(Foto: Dok. Google/KM) |
Rentetan perjuangan dengan gelimang pengorbanan sudah dan terus akan dilakukan oleh rakyat Papua Barat demi mencapai cita-cita pembebasan nasional Papua Barat dari cengkraman penjajah kolonial Indonesia dan kepentingan negara-negara dunia pertama. 1 Desember 1961, merupakan salah satu tonggak awal keinginan rakyat Papua Barat membebaskan diri dari penjajah. Pada momentum politis ini telah melahirkan "Manifesto Politik Papua Barat" menjadi landasan perjuangan pembebasan Papua Barat secara politik.
Awal perjuangan rakyat Papua Barat melawan penjajah, tak hanya karena 01 Desember 1961 tetapi jauh sebelum itu telah dimulai dengan perlawanan rakyat dengan gerilya hingga perjuangan politik yang diplomatis. Pada masa pendudukan Belanda, akhir 1940 bermunculan beberapa partai politik Papua Barat yang turut membangun kesadaran akan nasionalisme Papua Barat. Partai politik di Papua Barat saat itu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan partai-partai yang ada di Belanda maupun Indonesia. Partai lokal lahir sesuai dengan kebutuhan dan kemauan politik rakyat di Tanah Papua Barat.
Kesadaran melawan penjajah secara politik juga turut melahirkan perlawanan bersenjata dengan bergerilya. Tonggak awal pencetusan berdirinya perjuangan bersenjata di Manokwari, Juli 1965 oleh para eks-pasukan Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps). Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Johan Ariks juga sebelumnya terlibat dalam pendirian beberapa partai politik diantaranya; Gerakan Persatuan Nieuw Guinea dan Partai Demokraticshe Volkspartij (DVP).
Pada periode 1961 - 1970, selain dari pendirian partai Politik tidak hanya sebatas membangun kesadaran, tetapi juga untuk melawan militerisme Indonesia. Pada dekade ini terdapat 7 (tujuh) kali Operasi Militer yang digencarkan Indonesia untuk membasmi perlawanan dan kesadaran rakyat Papua Barat. Awal invasi militer Indonesia, ditandai dengan terbitnya Hukum Perang (Dektrit) Trikora pada akhir tahun 1961. Operasi Militer pertama kali dipimpin lansung oleh Mayor Ali Murtopo dan Benny Moerdani. Setelah tahun-tahun awal pada dekade ini, berikutnya muncul juga beberapa nama militer Indonesia yang memimpin dalam pembantaian rakyat Papua Barat, diantaranya A.Yani (Operasi Wisnumuri, 1963 -1965), R.Kartidjo (Operasi Sadar, 1965), R.Bintoro (Operasi Bharatyudha, 1966 - 1967) dan Sarwo Edi (Operasi Tumpas, 1967 - Operasi Wibawa 1967 - 1970).
Pelaksaaan Operasi Militer pada dekade 1961 - 1970 adalah ilegal menurut hukum Indonesia, karena pada saat itu Papua Barat belum resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat diartikan sebagai penjajahan. Belakangan diketahui bahwa nafsu pendudukan militer Indonesia ini diboncengi dengan kepentingan imperialis, yaitu dilaksanakannya Kontrak Karya Freeport pada tahun 1967 sebelum pelaksaan referendum yang oleh Indonesia diubah menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Sebab akibat dari niat yang busuk Indonesia dan kroninya juga sangat mempengaruhi proses PEPERA, yaitu adanya pengubahan dari yang seharusnya, salah satu diantanya "Satu Orang, Satu Suara" menjadi "Dewan Musyawarah". Akhirnya pelaksaan PEPERA pun tidak sesuai dengan kebiasaan hukum internasional dan melanggar Perjanjian New York tahun 1962. Sepihak oleh Indonesia rakyat Papua Barat dipilih dan ditentukan untuk memilih dalam PEPERA hanya 1025 Orang, dari kurang lebih 800.000 jiwa saat itu.
Pengalaman traumatik akan kekejaman militerisme Indonesia, tak menghentikan perlawanan rakyat Papua Barat untuk pembebasan nasional. Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem bersama Jakob Prai, Jarisetou Jufuway dan Louis Wajoi mencetuskan "Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat ", di Desa Waris (Marvic). Keinginan akan mendirikan negara sendiri pun terus bergema di pelosok bumi Papua Barat, sesudah tiga tahun Proklamasi di Marvic. Pada tanggal 3 Desember 1974, di Serui lahirlah deklarasi Negara Melanesia Barat yang meliputi Sorong - Samarai.
Salah satu peristiwa yang hingga kini masih terus dikenang rakyat Papua Barat adalah pembunuhan tokoh budayawan Papua, Arnold Clemens Ap, 26 April 1984. Arnold dibunuh karena ketakutan Militer Indonesia terhadap perannya yang turut membangun kesadaran akan nasionalisme Papua melalui gerakan musik-budaya "Mambesak". Adapun keinginan rakyat Papua Barat untuk bebas dari cengkraman penjajah juga sudah dan akan terus melahirkan momentum politis, salah satu diantaranya deklarasi Negara Melanesia Barat pada tanggal 14 Desember 1988 oleh Dr. Thomas Wapai Wanggai.
Selain pertistiwa bersejarah, perlawanan rakyat Papua Barat terus dilakukan dengan aksi-aksi demontrasi, diplomasi, gerilya hingga pendirian kantor-kantor perwakilan perlawanan rakyat Papua Barat dibeberapa negara, untuk menggalang solidaritas masyarakat internasional dan mengkampanyekan kekejaman militer Indonesia.
01 Desember 1961 merupakan tonggak kesadaran nasionalisme Papua dengan melahirkan manifesto politik Papua secara terbuka. Dengan menetukan nama negara : Papua Barat, lagu kebangsaan : “Hai, Tanahku Papua” serta “Bintang Kejora” sebagai bendera nasional dan lambang Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”. Maka rakyat Papua sudah dan akan selalu memperingati setiap 01 Desember sebagai kemerdekaan terjajah yang telah melahirkan manifesto politik Papua.
Hingga pada tahun 2015 ini, ratusan ribu rakyat Papua telah terbunuh dalam melawan dan karena kekejaman militer Indonesia, yang juga terus menyokong kepentingan negara dunia pertama.
Hormat dan jabat erat untuk rakyat yang terus berlawan! Hidup Rakyat! Hidup Rakyat Papua!
Selamat menyongsong 01 Desember 2016.
Papua Merdeka
*) Penulis adalah Peduli Terhadap Sejarah Bangsa Papua
0 thoughts on “ Makna 01 Desember 1961 Bagi Rakyat Papua”