BREAKING NEWS
Search

Satu Kata: Papua Merdeka

Frans Pigai (Foto: Dok. Prib/KM)
Oleh: Frans Pigai

Cerpen, (KM). Seorang pejuang pembelah kebenaran bagi bangsa Papua Victor Yeimo kulihat menempelkan selembar kertas di papan pengumuman penuh tangisan dan darah air mata manusia Papua, “Satu Kata: Papua Merdeka”.

Segera aku memeriksanya. Pengumuman tentang agenda khusus pembebasan dan kemerdekaan bangsa Papua “Papua Medeka”. Aku kaget, bagaimana bisa jadwal memperingati HUT kemerdekaan bangsa Papua bersamaan dengan tes sejarah bangsa Papua.

Aku dihadapkan dengan dua pilihan yang menurutku seperti dilema. Antara tes seleksi sejarah bangsa Papua atau memperingati HUT kemerdekaan bangsa Papua?. Aku ingin mengikuti keduanya. Tapi sepertinya aku hanya boleh memilih satu. Aku mencoba meminta saran kepada teman-temanku tentang seperjuangan apa yang sebaiknya aku pilih. bagiku keduanya sangat penting.

Dalam gereja luas yang hanya tinggal beberapa orang saja di dalamnya. Aku menenangkan diriku dengan doa malam. Semoga Allah memberikan jawaban yang terbaik untukku. Ucapan do’a yang keluar dari bibir biru kedinginan terasa penuh makna dalam kesendirian. Sajadah yang menjadi alas seakan percuma.

Lantai granit yang dingin menembus rajutan benang-benang hingga menusuk-nusuk kulit. Pada malam gelap berbintang yang dingin. Pada malam itu Allah memberi jawaban yang paling tepat. Pilihan terbaik bagi diriku.

Seiring berlanjutnya hari, Hari inilah yang ditunggu-tunggu. Rasa penat setelah berjuang keras dalam menghadapi “Penjajahan Colonial Indonesia” seakan tergantikan. Aku dan teman-temanku mengemasi pakaian-pakaian ke dalam tas masing-masing. Kamu tahu hari apa ini? Hari ini adalah hari keberangkatan dan keselamat bagi jiwa-jiwa manusia Papua dan tanah Papua ‘Merdeka”. Aku merasa terharu dan senang akan hari ini. Kupastikan kalau pilihan ini tidaklah salah. Allah-lah yang memberikan pilihan ini kepadaku. Kupasrahkan sepenuh hidupku hanya kepada Allah.

“Tasnya sudah pada dimasukan ke dalam bus kebebasan dan kemerdekaan?” Tanyaku kepada Stef Pigai.

“Sudah” Jawab Stef Pigai sambil menunjuk tas hitam kepadaku.

“Akhirnya hari ini datang juga, bangkit jiwa manusai Papua dan tanah Papua.” Kata Deserius Goo, alias Che De Go seraya menepak pundakku dari belakang.

“Bawaanmu tak kurang?” Tanya Selpius Bobii kepadaku.

Aku memperhatikan diriku yang hanya membawa tas berisikan bekal seperlunya dan tiga pasang baju bersih yang tergambar tampak depan; Bintang Kejora dan tampak belakang; bendera Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan coretan pena yang terdapat di baju tampak belakang “Hak Menentukan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua” Aliansi Mahasiswa Papua (AMP): “Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang Kejora, Papua Pasti Merdeka” untuk memeriahkan dan memperingati HUT kemerdekaan bangsa Papua.

“Cukuplah.”

Suara klakson bus nyaring terdengar. Para pahlawan bangsa Papua segera mengkomandoi agar semuanya memasuki bus. Aku duduk di samping Komara. Aku memeluk tasku erat-erat. Seakan masih ada secercah penyesalan. Aku berusaha untuk tetap tegar menerima semua ini karena telah memperjualkan mamaku sendiri, tanah Papua

Kulihat Stef Pigai, Selpius Bobii, Deserius Goo, alias Che De Go dan Jhon Gobai, alias Jhe duduk dibarisan depan. Seperti biasa. Canda dan tawa terlihat menunjukkan betapa senangnya perasaan mereka.

Stef Pigai menoleh ke belakang. “Semangat, dik Frans Pigai.” Stef Pigai menyemangatiku. Aku mencoba tersenyum meskipun kupaksakan. Aku terus duduk, menggigiti bibirku. Memeluk erat-erat tasku. Memperhatikan mereka yang tersenyum menyemangatiku.

“Enggak perlu disesali.” Kata Fabby Pigome yang duduk di sebelahku.

“Aku tahu.” Aku sulit untuk menerima semua ini. Aku mencoba mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan kejanggalan ini. “Hanya saja, aku seperti melewatkan momen yang penting.” lanjutku.

Lima bus melaju keluar dari komplek tanah Papua. Aku masih memeluk tas. Canda tawa mereka sudah tidak terlihat lagi. Lambaian tangan dari mereka seakan mengisyaratkan perpisahan antara Colonial Indonesia dan Papua.

“Semoga kalian selamat sampai tujuan di tanah Papua.” Teriakku kepada bus-bus itu. Samar-samar kudengar kata hati, jiwaku tetap manusia Papua sewaktu-waktu kita akan bertemu lagi di tanah Melanesia, Papua “Kamu juga.”

“Sekarang giliran kita untuk pergi.”

Aku dan Fabby Pigome menaiki Taxi penuh warna bintang kejora yang sejak tadi sudah menunggu. Pengibaran bintang kejora pun berkibar di poros langit biru. Itulah tanda bahwa Papua akan bebas dari Colonila Indonesia. Inilah perjalanan baru yang akan aku hadapi. Terkadang kesempatan itu tak datang dua kali dan kita semua tahu akan hal itu. Hanya saja, ketika kesempatan itu kita lewatkan tentunya hanya akan membuat penyesalan.

Tapi penyesalan bukan menjadi hambatan besar bagi setiap diri anak manusai Papua, yanh mengikarkan demi tanah Papua. Namun, tujuan yang penuh bermakna bagi setiap diri manusia Papua, pasti akan bangkit dan pergi dari penyesalan ini menuju pada kebebasannya, mengikuti para pajuang Papua yang lainnya. Akan digambarkan bagaikan bagi manusia Papua yang menyangkal dan memperjualkan tanah mama Papua.

“…untuk daun-daun yang berguguran di taman Tuguh Cendrawasih,”

“ku goreskan kata-kata yang akan selalu ku ingat,”

“yang akan ikut terbawa bersama aliran air…”

(Penulis Pemula adalah Mahasiswa Papua)




TAG

nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Satu Kata: Papua Merdeka