Poster Film 'Tanah Mama' (Dok. Istimewa) |
Yogyakarta, (KM)--Ditinjau seiring perkembangan zaman, pergerakan berkembang pada isu-isu gender seperti masalah peran ganda, isu perkosaan, domestic violence (Kekerasan dalam rumah tangga), serta sikap Patriarki yang mana menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Keterbatasan
kesempatan dan keterlibatan dalam segala lini yang dihadapi oleh
perempuan pada umumnya dan khusunya perempuan Papua, sehingga muncul
sikap perlawanan untuk merebut keterbatasan itu sendiri.
Hal ini dikemukakan setelah adanya kegiatan nonton bersama dari salah satu film dokumenter “Tanah Mama” yang disutradarai oleh Asrida Elisabeth berdurasi 62 menit. Film ini menceritakan sepenggal kisah semangat perjuangan seorang istri sekaligus ibu bernama Halosina yang tinggal di pedalaman Yahukimo.
“Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara” adalah tema besar yang diangkat dalam sesi diskusi dan nonton bersama yang diselenggarakan oleh beberapa mahasiswi Papua di Yogyakarta yang mengatasnamakan Perempuan Papua (PP). Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, (31/08) dari pukul 18.00 hingga selesai di asrama mahasiswa Kabupaten Tambrauw Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Maria Baru yang menjadi moderator dalam kegiatan ini, seusai nonton bersama memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir. Kira 30-an peserta yang terdiri dari perempuan dan laki-laki Papua yang sedang kuliah di beberapa perguruan tinggi serta partisipan dari beberapa organisasi pro demokrasi di DIY, untuk memberi tanggapan terkait film dokumenter yang ditayangkan di layar besar itu.
Banyak tanggapan-tanggapan yang dikemukakan oleh peserta yang hadir dari berbagai sudut pandang: Ekonomi, Pendidikan, Sosial dan budaya.
Dari semua tanggapan-tanggapan tersebut yang dikutip dari media ini, mereka (Perempuan Papua) tidak menerima perlakuan ketidak adilan yang dialami perempuan Papua, khususnya dalam lingkup keluarga, yang mana kehilangan kasih sayang ayah terhadap istri dan anak-anaknya yang cenderung membelenggu perempuan, sehingga perempuan dinilai menjadi kaum yang tidak berdaya.
Perempuan Papua muda yang sedang mengayam pendidikan, harus mencontoh semangat seorang mama, Halosina. Karena menurut mereka, walaupun dari keterbatasan-keterbatasan kebutuhan hidup seperti pendidikan, Sosial dan ekonomi. Keluarga yang harmonis dihancurkan setelah adanya uang, Ia tetap berdiri kokoh sebagai sosok perempuan berani untuk berjuang melawan realita hidup yang dialaminya.
Selain itu, kedisiplinan waktu mama-mama Papua sangat tinggi, yang mana bisa membagi waktu untuk berkebun, mengurus anak-anak- mengurus suami dan berjualan di pasar, hal itu dilakukan diluar kesedaran kita, padahal mama-mama tidak memiliki jam atau alat-alat yang dapat membatu mereka untuk membaca waktu.
Untuk itu, perempuan Papua minta kepada kaum laki-laki untuk jangan lagi membatasi ruang lingkup perjuangan perempuan, karena perjuangan perempuan sangat dibutuhkan saat ini. “Di tangan perempuan ada kehidupan, dimana dia ditempatkan disitu ada kehidupan,” kata salah satu peserta saat diskusi berlangsung. Sebagai perempuan Papua harus buktikan kalau perempuan Papua bisa, memang secara fisik perempuan lemah tetapi dalam mentalitas perempuan harus lebih kuat dari laki-laki.
Menurut mereka, kehidupan perempuan-perempuan Papaua di Papua dijadikan sebagai objek. Apapun harus dikerjakan oleh perempuan. Misalnya: mengendong anak, menyiapkan makan, mencari kayu, berkebun dan lain-lain. Untuk itu laki-laki diminta untuk hargai hak-hak perempuan yang harus dipenuhi.
Mereka juga berpendapat bahwa, tidak harus leki-laki yang didepan, tidak harus perempuan yang didepan tetapi kita sama-sama menjadi teman dalam perjuangan, karena melalui pendidikan dan kesempatan yang mampu melawan realita hidup orang Papua saat ini.
Dibalik adanya harapan itu, ada hal yang perlu diantisipasi terutama tentang upaya keberpihakan pada perempuan. Bagaimanapun kita yakin bahwa gerakan perempuan yang muncul dalam berbagai wadah organisasi mempunyai pesan strategis dan fungsional dalam upaya pemberdayaan perempuan, khususnya dalam penyiapan kaum perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan.
Karena masalah yang ada, bukan hanya kaum laki-laki ataupun kaum perempuan. Bagaiman kita, dengan semangat, pengetahuan, ide-ide untuk melawan perubahan budaya akibat adanya pemekaran, kuriklum pendidikan yang tidak sesuai dengan metode belajar orang Papua. Sehingga perempuan Papua sebagai bagian dari golongan masyarakat di Papua yang saat ini berada dalam penindasan imperialisme dan kolonialisme serta Kapitalisme yang merubah adat istiadat asli Papua yang sudah secara alami terbentuk dan stabil itu menjadi ketergantungan pada uang dan pemerintah.
