Foto : Dok.Prib Musa Boma/Ist |
Oleh : Mudes Musa Boma
Aktivis,(KM)--Beberapa waktu lalu Penulis berada di Kabupaten Dogiyai, Ketika itu, penulis melihat ada banyak masalah penderitaan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Tetapi di sisi lain, Penulis juga menilai khususnya kepada pemerintah daerah bersenang-senang atas kelimpahannya. Sehingga penulis simpulkan bahwa rakyatnya menderita atas kehadiran dana Otonomi Khusus (Otsus) sementara pemerintah bersikap senang melihat masyarakatnya menderita.
Akan tetapi ada sebagaian warga Dogiyai merasa senang atas pemberian Otonomi Khusus (Otsus). ada pula masyarakat yang merasa tidak adil dan tidak benar terhadap anggaran dana Otsuan masyarakat tidak, karena ada banyak penderitaan yang masyarakat alami saat ini. Bagaimana mereka bisa mengetahui hal itu ?
Dana Otsus yang benar-benar rasakan adalah Pemerintah kabupaten Dogiyai yang sangat senang dan gembira menyambutnya Otsus ini. Dengan alasan bahwa mereka bisa makan dan minum dari Otsus ini. Mereka lebih senang-senang dengan adanya dana Otsus itu. Belum lagi persoalan aparat keamanan yang semakin menindas dan menakuti rakyat kecil di kabupaten Dogiyai sejak kabupaten sampai saat ini tidak pernah alfa menakut-nakuti rakyat.
Ketika melihat dan mendengarkan berbagai cerita dan diskusi dari rakyat pada saya, ternyata banyak persoalan akibat ulah aparat keamanan (Polri/Brimob, TNI dan jajaran aparat keamanan lainnya). Terutama Brimob. Mereka menakut-nakuti warga dengan senjata.
Di lain kesempatan, masyarakat juga menceritakan banyak persoalan mengenai sarana dan prasarana pendidikan, keshatan, ekonomi, dan infrasturuktur di kota ini. Keluhan masyarakat itu memperlihatkan bahwa mereka merasa disudutkan dari pelayanan pemerintah yang seharusnya dibuat sesegera mungkin. Tetapi pemerintah daerah tidak melihat suasana masyarakat yang sebenarnya. Mungkin pemerintah daerah ini, buta melihat dan tuli mendengarkannya, sehingga pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak terlaksana mulai dari pusat kota kabupaten sampai distrik dan kampung-kampung.
Minimnya Sarana dan Prasarana
Ketika tiba di kota Dogiyai, saya melihat suasana yang damai dan indah. Bagaikan surga kedua. Apalagi udara yang sejuk dan dingin, segar, yang memberi semangat bagi siapa saja yang berada di kota ini. Mungkin hanya bagi sebagian kecil orang saja, tidak suka udara yang dingin dan curah hujan ini. Saya senang ada di tengah masyarakat yang sederhana dan tulus hatinya.
Karena faktor-faktor yang tidak saya ketahui, mungkin ketidaksenangan terhadap masyarakat dan kurangnya komitmen untuk merubah pendidikan dan kesehatan masyarakat, saya melihat, masyarakat merasakan tidak terlayani oleh pihak pemerintah daerah di kota ini. Apalagi di daerah-daerah sepertinya Iyaro, Ideduwa, Wotai dan lain lain.
Ada rumah sakit umum dipusat kabupaten saja dengan fasilitas yang sangat kurang akibat dari pada itu, ketika masyarakat mengalami kesakitan, mereka pergi berobat ke kabupaten lain sepertinya Deyai, Paniai dan kabupaten Nabire. Ini sungguh masalah serius.
Pasien yang sedang rawat ketika ingin membuang air besar atau kecil menahan saja di tempat tidur ruang semantara. Rumah sakit ini kurang memiliki tenaga medis, sehingga pelayanan publik kurang maksimal. Ini karena sarana dan prasarana rumah sakit tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat, sehingga para petugas medis juga tidak betah bertahan untuk menjalankan tugas pelayanan kesehatan masyarakatnya.
