Frans Pigai (Foto: Dok. Prib/KM) |
Oleh: Frans Pigai
Jarum jam tepat pada angka 24.00. Malam pun semakin larut. Lampu ruang depan sudah di matikan dari tadi oleh Bunda. Juga sudah tidak terdengar lagi suara tawa kak Lince, Honny, Natho, dan Stef dan juga adik berdua Jerry dan Nella bahkan anak Angel “Dokeumau” yang biasanya nonton tv kesukaan mereka, film yang berjudul “Motivasi Hidup Keluarga Sederhana, Berpikir Mulia.” Mereka sudah tidur, ayah dan bunda juga sudah terlelap doa kepada Sang Khalim (Sang Pencipta).
Film yang bejudul, “Motivasi Hidup Keluarga Sederhana, Berpikir Mulia” ini akan menjelaskan dan diceritakan mengenai, “Hidup berkelimpahan, kasih yang terbuka, kasih yang melihat, kasih berani berkorban, kasih sayang dan cinta keluarga sederhana dan mewujudkan hidup berkelimpahan. Membuka hati untuk beriman bahwa hidup berkelimpahan bukanlah hanya berhubungan dengan kehidupan material dan duniawi. Menumbuhkan kesadaran baru bahwa sumber hidup yang berkelimpahan adalah Allah sendiri yang memberikan kasih berkelimpahan kepada manusia. Meneguhkan perutusan umat di tengah masyarakat bahwa perjuangan mewujudkan hidup berkelimpahan merupakan perjuangan iman terlibat dalam perwujudan kasih Allah kepada umat manusia.”
Entah berapa kali aku bolak balik badan di atas kasur ini. Aku jadi ingat kejadian tadi siang di sekolah. Thesi, teman kelasku memamerkan hadiah ulang tahunnya. Hp canggih merk terkenal dengan warna merah, biru dan putih bergambar Hello Frans yang lucu. Semua teman-teman merubunginya “wah, bagus sekali hpmu Thesi, aku mau minta belikan ayahku hp yang kayak gitu,” ungkap Merry dan Idha. Dari semua teman-teman sekelas hanya aku yang tidak punya hp. Jadi aku hanya menggelengkan kepala sambil melihat teman-temanku asyik bercanda sambil foto-fotoan dengan hp bari Thesi.
Setiba pulang sekolah, aku sudah tidak sabar mengungkapkan keinginanku pada ayah dan bunda “Ayah dan Bunda, boleh atau tidak Frans minta sesuatu?” sambil sedikit bertanya “memangnya Frans minta apa?” ayah dan bunda balik bertanya. Akhirnya kuceritakan keinginanku untuk memiliki hp seperti teman-temanku, walaupun tidak secanggih punya Thesi tidak apa-apa.
Ayah dan bunda tidak berkata apa-apa mendengar keinginanku, setelah lama terdiam akhirnya ayah dan bunda berkata, “Frans, bukannya ayah dan bunda ini tidak mau belikan, tapi ayah dan bunda belum punya uang jadi keinginanmu di tunda dulu ya” kata bunda sambil membelai rambut keritingku,” tapi Frang pengen punya hp, semua teman Thesi punya, kak Honny juga punya” jawabku sambil menahan tangis.
Kak Honny memang anak yang hebat. Jarang sekali aku melihat kak Honny jajan. Uang sakunya selalu ditabung. Makanya tiga bulan lalu kak Honny bisa membeli hp dari tabungannya sendiri. “Tapi Frans benar-benar pengen punya hp, pokoknya kalau besok tidak di belikan Frans tidak mau sekolah!” ancamku sambil berlari ke kamar. Bunda hanya menatapku sambil mengelengkan kepala.
Keesokan harinya sepulang sekolah aku mendapati sebuah kotak tergeletak di atas meja belajarku. Dengan hati-hati aku buka kotak itu berisi hp yang kuinginkan. Sambil tersenyum senang aku bermaksud menghampiri bunda di dapur. Tapi aku terkejut ketika melewati kamar bunda yang yang terbuka, aku merasa sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang kosong apa ya? Pikirku heran.
Waduh, waduh...”Bunda kok mesin jahit di kamar bunda tidak ada, tempatnya di pindah ya?” tanyaku heran. Bunda tidak menjawab beliau malah balik tanya, “gimana Frans suka atau tidak dengan hp itu” kata Bunda sambil tersenyum. Aku jadi teringan dengan hp yang ada di tanganku ya bunda Frans suka sekali. Terima kasih ya bunda dan terima kasih pula kepada ayah juga.” Jawabku senang hati.
“Oh...yaa bunda, mesin jahit bunda kemana?” tanyaku masih penasaran. Dengan tetap tersenyum bunda menjawab, “mesin jahit itu bunda gadaikan ke Bu RT.” Oh Tuhan demi memenuhi keinginanku ayah dan bunda rela menggadaikan satu-satunya barang peninggalan alm Kakek.
Tamap sadar air mataku menetes, mengingat sikapku kemarin, “maafkan Frans ya ayah dan bunda gara-gara Frans bunda kehilangan mesin jahit kesayangan bunda” kataku lirih sambil terisak.
“Tidak apa-apa, nanti kalau sudah ada uangkan bisa di ambil lagi,” kata bunda sambil memelukku.
Aku semakin merasa bersalah, dalam hati aku berjanji tidak akan memaksakan kehendakku lagi. Sekali lagi maafkan Frans dan terima kasih ayah dan bunda atas kasih sayang yang tiada henti di setiap perjuangan hidupku ini.
(Penulis Pemula adalah Mahasiswa Papua)
Tetap menulis Frans..sa suka membaca tulisan yg tulus dari dalam hati.. terimakasih, salam dr Jkt
ReplyDelete