memperoleh penawaran divestasi saham kepada Pemerintah Pusat terlebih dahulu dibandingkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda mendapatkan prioritas kedua), lalu disusul BUMN/BUMD dan terakhir oleh Badan Usaha Swasta Nasional, namun urgensi untuk menciptakan kemandirian fiskal dalam pengelolaan sumber pendapatan daerah di Tanah Papua mengharuskan prioritas divestasi saham tersebut menjadi agenda utama Pemerintah Daerah di Tanah Papua.
Sejarah divestasi saham PT. Freeport Indonesia pernah dilakukan sebelumnya, dimana Pemerintah Indonesia memberikan hak pembelian saham tersebut kepada perusahaan swasta nasional. Melalui unit usaha kelompok Bakrie (PT Bakrie Copperindo Investments Co./PT. Indocopper Investama) melakukan pembelian saham PT. Freeport Indonesia sebesar 9,36% dieksekusi dengan kisaran harga US$ 213 juta. Pembelian saham PT. Freeport Indonesia oleh kelompok usaha Bakrie dilakukan dengan perjanjian pembayaran DP sebesar US$ 40 juta di awal dan sisanya dibayarkan melalui mekanisme pembagian dividen serta persyaratan tambahan melalui perjanjian PT. Freeport dapat membeli kembali saham yang telah dijual ke kelompok usaha Bakrie apabila dikemudian hari akan menjualnya kembali.
Saat penjualan saham tersebut (pada tahun 1991), komposisi kepemilikan saham di PT. Freeport Indonesia terdiri dari saham milik Freeport McMoRan Inc. (81,28 persen), saham milik pemerintah Indonesia (9,36 persen) dan saham milik PT. Indocopper Investama (9,36 persen). Namun dalam perjalanannya, pihak Freeport McMoRan Inc. membeli kembali 49 persen saham yang dimiliki oleh PT. Indocopper Investama karena tergiur dengan tawaran pihak Freeport McMoRan Inc., dan menumpuknya utang ke pihak Freeport McMoRan Inc., dengan pembelian harga saham sebesar 4 kali lipat dibandingkan penjualan awal.
Lalu menjelang akhir Tahun 1992 (11 Desember 1992) PT. Indocopper Investama melakukan penawaran saham di Bursa Efek Surabaya dengan komposisi saham sebesar 0,52 persen di tawarkan kepada publik. Lalu 6 tahun setelah pembelian saham PT. Freeport Indonesia (tepatnya Tahun 1996), PT. Indocopper Investama menjual sisa sahamnya ke perusahaan swasta nasional lainnya yaitu PT. Nusamba Mineral Industri dengan nilai US$ 315 juta, dengan pembayaran DP diawal sebesar US$ 61 juta (dengan skema pembayaran sisa utang yang berasal dari dividen dan insentif utang yang diberikan oleh pemilik saham mayoritas di PT. Freeport Indonesia yaitu Freeport McMoRan Inc.). Sehingga komposisi kepemilikan saham PT. Indocopper Investama saat itu dimiliki oleh Freeport McMoRan Inc., sebesar 49 persen, PT. Nusamba Mineral Industri sebesar 50,48 persen, dan milik Publik sebesar 0,52 persen (melalui penawaran di Bursa Efek Surabaya).
Lalu di Tahun 2002 (setelah 12 tahun divestasi diberikan kepada PT. Indocopper Investama) jumlah saham yang dikuasai secara mayoritas oleh PT. Nusamba Mineral Industri yang mencapai 50,48 persen dibeli seluruhnya oleh pihak Freeport McMoRan Inc., dan status PT. Indocopper Investama dikembalikan statusnya menjadi perusahaan tertutup kembali (go private/ tidak ada penawaran saham kepada publik di bursa efek yang sebelumnya mencapai 0,52 persen). Dan menggenapi 14 tahun (di Tahun 2004) masa divestasi saham yang pertama kali dilakukan sejak tahun 1991 dari pihak Freeport McMoRan Inc., kepada PT. Indocopper Investama, untuk terakhir kalinya PT. Indocopper Investama berdiri dengan bendara sendiri, dengan melakukan merger kembali dengan pemegang saham mayoritas yaitu Freeport McMoRan Inc. Dengan demikian komposisi kepemilikan saham PT. Freeport Indonesia hingga menjelang tahun 2015 ini terdiri dari saham milik Freeport McMoRan Inc., sebesar 90,64 persen dan sisanya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia sebesar 9,36 persen.
