Noken Papua (Foto: Dok. Ist/KM) |
Oleh: Frans Pigai
Setiap insan (kita) lahir dari rahim Noken mama Papua yang sudah diakui menjadi warisan dunia. Mari berpijak budaya untuk bangun percakapan dengan semesta alam Papuani. Jiwa bukan kebetulan menjadi kunci di atas pangkuan mama tanah Papua, tetapi jiwa budaya, adat, agama menjadi sabuk.
Ketika motivasi hidup, adalah identik dengan perlombaan jadi penguasa pemerintah tanpa pikirkan bidang lain dan ironisnya tidak paham Noken kehidupan dirinya hanya untuk pilihan hidup sementara ini. Pasti semua akan terhipnotis untuk berlomba tetapi kerja untuk semesta tidak semua bisa. Profesi diri tidak bisa batasi asal hayati dan hargai dalam keselamatan alam semestanya.
Konsisten pikir tanpa melupakan Noken dengan alasan apapun yang nantinya pusing sendiri. Tentu karena pikir mengatur habisi kepentingan yang hanya untuk sementara atau sebentar hitungan hari. Lebih terhormat dan mulia kalau pikir untuk merajut atau menganyam hidup tetapi justru, kadang menjadi pengacau, perampok dalam kamar hedonisme yang dibangun subur di atas semesta pijakannya.
Proses pembangunan yang di rencanakan pun membabat alam semesta yang menuntun dirinya menjadi dan makin buat berantakan robek, rusak bersama perakus dan penikmat tanpa paham, posisi dirinya tidak abadi, ketika alam maha karya ilahi pasti abadi tetapi, apakah harus kita musnakan dengan ilmu mati, ilmu plastik diri kita? Jiwa bukan kebetulan akan berakhir tanpa abadi karena memakai selimut kepentingan sistem atas ambisi, ego dan ketamakan yang hedonisti.
Tataplah alam semesta noken Papua. ia insan lemah tetapi insan pekerja keringat yang tangguh ketika memikul kehidupan di pundaknya, butuh percakapan dengan semesta. Apakah penerus leluhur pudar atau berubah menjadi mental plastik dan/atau mental Noken. Noken Mama Papua, hasil semesta dalam posisi martabat harga diri yang terajut dan teranyam kuat tanpa menjadi plastik untuk merobek.
Kini saatnya, hari ini, tahun ini! Posisikan untuk pakai sabuk diri dengan pilar ilmu hidup, atas dasar budaya dan tradisi untuk berpijak atas pilar di kata-kata kini, tanpa hayati benar dan baik atas “adat, agama dan pemerintah”.
Sebenarnya merupakan tiang pertahanan diri, asalkan benar paham, mengerti dan mengenal untuk menjadi tangguh tanpa menjadi pelaku atau agen perusak berantakan seperti insan plastik. Saatnya mengisi ilmu hidup demi kehidupan dalam Noken mama Papua.
(Penulis adalah Mahasiswa Papua)
Setiap insan (kita) lahir dari rahim Noken mama Papua yang sudah diakui menjadi warisan dunia. Mari berpijak budaya untuk bangun percakapan dengan semesta alam Papuani. Jiwa bukan kebetulan menjadi kunci di atas pangkuan mama tanah Papua, tetapi jiwa budaya, adat, agama menjadi sabuk.
Ketika motivasi hidup, adalah identik dengan perlombaan jadi penguasa pemerintah tanpa pikirkan bidang lain dan ironisnya tidak paham Noken kehidupan dirinya hanya untuk pilihan hidup sementara ini. Pasti semua akan terhipnotis untuk berlomba tetapi kerja untuk semesta tidak semua bisa. Profesi diri tidak bisa batasi asal hayati dan hargai dalam keselamatan alam semestanya.
Konsisten pikir tanpa melupakan Noken dengan alasan apapun yang nantinya pusing sendiri. Tentu karena pikir mengatur habisi kepentingan yang hanya untuk sementara atau sebentar hitungan hari. Lebih terhormat dan mulia kalau pikir untuk merajut atau menganyam hidup tetapi justru, kadang menjadi pengacau, perampok dalam kamar hedonisme yang dibangun subur di atas semesta pijakannya.
Proses pembangunan yang di rencanakan pun membabat alam semesta yang menuntun dirinya menjadi dan makin buat berantakan robek, rusak bersama perakus dan penikmat tanpa paham, posisi dirinya tidak abadi, ketika alam maha karya ilahi pasti abadi tetapi, apakah harus kita musnakan dengan ilmu mati, ilmu plastik diri kita? Jiwa bukan kebetulan akan berakhir tanpa abadi karena memakai selimut kepentingan sistem atas ambisi, ego dan ketamakan yang hedonisti.
Tataplah alam semesta noken Papua. ia insan lemah tetapi insan pekerja keringat yang tangguh ketika memikul kehidupan di pundaknya, butuh percakapan dengan semesta. Apakah penerus leluhur pudar atau berubah menjadi mental plastik dan/atau mental Noken. Noken Mama Papua, hasil semesta dalam posisi martabat harga diri yang terajut dan teranyam kuat tanpa menjadi plastik untuk merobek.
Kini saatnya, hari ini, tahun ini! Posisikan untuk pakai sabuk diri dengan pilar ilmu hidup, atas dasar budaya dan tradisi untuk berpijak atas pilar di kata-kata kini, tanpa hayati benar dan baik atas “adat, agama dan pemerintah”.
Sebenarnya merupakan tiang pertahanan diri, asalkan benar paham, mengerti dan mengenal untuk menjadi tangguh tanpa menjadi pelaku atau agen perusak berantakan seperti insan plastik. Saatnya mengisi ilmu hidup demi kehidupan dalam Noken mama Papua.
(Penulis adalah Mahasiswa Papua)
0 thoughts on “Setiap Insan (Kita) Lahir dari Rahim Noken Mama Papua ”