Calabai, Perempuan dalam Tubuh Lelaki (Foto: Dok, Prib/KM) |
“Orang lain tidak bisa menerima keberadaan kita karena kungkungan dogma yang mereka yakini. Mereka berbeda pandangan dengan kita. Hanya karena orang lain beda pandangan dan memperlakukan kita dengan buruk bukan berarti kita boleh membalas perbuatan mereka dengan tindakan yang sama. Jika kita bertindak seperti itu, sama saja kita tidak dapat menerima perbedaan… (hal. 168).”
Kekerasan atas nama agama telah tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Kekerasan dalam rangka “membela tuhan” menjadi noktah hitam sejarah kemanusiaan di berbagai belahan dunia dan di berbagai agama. Agama yang pada intinya adalah membangun relasi damai dengan yang adi kuasa sehingga relasi dengan sesama juga menjadi damai, ternyata telah terdegradasi karena para penganut agama tersebut berupaya mempertahankan “kebenaran” yang mereka yakini. Perasaan tersinggung karena kebenaran yang diyakini berbeda dengan pihak lain telah memicu kekerasan atas nama agama.
Novel Calabai ini menggambarkan bagaimana kelompok adat yang dulu pernah sangat penting di masyarakat, sekarang mengalami perlakuan kekerasan karena dianggap menyimpang dari agama mainstream yang sekarang berkuasa.
Selain membahas kekerasan agama dan penderitaan (fisik dan prikologis) yang diakibatkan oleh perlakuan kelompok mayoritas, novel ini sangat kuat menampilkan perjuangan psikologis para calabai yang dianggap makhluk yang hina dan dinista oleh Tuhan. Perjuangan psikologis harus dilakukan di keluarga dan di masyarakat. Selain tokoh utama yang bernama Saidi, tokoh lain yang dipakai oleh penulis untuk menggambarkan penderitaan psikologis adalah Asnawi alias Wina.
Saidi terlahir sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga Baso, seorang mantan tentara Kahar Muzakar. Namun seiring dengan pertumbuhannya, Saidi ternyata adalah seorang calabai. Seorang banci. Sebagai seorang mantan tentara DI/TII, Baso berupaya keras untuk mengubah Saidi menjadi seorang lelaki yang sesungguhnya. Sering kali upaya tersebut dilakukan dengan kekerasan. Karena tidak tahan lagi dengan perlakuan ayahnya, Saidi memutuskan untuk meninggalkan rumah secara baik-baik. Perjalanan meninggalkan rumah membawanya ke komunitas bissu di Segeri di Pangkep.
Melalui berbagai kisah mistis akhirnya Saidi terpilih menjadi bissu. Bissu adalah kelompok calabai yang dianggap menjadi wakil dewata. Bissu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan dewata. Mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit, mengatasi bencana dan memimpin upacara-upacara, seperti awal tanam padi. Dalam waktu yang tidak lama, Saidi terpilih menjadi Puang Malolo, yaitu wakil pimpinan bissu.
Perkenalan Saidi dengan LSM pemerhati budaya dan sutradari film dari Inggris membuat dia sibuk di luar tugasnya sebagai bissu (hal. 351). Kematian Puang Matoa Ma’rang, pemimpin para bissu membuat kegaduhan di kalangan bissu. Penguburan Puang Matoa Ma’rang baru bisa dilakukan bersamaan dengan pengangkatan Puang Malolo Saidi sebagai Puang Matoa. Namun saat itu Puang Saidi sedang berada di Singapura membuat film. Akibatnya para bissu mengambil langkah untuk mencopot Saidi sebagai Puang Malolo. Pencopotan Puang Maolo ini adalah yang pertama kali terjadi dalam tradisi para bissu. Akibatnya wilayah Segeri mengalami wabah penyakit yang tak bisa diatasi. Akhirnya Saidi yang sudah menjadi bissu biasa diminta untuk melakukan upacara mengusir wabah. Upacara yang dipimpin oleh Saidi berhasil, dan posisinya sebagai Puang Matoa dipulihkan. Melalui kisah Saidi ini kita dikenalkan dengan berbagai pernik tradisi bissu. Tradisi bissu adalah tradisi yang sangat penting bagi orang Bugis. Saat agama Islam masuk, tradisi ini semakin surut perannya dalam masyarakat. Namun komunitas bissu tetap bertahan di Segeri-Pangkep.