Saya menilai bahwa Bupati, wakil Bupati, dan DPRD jalan masing-masing karena pemerintah daerah tidak saling ketemu dan bertolak belakang dengan program yang dibuat oleh Kepala Dinas Kesehatan, mungkin begitu juga kepala dinas lain di kabupaten ini. Saya memang tidak memahami. Minta maaf.
Kualitas pendidikan sudah pasti merosot di daerah ini. Mengapa? Ini alasannya. Guru-guru yang lama dilantik menjadi pejabat di kantor-kantor, sehingga tenaga pengajar sangat minim. Ada banyak sekolah yang gurunya tidak ada, walau ada gedung sekolah.
Pada SMP Negeri satu Mapia di Bomomani dan SMA Negeri satu Dogiyai yang tidak bisa membaca dan menulis berjumlah sebanyak 108 orang ini bukti maka benar Pendidikan Kabupaten Dogiyai sudah mati benar.
Saya melihat di kampung-kampung, berdiri gedung-gedung sekolah, tetapi masyarakat setempat berkata pada saya bahwa gurunya hanya 1-3 orang. Padahal kebanyakan sekolahnya berkelas enam. Ada banyak anak SD yang tidak belajar baik, itu sudah pasti.
Pemerintah tidak mempersiapkan sarana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat. Satu-satunya sarana yang dipakai masyarakat di Kabupaten Dogiyai adalah mengojek alias ojek. Mereka menggunakan motor sebagai sarana untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya dan keluarganya.
Ketika masyarakat sakit, sarana yang digunakan untuk sampai pada rumah sakit di pusat kota adalah motor alias ojek. Begitu pun masyarakat saat berjualan bahan sumber alamnya, gunakan jasa ojek, dengan harga Rp.60.000.00 sampai Rp. 400.000.00. Itu bila jaraknya dekat. Tarif maksimumnya sampai Rp.300.000.00 dari Diyeugi. Jadi, untuk usaha warga, karena transportasi, hasil bisnis dari hasil alam oleh masyarakat cukup untuk para pengojek saja.
Saat ini yang tepat untuk bermimpi, bilamana semua jalan beraspal dan mobil atau bus pengangkut bahan hasil alam dari kampung-kampung di kabupaten ini disediakan pemerintah dengan tafir rendah, sehingga membantu merangsang ekonomi rakyat, walau dari hasil alam. Sudah saatnya pemerintah mengakui bahwa sumber daya ekonomi satu-satunya dari masyarakat adalah dari hasil alam dan sumber usaha kerja ternak mereka.
Saya menilai, masyarakat di sini dibiarkan menderita dan miskin di tanahnya sendiri. Entah sengaja atau tidak, pemerintah daerah sedang membiarkan masyarakatnya tanpa merangsang ekonomi kerakyatan mereka agar lebih maju melalui usaha berjualan "kacang tanah, kopi" di pusat kabupaten Dogiyai yang dalam Mottonya adalah "Dogiyai Dou Enaa."
Penderitaan Rakyat
Saat itu, saya berjumpa dengan seorang warga masyarakat setempat di tengah jalan Bomomani menuju Dogiyai. Dia asli warga Bomomani. Dia orangnya sangat baik dan tulus hati. Dia berkata bahwa. "Sampai saat ini kami sedang menderita dengan selalu berjalan kaki."
Tiap hari mereka jalan kaki ke kota, juga pulang ke kampung. Mereka sambil memikul beban berat berbagai barang jualan. Hasil alam yang hendak dijualnya. "Selama ini kami sudah sangat capek dan sakit-sakitan. Lihat saja ini, pemerintah sudah buat jalan transportasi darat, tetapi mereka belum mengaspal jalan bahkan belum buat sama sekali di wilayah Piyaiye sana," ceritanya.
Orang tua itu berkata lagi, "Kami sudah menderita sangat lama. Penderitaan kami tidak pernah dipandang oleh para pejabat kabupaten ini. Mereka buat laporan-laporan palsu ke badan pemeriksaan keuangan (BPK) dan ke KPK. Padahal kegiatan program pemerintah untuk masyarakat di kabupaten ini belum pernah ada. Dana-dana telah dimakan habis oleh para pejabat. Mereka tidak membuat program untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di kota".
Para pejabat jalan masing-masing sesuai kepentingannya. Berbagai program dari SKPD tidak dijalankan di tengah masyarakat. Kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mati suri. Dan masyarakat hanya terima dana Respek dan BBM, kemudian dananya dibayar untuk kendaraan motor ojek pulang pergi dan berbagai bahan dasar hidup di kios milik pendatang. Bahkan dana respek pada tahun anggaran 2014 pun dari distrik piyaiye punya berjumlah 185 "satu milyar delapan ratus lima puluh juta" di duga telah korupsi habis oleh TPKD dan TPPK dan saat ini pada tahapan penyelidikan oleh kapolres Nabire.
Pemerintah kabupaten melalui Kepala Dinas Sosial memberikan dana bantuan kepada seluruh rakyat dari kabupaten ini. Bantuan sosial inipun di korupsi habis-habisan oleh pemerintah Kabupaten Dogiyai dengan jumlah dana Rp.32 "milyar" sampai saat ini juga pertanggun jawaban secara hukum belum terungkap siapa pelaku korupsi.
Akibatnya, kegiatan gereja dan berbagai persiapan natal dan lainnya tersendat. Masyarakat semua jalan naik turun ke kota nabire. Rumah-rumah tampak kosong, tidak ada orang. Semua muanya ke ibu kota kabupaten Dogiyai maupun Nabire saja dan bersenang-senang saja.
Saya lihat, rakyat kabupaten ini mulai belajar ketergantungan dari pemerintahnya sendiri. Mereka diajari menerima uang tanpa kerja dan usaha. Ini bahaya karena menciptakan budaya malas. Di sini ketika kita belajar dari pengalaman ini bahwa pemerintah berusaha bukan lagi untuk memberdayakan masyarakat agar mandiri dan kerja, tetapi sudah mulai mematikan daya dan mental kerja orang Mee.
Sayup-sayup, warga yang sadar, kepada saya sering berkomentar, sebaiknya kembalikan kabupaten ini ke pusat saja daripada rakyat menjadi korban dan menderita, dan para pejabat bersenang-senang atas segala kelimpahannya, dan sama-sama tidak berpikir memanfaatkan kekuasaan, peluang, dari kedudukan, jabatan, regulasi dll yang ada untuk membangun hidup yang lebih baik.
Hati pasti sakit dan terasa memilukan sekali melihat semua itu. Saya berhenti sebentar dari kegiatan dan berpikir bahwa ternyata pada saat rakyat menderita, pemerintah seperti lebih senang. Membiarkan penderitaan itu. Mengantisipasi penderitaan dengan cara tidak pas, yang pada saatnya membangun budaya malas dan membunuh etos kerja rakyat kabupaten Dogiyai.
Otsus yang mestinya digunakan untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat justru direalisasikan dengan cara yang agak mengambang, yang justru mempertebal ketergantungan pada pemerintah pusat melalui daerah. Semua kenyataan ini memperlihatkan bahwa masyarakatnya hidup dalam keterpurukan kemiskinan dan penderitaan tanpa kemajuan apa-apa dari berbagai program pemerintah di kabupaten ini.
Melihat persoalan ini, Kepada pemerintah kabupaten ini untuk sadar, melihat realita bekerja sama untuk membangun daerah ini. Pemerintah punya kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Bukan untuk bupati jalan sendiri. Bukan untuk DPRD sendiri. Bukan karena keterpecahan dalam tubuh birokrasi, pemerintah, DPRD, SKPD, dll membuat pembangunan macet.
