Ko & Sa, Rasa Yang Hilang Kini Hadir Kembali ( Foto: Dok. Ist/KM) |
Cerpen – (KM). Pertama kali aku jatuh cinta dulu waktu umur 14 tahun. Waktu itu rasanya masih terlalu cepat untuk anak seumuranku mengenal cinta. Pada umur 14 tahun itu pula, aku pertama kali mengenal kata pacaran. Sebut saja dia cinta pertama sekaligus pacar pertama untukku. Karena namanya anak-anak, pacarannya juga seolah main-main dan kekanak-kanakan. Tapi perasaan itu seakan masih membekas sampai sekarang. Kenangan kebersamaannya juga seakan masih teringat jelas. Aku pikir itu bukan cinta biasa.
Sekarang umurku belum baru akan menginjak 21 tahun pada bulan Oktober 2016 nanti. Delapan tahun lebih berlalu semenjak itu. Hubungan yang dijalin itu memang telah berakhir hampir 3 atau 4 tahunan yang lalu, saat waktu di bangku SMP aku tidak menerima cintanya dan aku dan dia memutuskan berpisah, tapi perasan cintaku tak akan pudar waku itu. Waktu saat kami mulai sama-sama memasuki bangku SMA. Pemikiran yang dewasa memang saat aku berpikir bahwa aku tidak begitu lagi mencintainya, tapi perasaan cinta sellu ada dalam hidupku.
Ternyata perpisahan waktu itu bukan pilihan yang tepat. Tanpa kusadari di hatiku masih ada dia, entah itu karena aku melihatnya setiap hari atau apa tapi bisa jadi karena kami masih satu sekolah. Mungkin karena tidak terlalu besarnya cintaku padanya, aku pun seolah acuh pada hatiku yang mengatakan aku masih mencintainya.
Dan aku pun menjalin hubungan dengan seseorang, seseorang yang pada akhirnya membuat aku menunggu sangat lama, seseorang yang seolah mempermainkan aku dan seseorang yang membuat aku menyesal telah mengabaikan perasaan bahwa aku masih mencintainya, cinta pertamaku. Tidak, itu bukan sebuah penyesalan yang pantas disesali.
Dan untuk ketiga kalinya, aku kembali menjalin hubungan. Aku seperti menjadi orang jahat waktu bersamanya, selalu melakukan tindakan sesukaku. Huh, aku seolah melampiaskan perasaanku pada orang ini. Tapi mengapa dia teramat baik untuk itu? Apakah bila aku kembali
memutuskannya, dia akan baik-baik saja? Aku hanya tak ingin kembali menyakitinya oleh karena sifatku yang seperti ini. Mungkin memang aku aneh, tapi dibalik itu semua aku menyayanginya.
Aku tidak terlalu mempercayai itu cinta. Aku mungkin seorang yang kesepian, seorang yang hanya bisa memendam semuanya sendiri. Bagaimana dengan orang yang kusebut sahabat? Berpikir mereka memiliki masalahnya masing-masing, itu tak masalah jika aku tidak begitu mau berbagi masalahku.
Hari-hariku, aku jalani dengan selalu berharapbahwa esok akan lebih baik. Selalu berusahamenunjukkan bahwa hidupku tidak memiliki masalah dan aku orang yang paling bahagia di dunia ini serasa melelahkan. Semuanya kebohongan. Saat hatiku merasa lelah dengan semua ini, saat itu pula aku selalu merindukannya. Dia yang biasanya menyandarkan bahunya untukku saat aku merasa sedih. Dimana dia saat ini? Mengapa aku terlambat menyadari bahwa dia teramat berarti untukku.
Otakku menjadi bingung saat aku memikirkan mengapa aku bersedih saat aku mengetahui dia sudah memiliki kekasih baru dan sangat senang jika suatu hari dia berpisah dengan kekasihnya itu. Ada apa denganku? Padahal jelas-jelas aku mengatakan aku tidak begitu menyukainya lagi.
Tapi mengapa saat dia menatapku, hatiku seolah masih bergetar? Dia, cinta pertamaku, mengapa sekarang dia menjadikan aku orang yang egois? Aku hanya ingin dia mencintaiku, aku hanya ingin hanya aku di hidupnya padahal cintaku sendiri tidak sepenuhnya untuknya, hatiku bahkan sekarang seolah mengatakan aku mencintai orang lain.
Tapi mengapa dia seolah abadi dalam hatiku ini? Hingga suatu saat orang lain yang kucintai itu memilih pergi meninggalkanku. Aku merasa sedih, hatiku seolah hancur. Orang lain itu mengapa seenaknya untuk datang pergi, mengapa orang lain itu selalu menghancurkan hatiku dan kemudian memperbaikinya. Dan mengapa orang lain itu seperti telah menjadikan aku orang yang sangat mencintainya. Tidak, orang lain itu bukan menjadi orang lain lagi, orang lain itu telah menjadi orang yang penting di hidupku.
Otakku tidak begitu hebat untuk bisa mengerti hati, bahkan tentang perasaan ini masih sulit dimengerti. Saat aku mengatakan aku mencintainya, tapi hatiku juga menegaskan bahwa di sisi lain nama cinta pertamaku itu masih belum hilang. Oh Tuhan, mengapa saat hatiku hancur karena orang lain itu, Kau malah mengirimkan dia “cinta pertamaku” untuk menghiburku.
Dia kembali mengatakan bahwa dia masih mencintaiku. Kata-kata itu seperti menjadi alasan aku tersenyum namun tidak begitu ku indahkan. Aku buat dia menunggu, padahal aku tau jawaban hatiku yang tak bisa menerimanya lagi. Ya, sampai suatu saat orang lain yang begitu aku cinta itu datang kembali.
Entah karena aku bodoh atau apa, aku menyambutnya dengan penuh senyuman dan kebahagiaan. Aku meninggalkan dia “cinta pertamaku” karena orang lain tanpa berpikir apa yang akan terjadi padanya. Tapi dia tidak pernah bosan datang dan datang lagi kepadaku dan aku pun selalu menolaknya.Hingga suatu ketika dia datang lagi tapi bukan untuk mengatakan “dia mencintaiku” melainkan orang lain. Dadaku terasa sesak saat itu dan hatiku seakan sakit. Bagaimana mungkin aku seperti? Mengapa aku begitu egois?
Tidak selamanya dia akan selalu mencintaiku, tidak selamanya dia relamenunggu. Aku hanya bisa menahan tangisdan mengatakan “Berbahagialah, aku tahu suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang lebih dari aku”. Dia hanya membalas dengan senyum, dan aku melanjutkan dalam hati, “Tapi bisakah walaupun kau mencintai orang lain saat ini, aku akan selalu ada di hatimu itu dan selalu abadi disitu”.
Kini perasaan itu muncul lagi, mungkin karena kita masih satu sekolah dan otomatis setiap hari bertemu. Entah apa yang aku rasakan saat ini apakah benar aku masih membutuhkannya atau hanya perasaan sementara yang muncul di hatiku dan menjadi pengobat hati untukku. Sampai
sekarang aku masih bertanya-tanya tentang perasaanku kepadanya. Ya, sebenarnya aku tahu kalau dia tidak akan bisa lagi kembali untukku. Namun apa daya semua terjadi begitu saja.
(Penulis adalah Mahasiswa Papua)
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “Rasa Yang Hilang Kini Hadir Kembali ”