Suasana Aksi di Halaman Susteran YMY Maranatha oleh Mahasiswa dan Pemuda Katolik yang tergabung di dalam SPUKPP. (Foto: Redaksi KM) |
JAYAPURA,
KABAR MAPEGAA.com – Bertempat di Halaman Susteran YMY Maranatha, Perumnas 1,
Waena, Pada Jumat, (09/06), sedikitnya 50-an umat Katolik menggelar aksi bisu.
Aksi
ini digelar dari Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua (SPUKPP) dengan
tujuan mendesak para kelima uskup di Tanah Papua memperhatikan nasib hidup
umatnya.
Koordinator
SPUKPP, Christianus Dogopia mengatakan, suka duka, kecemasan, harapan dan
kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah menjadi suka duka, kecemasan,
harapan dan kegembiraan para uskup di Tanah Papua.
Menurut
Dogopia, Gereja hadir di Papua karena adanya orang Papua. Gereja harus
menyuarakan kaum tertindas, terhina, teraniaya, dan yang dibunuh karena
memperjuangan keadilan, kebenaran dan perdamaian di Tanah Papua.
“Suka
duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua haruslah
menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan para uskup di Tanah
Papua. Gereja katolik hadir di tanah Papua karena misi keselamatan dari Allah
kepada segala bangsa termasuk bangsa Papua, rumpun Melanesia”, katanya di
hadapan masa aksi dan para para wartawan.
“Gereja
Katolik hadir di Papua karena adanya orang Papua. Melalui dan oleh Gereja, Misi
keselamatan Allah diwartakan diatas tanah Papua demi keselamatan bagi yang
tertindas, terhina, teraniaya, dan yang dibunuh karena memperjuangkan keadilan,
kebenaran dan perdamaian di tanah ini”, demikian lanjut Dogopia.
Dogopia
menegaskan, Gereja katolik di Papua terkesan bungkam ketika umatnya dibantai
habis-habisan. Ia mempertanyakan suara kenabian Gereja, hal ini menurut
dirinya, gereja terkesan meninggalkan domba-dombanya ketika disergap oleh para
serigala.
“Gereja hanya diam ketika menyaksikan pembantaian
umat Allah di atas Tanah Papua. Gereja membisu ketika melihat nilai-nilai
Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian di atas tanah Papua diinjak-injak. Dimanakah
suara kenabian gereja? Dimanakah para Gembala (uskup) ketika terjadi
pembantaian? Para Gembala Umat Katolik di tanah Papua haruslah menyuarakan
suara kenabiaannya. Gembala janganlah meninggalkan domba-dombanya ketika mereka
disergap oleh para serigala,”tegasnya.
Menurut
Dogopia, selama ini Umat Tuhan di tanah Papua tersingkir, termarginalisasi dan
dibunuh, tetapi belum ada suara Kenabian dari para Gembala Umat Katolik.
“Maka Kami
sebagai Umat Katolik Pribumi yang prihatin terhadap Nasib Gereja dan Umat
Pribumi Papua meminta agar pihaknya memperhatikan persoalan dasar yang menjadi
tuntutan bagi umat di tanah Papua,”bebernya.
Kepada uskup
Aloysius, Dogopia menegaskan bahwa penyerahan penyataan bukan mewakili kelima
uskup. Tapi itu khusus untuk keuskupan Agats-Asmat. Selain itu, umat pribumi
katolik yang tergabung dalam Solidaritas Umat Pribumi Katolik Papua (SUPKP)
mendesak dan meminta kepada kelima uskup dengan 5 tuntutan, antara lain;
Pertama para
Uskup di tanah Papua Wajib menyuarakan suara Kenabian; demi penegakan
nilai-nilai Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian. Karena selama ini kami belum
mendengar suara kenabian dari gembala kami.
Kedua,para Uskup di tanah Papua wajib memperjuangkan
Penghapusan STIGMATISASI terhadap Orang Asli Papua. Karena dengan adanya
stigma; Separatis, Makar, Pengacau, Kriminalis dan berbagai stigma lainnya
menjustifikasi penangkapan, penembakkan dan bahkan pembunuhan terhadap Orang
Asli Papua.
Ketiga, Gereja Katolik di tanah Papua sudah memasuki 150
tahun umurnya. Banyak putra-putra Papua telah menjadi Imam di tanah Papua. Maka
kami meminta kepda para uskup di Papua untuk usulkan ke Roma agar seorang
Pastor Papua diangkat menjadi Uskup.Karena kami yakin, putra Papua juga turut
merasakan suka duka, harapan, kecemasan dan kegembiraan umat Tuhan di tanah Papua akan
mengumandangkan suara kenabiaannya demi keselamatan Umatnya di tanah
Papua.
Keempat, Selama
ini Gereja-Gereja Pasifik (Konferensi Para Uskup Pasifik) telah berbicara dan
mengangkat segala persoalan Kemanusiaan di tanah Papua. Tetapi uskup-uskup di
tanah Papua dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyuarakan
tentang segala persoalan kemanusiaan (Pelanggaran HAM) di atas tanah Papua.
Oleh karena itu
sudah layak dan sepantasnya, Gereja Katolik (Para Uskup) di tanah Papua
membangun kerja sama dengan Gereja Katolik di wilayah Pasifik untuk menyuarakan
persoalan kemanusiaan di tanah Papua. Karena wilayah pasifik dan Melanesia
memiliki kesamaan dengan Papua. Karena itu harus ada kerja sama dalam bidang
pastoral, antara Gereja Katolik di tanah Papua dan Gereja Katolik di Pasifik.
Dari tempat
yang sama, dihadapan masa aksi bisu, Mgr.
Aloysius Murwito, OFM. Mengatakan begini, “Saya senang, dengan terbuka, senang
hati menerima ungkapan-ungkapan kalian.
Saya juga senang harapan-harapan kalian. Karena saya ada di hutan, di luar
keramain situasi disini. Jayapura ini yang paling muncul di permukaan,
sementara di asmat disana itu masih
sembunyi di pedalaman”.
“Tapi untuk saya ini sebagai masukan
sebagai umat di tanah Papua ini. Mungkin juga mengungkapkan kerinduan dari
saudara/i yang tidak hadir bersama kalian yang ada dimana-mana, di tanah Papua
ini. Maka ini juga menjadi bagian yang harus kami pikirkan, renungkan dan
dengarkan. Bukan itu saja, tapi kami diminta untuk lebih lagi memperhatikan
saudara/i semua, teristimewa umat disini”, tutur Uskup Aloysius yang lama
berkarya di tanah Papua itu, di Waena.
Pewarta :
Solemen Itlay
Editor : Alexander Gobai
0 thoughts on “Kelima Uskup Di Papua Didesak Agar Perhatikan Nasib Hidup Umatnya ”