Sementara itu, Perempuan Papua (PP) Yogyakarta juga mengharapkan keterlibatan laki-laki untuk menghadari setiap diskusi yang rencananya akan dilakukan perminggu sekali.
(Manfred Kudiai)
Hal ini dikemukakan setelah adanya kegiatan nonton bersama dari salah satu film dokumenter “Tanah Mama” yang disutradarai oleh Asrida Elisabeth berdurasi 62 menit. Film ini menceritakan sepenggal kisah semangat perjuangan seorang istri sekaligus ibu bernama Halosina yang tinggal di pedalaman Yahukimo.
“Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara” adalah tema besar yang diangkat dalam sesi diskusi dan nonton bersama yang diselenggarakan oleh beberapa mahasiswi Papua di Yogyakarta yang mengatasnamakan Perempuan Papua (PP). Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, (31/08) dari pukul 18.00 hingga selesai di asrama mahasiswa Kabupaten Tambrauw Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Maria Baru yang menjadi moderator dalam kegiatan ini, seusai nonton bersama memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir. Kira 30-an peserta yang terdiri dari perempuan dan laki-laki Papua yang sedang kuliah di beberapa perguruan tinggi serta partisipan dari beberapa organisasi pro demokrasi di DIY, untuk memberi tanggapan terkait film dokumenter yang ditayangkan di layar besar itu.
Banyak tanggapan-tanggapan yang dikemukakan oleh peserta yang hadir dari berbagai sudut pandang: Ekonomi, Pendidikan, Sosial dan budaya.
Dari semua tanggapan-tanggapan tersebut yang dikutip dari media ini, mereka (Perempuan Papua) tidak menerima perlakuan ketidak adilan yang dialami perempuan Papua, khususnya dalam lingkup keluarga, yang mana kehilangan kasih sayang ayah terhadap istri dan anak-anaknya yang cenderung membelenggu perempuan, sehingga perempuan dinilai menjadi kaum yang tidak berdaya.
Perempuan Papua muda yang sedang mengayam pendidikan, harus mencontoh semangat seorang mama, Halosina. Karena menurut mereka, walaupun dari keterbatasan-keterbatasan kebutuhan hidup seperti pendidikan, Sosial dan ekonomi. Keluarga yang harmonis dihancurkan setelah adanya uang, Ia tetap berdiri kokoh sebagai sosok perempuan berani untuk berjuang melawan realita hidup yang dialaminya.
Selain itu, kedisiplinan waktu mama-mama Papua sangat tinggi, yang mana bisa membagi waktu untuk berkebun, mengurus anak-anak- mengurus suami dan berjualan di pasar, hal itu dilakukan diluar kesedaran kita, padahal mama-mama tidak memiliki jam atau alat-alat yang dapat membatu mereka untuk membaca waktu.
Untuk itu, perempuan Papua minta kepada kaum laki-laki untuk jangan lagi membatasi ruang lingkup perjuangan perempuan, karena perjuangan perempuan sangat dibutuhkan saat ini. “Di tangan perempuan ada kehidupan, dimana dia ditempatkan disitu ada kehidupan,” kata salah satu peserta saat diskusi berlangsung. Sebagai perempuan Papua harus buktikan kalau perempuan Papua bisa, memang secara fisik perempuan lemah tetapi dalam mentalitas perempuan harus lebih kuat dari laki-laki.
Menurut mereka, kehidupan perempuan-perempuan Papaua di Papua dijadikan sebagai objek. Apapun harus dikerjakan oleh perempuan. Misalnya: mengendong anak, menyiapkan makan, mencari kayu, berkebun dan lain-lain. Untuk itu laki-laki diminta untuk hargai hak-hak perempuan yang harus dipenuhi.
Mereka juga berpendapat bahwa, tidak harus leki-laki yang didepan, tidak harus perempuan yang didepan tetapi kita sama-sama menjadi teman dalam perjuangan, karena melalui pendidikan dan kesempatan yang mampu melawan realita hidup orang Papua saat ini.
Dibalik adanya harapan itu, ada hal yang perlu diantisipasi terutama tentang upaya keberpihakan pada perempuan. Bagaimanapun kita yakin bahwa gerakan perempuan yang muncul dalam berbagai wadah organisasi mempunyai pesan strategis dan fungsional dalam upaya pemberdayaan perempuan, khususnya dalam penyiapan kaum perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan.
Karena masalah yang ada, bukan hanya kaum laki-laki ataupun kaum perempuan. Bagaiman kita, dengan semangat, pengetahuan, ide-ide untuk melawan perubahan budaya akibat adanya pemekaran, kuriklum pendidikan yang tidak sesuai dengan metode belajar orang Papua. Sehingga perempuan Papua sebagai bagian dari golongan masyarakat di Papua yang saat ini berada dalam penindasan imperialisme dan kolonialisme serta Kapitalisme yang merubah adat istiadat asli Papua yang sudah secara alami terbentuk dan stabil itu menjadi ketergantungan pada uang dan pemerintah.
Sementara itu, Perempuan Papua (PP) Yogyakarta juga mengharapkan keterlibatan laki-laki untuk menghadari setiap diskusi yang rencananya akan dilakukan perminggu sekali.
(Manfred Kudiai)
0 thoughts on “Belajar Dari Ibu Halosina: Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara”