Foto, dok Awepai Anouw/KM |
Oleh: Yusuf Awepai Anouw
Opini, (KM). Hidupku jadi hampa tanpa ada rasa aman dan damai, tantangan dan halangan jadi teman hidup. Tetesan air mata menjadi penghias pipihku di persimpangan jalan, dimanakah suara kedamaian yang hakiki di atas Tanah ini, ataukah ada jalan lain yang bisa kutempuh untuk menghakiri dan mendamaikan batin yang masih terluka ini untuk mengakhiri perjalananku yang aku tempuh di atas kerikil batu yang berduri?
Dimanakah kedamaian itu agar hidupku bisa tenang, aman dan damai tanpa melihat banyaknya tetesan air mata yang menghiasi perjalananku yang panjang, dan saya bisa berhenti beristirahat sejenak untuk menghiurkan atas segala yang terjadi dibenakku.
Rasanya cape dan lelah tapi harus kujalani di atas kerikil batu yang tajam untuk mencari kedamaian agar hatiku legah dan tenang. Atau adakah jalan solusi yang bisa kudapatkan disana untuk menghenan mereka yang sudah tiadakan di atas tanah ini oleh manusia yang memiliki berhati iblis.
Adakah rasa kemanusiawi yang bisa kudapatkan dalam benakku agar aku bisa berhenti berjalan di atas kerikil batu yang berduri tajam di persimpagan jalan? Ataukah meman itu takdir dari Sang Khalik agar aku berjalan terus dan terus tampah berhenti menghilus keringat yang masih membasahi di seluruh tubuhku?
Dimanakah damai itu berada, berbagai jalan kulalui tanpa alas kaki di persipangan jalan namun, disana yang kudapatkan adalah duka nestapa dan deraian air mata oleh anak negri ini, apakah damai itu tinggi, setinggi langit? Ataukah memang sulit untuk di dapatkan.?
Rasanya sakit ketika melihat deraian air mata anak negri ini yang terus mengalir dan mengalir namun apalah dayaku, untuk mengakhiri semua ini, hanyalah tinggal perih dan nyiluh di hati, yang kian datang bertubi-tubi di setiap saat tertentu.
Andai saja Sang khalik punya tujuan yang lebih sempurna dari pada tujuan manusia, aku akan merangkai semua yang kulalui dengan coretan pena yang berwarna merah yang di sirami dengan tetesan darah dosa nestapa di pinggiran jalan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia. Semarang, 28 Januari 2017
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “Sang Pejalan Kaki”