BREAKING NEWS
Search

Willem Wandik,S.Sos : Presiden Mendeklarasikan Dialog Kebangsaan Untuk Tanah Papua di Hari Natal

kedamaian bagi papua
Kabarmapegaa.com– Mempertahankan resolusi persoalan di Tanah Papua dengan jalan kekerasan dan konflik tidaklah dapat menuntaskan substansi masalah yang terjadi di Tanah Papua. Pendekatan militeritik terbukti telah gagal mendatangkan kedamaian dan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Papua.

Rakyat Papua adalah masyarakat “bangsa” yang memiliki keadaban dan tradisi yang luhur. Hal itu ternodai dengan tindakan kekerasan militeristik yang memicu konflik berkepanjangan dan gelombang kekerasan terhadap masyarakat sipil yang tidak pernah ada habisnya di Tanah Papua.

Presiden dalam sela-sela kunjungannya ke Tanah Papua, bertepatan dalam momentum hari Natal, telah menyatakan sikap akan membuka ruang dialog bagi pemecahan persoalan di Tanah Papua. Menurut Presiden, ruang dialog merupakan sarana yang efektif untuk menemukan solusi bersama yang didasarkan pada kehendak luhur rakyat Papua dan cita-cita perjuangan rakyat Papua.

Presiden memberikan contoh penuntasan persoalan di beberapa daerah yang bisa dirumuskan dengan jalan dialog. Namun persoalan di Tanah Papua tidaklah semudah persoalan yang dihadapi oleh Presiden yang saat itu menjabat sebagai Walikota dan Gubernur.

Terdapat kompleksitas masalah yang telah berumur 53 tahun yang melandasi persoalan di Tanah Papua. Namun jalan tengah yang ditawarkan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak pernah tuntas menyentuh akar persoalan yang ada di Tanah Papua.

Penerapan Otonomi Khusus di Tanah Papua hanya menampilkan “casing” otsus semata tetapi lemah pada penerapan substansi yang dikehendaki oleh rakyat di Tanah Papua yaitu penguatan masyarakat asli Papua sebagai pemilik tanah dan sumber daya alam serta pemilik “legacy”  kultural yang menjadi kekhususan bagi Tanah Papua.

Standar ganda Pemerintah Pusat memberlakukan pendekatan otonomi khusus bagi Tanah Papua, sangat kontras dengan jenis otonomi khusus yang diberlakukan di daerah Aceh. Perbedaan itu terletak pada jenis pemberlakuan sistem ketatanegaraan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Aceh dan akses terhadap pengelolaan kekayaan daerah termasuk sumber daya alam yang juga mendapat perlakuan khusus di daerah Aceh.

Sedangkan bagi Tanah Papua tidak ditemukan penyelenggaraan pemerintahan “praktek ketatanegaraan” yang bersifat khusus bagi Papua dan pemberlakuan khusus bagi pengelolaan kekayaan daerah termasuk sumber daya alam di Tanah Papua.

Aceh memiliki sejumlah keuntungan yang selama ini tidak dimiliki oleh Tanah Papua. Keuntungan yang dikehendaki sama oleh rakyat Papua sekalipun selalu mendapat resistensi dari Pemerintah Pusat.

Pemberlakukan standar ganda oleh Pemerintah Pusat dalam pengelolaan sistem pemerintahan daerah “sistem ketatanegaraan” tergambar dalam kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh yang didasarkan pada implementasi keistimewaan Aceh dan urusan pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan yang didasarkan pada kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh.

Dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, Aceh memiliki undang-undang sendiri yang mengatur terkait penerimaan dana bagi hasil pajak dan penerimaan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya hidrokarbon “migas” dam sumber daya alam lainnya bagi daerah Aceh.

Implementasi otonomi khusus bagi Provinsi Aceh telah memperkuat substansi perjuangan rakyat Aceh atas kekhususan masyarakat, tradisi/ kultur masyarakat Aceh dan pengelolaan sumber daya keuangan daerah serta pengelolaan sumber daya alam bagi daerah Aceh.

Sedangkan bagi Tanah Papua, substansi yang dikehendaki oleh rakyat di Tanah Papua terkait kemandirian pengelolaan keuangan daerah dan sumber daya alam di Tanah Papua, disertai dengan penguatan kelembagaan masyarakat asli Papua dan penguatan peran masyarakat asli dalam Pemerintahan tidak tertuang dengan cukup tegas dalam Otsus bagi Tanah Papua.

Sehingga tidak mengherankan jika Pemerintah Pusat boleh sewenang-wenang menunjuk perusahaan nasional untuk menjatah porsi saham PT. Freeport dan merelokasi pembangunan smelter PT. Freeport di luar Tanah Papua, sebab dalam ketentuan Otsus versi tahun 2001 tidak memberikan ruang yang cukup tegas bagi hak  rakyat di Tanah Papua atas pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian dari unsur terpenting dalam Otsus yang diberikan.

Solusi atas kesenjangan yang terjadi dalam penerapan otonomi khusus di Tanah Papua, dapat dirumuskan kedalam 7 permasalahan utama yang tertuang dalam rancangan Otsus Plus, yang meliputi: 1). Protection of fundamental rights of the indigenous people of Papua, 2). Recognition of identity of the Papuan people, 3).Affirmative policies for the indigenous people of Papua, 4). Accelerated development, 5). Redistribution equitable development, 6). Representation of indigenous people of Papua in various sectors, 7). Reconciliation to Papua as a land of peace.

Pada era pemerintahan presiden Gusdur, pemerintah pernah menetapkan kebijakan dialog untuk penuntasan masalah Aceh dengan pendekatan “Damai Melalui Dialog”, karena tidak menyentuh substansi persoalan, kebijakan ini tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi resolusi konflik di Tanah Rencong, yang kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 22 Mei 2002 dengan diselenggarakannya Dialog Jenewa.

Presiden pada hari ini telah mendatangi secara langsung Tanah Papua dan telah menyatakan sikap untuk membuka ruang dialog yang selebar-lebarnya bagi rakyat di Tanah Papua. Namun substansi yang hendak di diskusikan tidaklah boleh keluar dari tujuan utama yang ingin dicapai yaitu memperkuat peran dan kedudukan masyarakat asli Papua atas penyelenggaraan pemerintahan khusus di Tanah Papua, pengelolaan sumber daya keuangan daerah dan pengelolaan sumber daya alam untuk menciptakan kemandirian bagi rakyat di Tanah Papua.

Jika Presiden menghendaki adanya ruang dialog bagi rakyat di Tanah Papua, maka sudah seharusnya ruang dialog tersebut di bangun diatas landasan yang benar-benar memecahkan substansi persoalan di Tanah Papua dan tidak hanya menampilkan “retorika” otsus yang jauh dari harapan rakyat di Tanah Papua.

Dibutuhkan waktu yang cukup panjang oleh Presiden saat ini, untuk memulai “dialog kebangsaan” bersama rakyat di Tanah Papua, dalam rangka merumuskan substansi persoalan di Tanah Papua. Letak permasalahan terdapat pada “standar ganda” Pemerintah Pusat terhadap rakyat di Tanah Papua. Oleh karena itu Pemerintah Pusat perlu membuktikan ittikad baiknya untuk menuntaskan akar persoalan di Tanah Papua dan menghapus pendekatan konflik terkait tuntutan rakyat Papua untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yaitu social justice.(Kudiai M/KM).



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Willem Wandik,S.Sos : Presiden Mendeklarasikan Dialog Kebangsaan Untuk Tanah Papua di Hari Natal