Kabupaten lain telah jauh melangkah. Bila semangat kita seperti ini, maka yang terjadi adalah rakyat menderita. Saya berharap semoga ada kerja sama di antara Bupati,Wakil Bupati, DPRD, Kepala Dinas pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan dan semua SKPD, Dinas kabupaten Dogyai ini, demi hidup bersama rakyat Kabupaten Dogiyai yang ada dalam lubuk hati saya ini. Untuk lebih baik lagi di pandang dari daerah-daerah yang maju di berbagai lini.Harap Musa Boma.
Penulis adalah Aktivis Papua
Ketika melihat dan mendengarkan berbagai cerita dan diskusi dari rakyat pada saya, ternyata banyak persoalan akibat ulah aparat keamanan (Polri/Brimob, TNI dan jajaran aparat keamanan lainnya). Terutama Brimob. Mereka menakut-nakuti warga dengan senjata.
Di lain kesempatan, masyarakat juga menceritakan banyak persoalan mengenai sarana dan prasarana pendidikan, keshatan, ekonomi, dan infrasturuktur di kota ini. Keluhan masyarakat itu memperlihatkan bahwa mereka merasa disudutkan dari pelayanan pemerintah yang seharusnya dibuat sesegera mungkin. Tetapi pemerintah daerah tidak melihat suasana masyarakat yang sebenarnya. Mungkin pemerintah daerah ini, buta melihat dan tuli mendengarkannya, sehingga pelayanan pendidikan dan kesehatan tidak terlaksana mulai dari pusat kota kabupaten sampai distrik dan kampung-kampung.
Minimnya Sarana dan Prasarana
Ketika tiba di kota Dogiyai, saya melihat suasana yang damai dan indah. Bagaikan surga kedua. Apalagi udara yang sejuk dan dingin, segar, yang memberi semangat bagi siapa saja yang berada di kota ini. Mungkin hanya bagi sebagian kecil orang saja, tidak suka udara yang dingin dan curah hujan ini. Saya senang ada di tengah masyarakat yang sederhana dan tulus hatinya.
Karena faktor-faktor yang tidak saya ketahui, mungkin ketidaksenangan terhadap masyarakat dan kurangnya komitmen untuk merubah pendidikan dan kesehatan masyarakat, saya melihat, masyarakat merasakan tidak terlayani oleh pihak pemerintah daerah di kota ini. Apalagi di daerah-daerah sepertinya Iyaro, Ideduwa, Wotai dan lain lain.
Ada rumah sakit umum dipusat kabupaten saja dengan fasilitas yang sangat kurang akibat dari pada itu, ketika masyarakat mengalami kesakitan, mereka pergi berobat ke kabupaten lain sepertinya Deyai, Paniai dan kabupaten Nabire. Ini sungguh masalah serius.
Pasien yang sedang rawat ketika ingin membuang air besar atau kecil menahan saja di tempat tidur ruang semantara. Rumah sakit ini kurang memiliki tenaga medis, sehingga pelayanan publik kurang maksimal. Ini karena sarana dan prasarana rumah sakit tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat, sehingga para petugas medis juga tidak betah bertahan untuk menjalankan tugas pelayanan kesehatan masyarakatnya.
Saya menilai bahwa Bupati, wakil Bupati, dan DPRD jalan masing-masing karena pemerintah daerah tidak saling ketemu dan bertolak belakang dengan program yang dibuat oleh Kepala Dinas Kesehatan, mungkin begitu juga kepala dinas lain di kabupaten ini. Saya memang tidak memahami. Minta maaf.
Kualitas pendidikan sudah pasti merosot di daerah ini. Mengapa? Ini alasannya. Guru-guru yang lama dilantik menjadi pejabat di kantor-kantor, sehingga tenaga pengajar sangat minim. Ada banyak sekolah yang gurunya tidak ada, walau ada gedung sekolah.
Pada SMP Negeri satu Mapia di Bomomani dan SMA Negeri satu Dogiyai yang tidak bisa membaca dan menulis berjumlah sebanyak 108 orang ini bukti maka benar Pendidikan Kabupaten Dogiyai sudah mati benar.
Saya melihat di kampung-kampung, berdiri gedung-gedung sekolah, tetapi masyarakat setempat berkata pada saya bahwa gurunya hanya 1-3 orang. Padahal kebanyakan sekolahnya berkelas enam. Ada banyak anak SD yang tidak belajar baik, itu sudah pasti.
Pemerintah tidak mempersiapkan sarana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat. Satu-satunya sarana yang dipakai masyarakat di Kabupaten Dogiyai adalah mengojek alias ojek. Mereka menggunakan motor sebagai sarana untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya dan keluarganya.
Ketika masyarakat sakit, sarana yang digunakan untuk sampai pada rumah sakit di pusat kota adalah motor alias ojek. Begitu pun masyarakat saat berjualan bahan sumber alamnya, gunakan jasa ojek, dengan harga Rp.60.000.00 sampai Rp. 400.000.00. Itu bila jaraknya dekat. Tarif maksimumnya sampai Rp.300.000.00 dari Diyeugi. Jadi, untuk usaha warga, karena transportasi, hasil bisnis dari hasil alam oleh masyarakat cukup untuk para pengojek saja.
Saat ini yang tepat untuk bermimpi, bilamana semua jalan beraspal dan mobil atau bus pengangkut bahan hasil alam dari kampung-kampung di kabupaten ini disediakan pemerintah dengan tafir rendah, sehingga membantu merangsang ekonomi rakyat, walau dari hasil alam. Sudah saatnya pemerintah mengakui bahwa sumber daya ekonomi satu-satunya dari masyarakat adalah dari hasil alam dan sumber usaha kerja ternak mereka.
Saya menilai, masyarakat di sini dibiarkan menderita dan miskin di tanahnya sendiri. Entah sengaja atau tidak, pemerintah daerah sedang membiarkan masyarakatnya tanpa merangsang ekonomi kerakyatan mereka agar lebih maju melalui usaha berjualan "kacang tanah, kopi" di pusat kabupaten Dogiyai yang dalam Mottonya adalah "Dogiyai Dou Enaa."
Penderitaan Rakyat
Saat itu, saya berjumpa dengan seorang warga masyarakat setempat di tengah jalan Bomomani menuju Dogiyai. Dia asli warga Bomomani. Dia orangnya sangat baik dan tulus hati. Dia berkata bahwa. "Sampai saat ini kami sedang menderita dengan selalu berjalan kaki."
Tiap hari mereka jalan kaki ke kota, juga pulang ke kampung. Mereka sambil memikul beban berat berbagai barang jualan. Hasil alam yang hendak dijualnya. "Selama ini kami sudah sangat capek dan sakit-sakitan. Lihat saja ini, pemerintah sudah buat jalan transportasi darat, tetapi mereka belum mengaspal jalan bahkan belum buat sama sekali di wilayah Piyaiye sana," ceritanya.
Orang tua itu berkata lagi, "Kami sudah menderita sangat lama. Penderitaan kami tidak pernah dipandang oleh para pejabat kabupaten ini. Mereka buat laporan-laporan palsu ke badan pemeriksaan keuangan (BPK) dan ke KPK. Padahal kegiatan program pemerintah untuk masyarakat di kabupaten ini belum pernah ada. Dana-dana telah dimakan habis oleh para pejabat. Mereka tidak membuat program untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di kota".
