Foto diambil dari google.ist |
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.COM--Sudah 50 tahun, PT Freeport Indonesia beroperasi di Timika, Papua. Dalam kurun waktu itu, banyak persoalan lingkungan dan sosial muncul dan tidak terselesaikan terkait operasinya. Karena itu, masyarakat Papua minta dilibatkan dalam pembicaraan mengenai masa depan industri tambang di kawasan itu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua dengan tegas menilai, telah terjadi perubahan kondisi fisik lingkungan yang mempengaruhi masyarakat Papua, terutama suku Amungme dan suku Kamoro. Kehidupan sosial masyarakat kedua suku itu memburuk karena keberadaan PT Freeport.
Salah satunya adalah karena aktivitas pembuangan limbah tambang di tanah adat Amungme ke kawasan tanah adat suku Komoro. Pembuangan limbah ini mengusik mata pencaharian warga setempat sebagai nelayan sejak puluhan tahun lalu.
Entah PTFI dinasionalisasikan, atau pun teruskan Posisi Kontrak Karya, sistimnya tak akan berubah. Yang berubah adalah posisi kedudukan dan Nilai tawar keuntungan dari kapitalnya. Sistimnya, memang tak memihak kepada manusia, dan proses produksi ekploitasi dan eksplorasinya selalu melompati hukum-hukum alam.
Pegunungan keindahan Manangkawi sudah rusak, hutan-hutan semakin menggunduli, ekosistem semakin punah, tiada lagi tampat dansa bagi moyang dan leluhur, masyarakat semakin keterasingan akibat tanah di rampas, terusik dari mata pencarian.
Apa lagi yang dituntut oleh elit lokal papua yang mengatasnamakan Rakyat West Papua? Libatkan suku Amungme dan Kamoro dalam pembicaraan soal PTFI? Gila. Apa yang mau dipertahankan? Semua sudah tiada. Amungme dan Kamoro hanya tinggal Nama Suku. Hanya tinggal manusianya tanpa alam mereka. Dilibatkan untuk Uang? Uang tak akan memperbaiki tatanan sosial dan alam yang telah rusaki kehidupan yang sesungguhnya. Uang hanya mengalienasi nalar manusia yang, seharusnya, bangkit dan memperbaikinya sendiri dengan cara lawan.
Liputan 6 mengabarkan soal Gubernur Papua, Lukas Enembe mendukung Nasionalisasi saham 51%. Dukungannya mengatasnamakan rakyat. “Tugas saya Hanya menjaga rakyat agar menjaga eksistensi bangsa” Tulis Enembe dalam Bukunya yang berjudul “Papua Antara Uang dan Kewenangan” .
Sama halnya dengan beberapa waktu lalu, Menteri Kemaritiman, Luhut, dan Menteri Sumber Daya Mineral dan Batu Bara, Johan, mengatakan bahwa keputusan Indonesia untuk disvestasi, itu mepertimbangkan Kepentingan Rakyat Papua. Dari dulu, modelnya sama. Sama halnya dengan Gusdur memberikan Papua daerah Otonomi Khusus dengan Stigma Separatis, “untuk menjaga eksistensi bangsa ini, supaya tetap” kata Gusdur.
Begitu pula dengan beberapa Lembaga Masyarakat (adat) Papua yang terus mengingatkan kepada Indonesia dan PTFI untuk—apapun kebijakan yang diambil, entah disvestasi atau kontrak karya—harus melibatkan Orang Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro. Wah, ini keliru.
Narasinya bagus. Namun refleksi kesadaran sosial tidak tidak bekesimpulan untuk memperbaiki. Apa kah tuntutan itu untuk demokratisasi hak dan kepentingan? Tidak! Demokrasi di Negara ini hanya ilusi kaum pemodal. Silahkan tuntut untuk libatkan orang Papua dalam pembicaraan untuk ditipu sekain kali diatas sakit, duka, menderita akibat keberadaan Perusahan raksasa milik pemodal.
Memang benar bahwa kapitalisme itu sistim yang tak masuk akal. Sebab sosialisasi produksi dan jasa, selalu mewarnai wajah sosial. Selalu membicarakan rakyat, legitimasi rakyat tertindas, mengajak rakyat dengan demokrasinya. Namun hasilnya, kapital, untuk pribadi mereka. apa yang didapatkan oleh rakyat? Kemiskinan, keterasingan, alienasi, pemorkosaan, pembunuhan, Hukum dan Pengadilan hanya menjadi tempat pengaduan yang tiada penyelesaian. Militer (TNI dan Polisi) menjadi sekuriti perusahaan; rakyat bertindak, jawabannya moncong senjatah, penjarah dan Kematian. Aspirasi rakyat Papua dianggap suara orang Bodok, terbelakang, primitif; dan terus di ingkarnasi.
Maka, aspirasi rakyat Papua yang sampai hari ini terus di injak-injak, dan pura-pura tuli dan bego oleh pemeritah Indonesia, mulai dari Preside, Menteri, Perlemen, Gubernur Papua dan elit-elit lokal Papua, termasuk pemodal:
1. Usir Freport dari Tanah Papua.
2. Hak Penentuan Nasip Sendiri bagi Rakyat West Papua sebagai Solus Demokratis
3. Biarkan Rakyat West Papua menentukan Nasip Massa Depan Pertambangan dan Sumber Daya Alam yang ada di West Papua.
Coretan Dinding ampnews
Memang benar bahwa kapitalisme itu sistim yang tak masuk akal. Sebab sosialisasi produksi dan jasa, selalu mewarnai wajah sosial. Selalu membicarakan rakyat, legitimasi rakyat tertindas, mengajak rakyat dengan demokrasinya. Namun hasilnya, kapital, untuk pribadi mereka. apa yang didapatkan oleh rakyat? Kemiskinan, keterasingan, alienasi, pemorkosaan, pembunuhan, Hukum dan Pengadilan hanya menjadi tempat pengaduan yang tiada penyelesaian. Militer (TNI dan Polisi) menjadi sekuriti perusahaan; rakyat bertindak, jawabannya moncong senjatah, penjarah dan Kematian. Aspirasi rakyat Papua dianggap suara orang Bodok, terbelakang, primitif; dan terus di ingkarnasi.
Maka, aspirasi rakyat Papua yang sampai hari ini terus di injak-injak, dan pura-pura tuli dan bego oleh pemeritah Indonesia, mulai dari Preside, Menteri, Perlemen, Gubernur Papua dan elit-elit lokal Papua, termasuk pemodal:
1. Usir Freport dari Tanah Papua.
2. Hak Penentuan Nasip Sendiri bagi Rakyat West Papua sebagai Solus Demokratis
3. Biarkan Rakyat West Papua menentukan Nasip Massa Depan Pertambangan dan Sumber Daya Alam yang ada di West Papua.
Coretan Dinding ampnews
0 thoughts on “Kapitalisme: Sistem Tanpa Masa Depan”