Persoalan PT. Freeport Indonesia kembali mengemuka di Tahun 2015 ini setelah serangkaian memorandum of understanding yang mulai dibicarakan sejak 2014 silam, terutama dengan terbitnya PP nomor 7 Tahun 2014 yang memuat klausul kewajiban divestasi saham secara eksplisit bagi para pemegang izin pertambangan di wilayah hukum Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan PP tersebut dijadwalkan kewajiban pelepasan saham (divestasi saham) PT. Freeport Indonesia akan jatuh tempo paling lambat menjelang 14 Oktober Tahun 2015 mendatang. Pada tahap ini, kewajiban PT. Freeport Indonesia untuk melepaskan sebagian sahamnya ditetapkan maksimal 20 persen. Sehingga berdasarkan komposisi kepemilikan saham oleh Pemerintah saat ini yang hanya mencapai 9,36 persen, maka menjelang 14 Oktober Tahun 2015 mendatang, pihak Freeport harus melepaskan kepemilikan sahamnya sebesar 10,64 persen. Tidak hanya sampai disitu saja, kewajiban divestasi tersebut akan berlanjut hingga bulan Oktober 2019 mendatang hingga mencapai total keseluruhan divestasi mencapai 30%.
Melihat historis divestasi saham yang pernah dilakukan pada tahun 1991, dimana pelepasan saham PT. Freeport Indonesia sebesar 9,36% diberikan kepada PT. Indocopper Investama sebagai perusahaan swasta nasional, justru dimanfaatkan oleh jaringan pengusaha tersebut sebagai ajang mencari keuntungan korporasi. Divestasi saham yang diberikan kepada pihak swasta pada akhirnya kembali menjadi milik Freeport McMoRan Inc., karena tergiur keuntungan yang berlipat ganda, yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh rakyat dan bangsa Papua diatas tanahnya sendiri. Oleh karena itu, segala skenario apapun yang menggiring divestasi untuk dimiliki oleh Perusahaan swasta nasional maupun oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekalipun, akan menjadi public enemy bagi kepentingan rakyat di Tanah Papua. Sebagai bagian dari rakyat yang hidup di pedalaman Papua, tidak ada harapan lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersama republik ini, selain mengharapkan pengakuan negara terhadap keberadaan Tanah Papua sebagai sebuah entitas anak bangsa yang pantas “memiliki kesempatan” untuk membangun tanah tumpah darah, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah di Tanah Papua.
Terdapat banyak sektor infrastruktur dasar yang masih belum terbangun di Tanah Papua, dengan cost pembangunan yang sangat besar, sebagai akibat tingginya inflasi di Tanah Papua, yang merupakan dampak dari sistem monopoli perekonomian yang selama ini tersentralisasi di Pulau Jawa. Tidak dipungkiri faktor-faktor tidak terbangunnya infrastrukur dasar dan basis-basis industri di Tanah Papua menjadi penyebab utama lambannya restorasi pembangunan di segala bidang di Tanah Papua. Jangan berharap kondisi yang sama dapat diterapkan seperti halnya di pulau jawa, dimana ketersediaan infrastruktur dasar dan banyaknya industrialisasi menjadikan kapasitas pembangunan di daerah-daerah pulau jawa tidak membutuhkan proses yang lama dibandingkan pembangunan di Tanah Papua yang harus terkendala dengan keterisolasian (ketiadaan akses infrastruktur) sampai kewilayah-wilayah pegunungan tengah, yang didiami oleh mayoritas penduduk asli Papua.
Oleh karena itu, penguasa Jakarta tidak boleh mempertahankan cara pandang terhadap Tanah Papua sebagai sebuah “daerah koloni” yang terus menerus harus dikontrol dan dikendalilan, seolah-olah Penguasa Pusat selalu merasa “merekalah yang pantas” menentukan mekanisme apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan di Tanah Papua. Penguasa Pusat selalu merasa lebih berhak menentukan kehendak rakyat di Tanah Papua, padahal sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, segala keputusan Penguasa Pusat harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada rakyat di daerah sebagai pemilik dan pewaris sah Tanah Papua.
Atas nama tujuan bernegara untuk mencapai tujuan pembangunan di segala bidang di Tanah Papua, maka wajib rasanya jika pengelolaan sumber daya pertambangan di Tanah Papua agar memperhatikan aspirasi yang secara kolektif disuarakan oleh rakyat dan Pemerintah Daerah. Negara bukanlah milik para elit yang berwenang secara pribadi memaksakan kehendak bernegara kepada rakyat di daerah yang justru lebih membutuhkan penguatan pembangunan. Bukankah desentralisasi kewenangan pemerintahan daerah diberikan oleh pusat untuk menciptakan kemandirian bagi daerah-daerah sepertihalnya Tanah Papua dalam mengelola jalannya fungsi pemerintahan dan pencapaian tujuan pembangunan di daerah?
Inilah saatnya Pemerintah Pusat tidak egois memelihara praktek monopoli terhadap sumber daya keuangan yang seharusnya dapat dikelola oleh daerah, dengan memberikan hak pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia kepada Tanah Papua yang meliputi 2 aspek mendasar: yaitu menetapkan prioritas pembangunan smelter di Tanah Papua (penguatan basis industri di daerah penghasil) dan menetapkan prioritas penjualan saham kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua (skema divestasi saham).
Penulis adalah Mantan MPR Periode 2009-2014
0 thoughts on “Persoalan Saham dan Smelter Freeport: Menteri ESDM Menipu Rakyat dan Bangsa Papua”