Para pejabat jalan masing-masing sesuai kepentingannya. Berbagai program dari SKPD tidak dijalankan di tengah masyarakat. Kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mati suri. Dan masyarakat hanya terima dana Respek dan BBM, kemudian dananya dibayar untuk kendaraan motor ojek pulang pergi dan berbagai bahan dasar hidup di kios milik pendatang. Bahkan dana respek pada tahun anggaran 2014 pun dari distrik piyaiye punya berjumlah 185 "satu milyar delapan ratus lima puluh juta" di duga telah korupsi habis oleh TPKD dan TPPK dan saat ini pada tahapan penyelidikan oleh kapolres Nabire.
Pemerintah kabupaten melalui Kepala Dinas Sosial memberikan dana bantuan kepada seluruh rakyat dari kabupaten ini. Bantuan sosial inipun di korupsi habis-habisan oleh pemerintah Kabupaten Dogiyai dengan jumlah dana Rp.32 "milyar" sampai saat ini juga pertanggun jawaban secara hukum belum terungkap siapa pelaku korupsi.
Akibatnya, kegiatan gereja dan berbagai persiapan natal dan lainnya tersendat. Masyarakat semua jalan naik turun ke kota nabire. Rumah-rumah tampak kosong, tidak ada orang. Semua muanya ke ibu kota kabupaten Dogiyai maupun Nabire saja dan bersenang-senang saja.
Saya lihat, rakyat kabupaten ini mulai belajar ketergantungan dari pemerintahnya sendiri. Mereka diajari menerima uang tanpa kerja dan usaha. Ini bahaya karena menciptakan budaya malas. Di sini ketika kita belajar dari pengalaman ini bahwa pemerintah berusaha bukan lagi untuk memberdayakan masyarakat agar mandiri dan kerja, tetapi sudah mulai mematikan daya dan mental kerja orang Mee.
Sayup-sayup, warga yang sadar, kepada saya sering berkomentar, sebaiknya kembalikan kabupaten ini ke pusat saja daripada rakyat menjadi korban dan menderita, dan para pejabat bersenang-senang atas segala kelimpahannya, dan sama-sama tidak berpikir memanfaatkan kekuasaan, peluang, dari kedudukan, jabatan, regulasi dll yang ada untuk membangun hidup yang lebih baik.
Hati pasti sakit dan terasa memilukan sekali melihat semua itu. Saya berhenti sebentar dari kegiatan dan berpikir bahwa ternyata pada saat rakyat menderita, pemerintah seperti lebih senang. Membiarkan penderitaan itu. Mengantisipasi penderitaan dengan cara tidak pas, yang pada saatnya membangun budaya malas dan membunuh etos kerja rakyat kabupaten Dogiyai.
Otsus yang mestinya digunakan untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat justru direalisasikan dengan cara yang agak mengambang, yang justru mempertebal ketergantungan pada pemerintah pusat melalui daerah. Semua kenyataan ini memperlihatkan bahwa masyarakatnya hidup dalam keterpurukan kemiskinan dan penderitaan tanpa kemajuan apa-apa dari berbagai program pemerintah di kabupaten ini.
Melihat persoalan ini, Kepada pemerintah kabupaten ini untuk sadar, melihat realita bekerja sama untuk membangun daerah ini. Pemerintah punya kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Bukan untuk bupati jalan sendiri. Bukan untuk DPRD sendiri. Bukan karena keterpecahan dalam tubuh birokrasi, pemerintah, DPRD, SKPD, dll membuat pembangunan macet.
Kabupaten lain telah jauh melangkah. Bila semangat kita seperti ini, maka yang terjadi adalah rakyat menderita. Saya berharap semoga ada kerja sama di antara Bupati,Wakil Bupati, DPRD, Kepala Dinas pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan dan semua SKPD, Dinas kabupaten Dogyai ini, demi hidup bersama rakyat Kabupaten Dogiyai yang ada dalam lubuk hati saya ini. Untuk lebih baik lagi di pandang dari daerah-daerah yang maju di berbagai lini.Harap Musa Boma.
Penulis adalah Aktivis Papua
0 thoughts on “Otsus : Dogiyai, Pemerintah Senang, Masyarakatnya Korban”