Frans Pigai (Foto: Dok. Prib/KM) |
Oleh: Frans Pigai
Cerpen, KM. Juah perjalananku, aku telah tempui, tinggalkan kampung halamanku (tanah Papua) di seberangi lautan luas (Pasifik). Langkahkan kaki di perantauan tanah orang, tanah colonial Indonesia, mencari nafkah dan menuntut ilmu pengetahuan dan mencari karya nyata hidup bagiku, bagi keluarga, bagi rakyatku dan bagi bangsa dan negeraku Papua, tanpa memandang mendi keringat siang dan malam, haus dan lapar aku tak peduli, capeh dan lelah aku tak hiraukan, demi mencapai cita-cita dan impianku sebagai harapan masa depan bagi rakyat dan bangsa Papua yang aku impikannya.
Derita sudah ku alami, bahagia masih kui cari. Begitulah nasib anak rantauan di tanah colonial Indonesia. Menyesal itu tidak berguna. Hidupku ada di tangan Sang Khalim (Sang Pencipta). Dan hanya bisa ku doa “ Ya Allah (Sang Pencipta), berikanlah kesehatan kepadaku dan kepada orang tuaku, sampai aku selesai dan berkumpul kembali dengan mereka seperti sewaktu dulu. Begitulah real misterius kehidupanku. Miskin bukan warisan bagi keluargaku, terpenting bagiku adalah hidup dengan kesetiaan, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam keluargaku.
Anakku yang tersayang, ”Bila kemana anak pergi, demi masa depanmu, berjuanglah dengan sungguh-sungguh dan jangan sampai putus asa, lihatlah kondisi saya semakin tua dan semakin lemah untuk bekerja, tapi impianmu harus terwujud.” Ungkap Ibuku.
Lanjut ungkap Ibuku, “Dengan kekurangan, saya duduk di pasar, jual petatas berjam-jam, hujan dan panas pun untuk mendapatseribu rupiah, terkadang jualan tidak laku, buang di kandang, sambil meneteskan air mata. Gunakanlah seribu rupiah yang ku berikan ini sebaik mungkin, karena inilah hasil susah payahku.”
“Saya panjatkan sebuah doa buatmu untuk berhasil, tentu anak pulang dengan sorak-sorai. Saya semakin tua, tentu anak tidak lihat saya, saat saya pergi mungkin saja tetesan air mata pipihmu dari rantau orang. Ingat pesan singkat ini, sambil menuntut ilmu di tanah orang hingga anak sukses.” Ungkap doa Ibu dengan tangisan air mata.
Mentari pagi mengawali sebuah hari. Doa, memberikan sebuah karya. Senyuman, mengobati kesusahan. Tawa, awal kebahagian kita. Cinta, membuat hidup semakin indah. Pujian, sadarkan kita bahwa, Sang Khalim (Pencipta), selalu ada untuk kita.
“Jangan pernah menghukum orang lain kalau diri sendiri masih terdakwa. Cinta yang di basuh oleh air mata akan tetap murni dan indah senantiasa.” Ungkap simpel Ayah.
“Kita sudah lama terjerumus dalam masalah itu terus dan sekarang.. Usaha kita adalah bagaimana pola berpikir kita yang sehat dan benar.” Kata salam renung Ibu bagiku.
Pandanglah ke jauh atas, awan yang putih menghiasi permukaan langit, seperti dirimu menghiaskan di permukaan hatiku. Memahami hidup dengan tulus hati, memberi kita gambaran hidup memandang dengan penuh suka cita. Namun, ketik ini dan kirimkan ke masa depan. Masa depan adalah peluang utama bagi kita, untuk mencapai pada puncaknya. Kecerahan hati mengundang masa depan bagi dirinya.
Malam ini langit akan menjadi atap yang indah dalam tidurmu. Bulan akan menjagamu seperti cahaya. Bintang akan menyinari mimpimu dengan kemegahannya. Lebih dari itu, Tuhan Yesus akan selalu ada untuk melindungimu.
“Anakku nasib bukanlah masalah kesempatan; itu adalah masalah pilihan. Bukanlah hal yang untuk ditunggu; itu adalah hal yang harus dicapai.” Ujar ayah dan ibu mengenang salam juang.
Bila mutiara adalah hati, maka hati adalah hidup. Jika hidup adalah ikatan, maka ikatan bagiku adalah persaudaraan. Kalau saudaraku adalah diriku, maka dirimulah mutiara di hatiku.
Walaupun ada kekurangan, menghargailah diri kita masing-masing, sebelum kita menghargai orang lain karena diri kita adalah bait Allah dan diri kita adalah rumah terindah bagi kita dalam hati kita.
Indahnya hidup bukan karena banyak orang mengenal dirimu, tapi berapa banyak orang bahagia karena mengenal dirimu.
(Penulis Pemula adalah Mahasiswa Papua)
0 thoughts on “Jauh Perjalananku - Tanah Colonial Indonesia”