Asnawi, atau yang lebih suka dipanggi Wina adalah seorang calabai anak seorang pengusaha di Makassar. Sebagai seorang anak tunggal, orangtua Asnawi berupaya untuk membuat Asnawi hidup normal sebagai laki-laki. Namun upaya yang dilakukan tersebut mengalami kegagalan, karena Asnawi lebih suka menjadi Wina. Orangtua Asnawi menyerahkan anaknya ke komunitas bissu supaya Asnawi bisa menjadi orang yang berharga di masyarakat. Orangtua Asnawi berharap Wina suatu saat bisa menjadi bissu. Harapan orangtua Asnawi ini menarik. Sebagai seorang Islam yang taat dan pengusaha besar, ternyata orangtua Asnawi tetap melihat tradisi orang Bugis sebagai salah satu bagian dari kehidupannya. Meski ia tahu dalam kalangan Islam mainstream komunitas bissu dianggap sebagai penyimpangan agama, namun demi hidup anaknya, dia mempercayai komunitas bissu sebagai sarana kebergunaan anaknya yang adalah seorang calabai.
Sebagai seorang calabai yang tinggal di kota besar, pergaulan Wina dengan para waria sudah sedemikian jauh. Ia dua kali jatuh cinta kepada lelaki. Lelaki pertama yang dicintainya adalah seorang mahasiswa. Lelaki tersebut mencampakkan begitu saja dirinya saat tahu bahwa dia adalah seorang waria. Kisah cintanya yang kedua adalah dengan seorang pegawai negeri yang tetap mencintainya meski tahu dia adalah seorang waria. Namun akhirnya si lelaki memilih menikah dengan perempuan yang sesungguhnya. Dua kegagalan cinta ini membuat Wina sakit hati. Perasaan kehilangan itu digambarkan dalam sebuah dialog antara Wina dengan Saidi dengan sangat baik (hal. 244).
Bagaimana kehidupan asmara para bissu? Apakah para bissu tidak pernah jatuh cinta? Bissu adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Mereka lebih tertarik secara asmara dengan para laki-laki. Bayqunie secara cerdik memakai kisah Saidi yang jatuh cinta kepada Sutte, pemuda yang menjadi tobotonya. Toboto adalah pemuda yang menjadi pelayan bagi seorang bissu.Meski Saidi bisa mengekang cintanya kepada Sutte, dalam rangka mempertahankan martabatnya sebagai seorang Puang Malolo, namun tak bisa dipungkiri bahwa seorang bissu pun tetap bisa jatuh cinta. Bayqunie mendramatisir topik asmara para bissu ini dengan kisah Wina yang juga jatuh cinta kepada Sutte.
Bagaimana seharusnya hubungan Islam dengan tradisi bissu? Apakah harus selalu diwarnai dengan kekerasan? Bayqunie menawarkan sebuah solusi. Dalam perjalanan Saidi dan para bissu ke Surabaya, mereka bertemu dengan seorang kyai. Dalam dialog membahas posisi calabai dalam Islam, Kyai Kusen membedakan antara naluri dan perilaku. Naluri tidak bisa dihindari dan pasti dikehendaki oleh Allah. Sementara perilaku bisa dikontrol oleh yang bersangkutan. Perilaku calabai adalah hal yang menyimpang. Itulah yang harus dihindari. Kyai Kusen mengatakan bahwa calabai dicintai Tuhan apa adanya. Namun perilakunya tidak disukai (hal. 298-303). Solusi yang ditawarkan oleh Bayqunie ini tentu saja sangat berat bagi para waria. Bagaimana mungkin mereka bisa menekan perasaan asmara yang selalu ada di hampir semua manusia? Para bissu dan Kyai Kusen telah membuktikan bahwa mereka bisa. Bagaimanapun solusi ini perlu dipertimbangkan.
Pemahaman terhadap tradisi adalah sangat penting supaya cara-cara kekerasan bisa dihindari. Agama-agama dominan harus peka terhadap tradisi. Bagaimanapun ada secercah sinar ilahi dalam tradisi-tradisi. Seandainya secercah sinar ilahi dalam tradisi itupun tak bisa diterima oleh agama-agama dominan, hendaknya perlakuan kekerasan tetap harus dihindarkan. Baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikis.
Novel Calabai karangan Pepi Al-Bayqunie ini menantang kita untuk merenungkan perlakuan kita kepada tradisi-tradisi yang berada di sekitar kita dan berbeda dari kita. Apakah tindakan kita berfokus kepada dogma yang kita yakini saja tanpa mau menengok cara pandang tradisi yang berbeda dari kita? Ataukah kita cukup arif untuk mau memahami posisi mereka?
Jika kita memahami tujuan agama adalah untuk membangun relasi damai dengan yang adi kuasa sehingga relasi dengan sesama juga menjadi damai, maka kekerasan dalam rangka pemurnian agama dan mempertahankan dogma bisa sebanyak mungkin dihindari. Semoga.
*) Penulis adalah anak mudah Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia
Sumber : https://indonesiana.tempo.co/…/kekerasan-agama-atas-nama mempertahankan-dogma.
0 thoughts on “ Kekerasan atas Nama Agama”