BREAKING NEWS
Search

Willem Wandik: Dana Kampung (Desa) Tidak Cukup Untuk Menuntaskan Masalah Kemiskinan di Tanah Papua

Foto : Doc Willem wandi/KM

Senator Tanah Papua, (KM) – Dewasa ini pembangunan perkampungan menjadi perhatian serius pemerintah, sebab selama ini, kampung selalu terpinggirkan dalam pembagian prioritas pembangunan, seperti yang terjadi di kampung-kampung di Tanah Papua. Kebijakan  anggaran, baik yang tertuang dalam APBN nasional, maupun yang masuk dalam rencana anggaran di APBD baik Kabupaten maupun Provinsi, sama sekali tidak memperhatikan perkampungan sebagai subjek pembangunan strategis. Itulah yang menjadikan masyarakat di perkampungan di Tanah Papua menjadi penduduk termiskin dan paling terbelakang semenjak republik Indonesia ini berdiri.

Permasalahan kemiskinan dan ketertinggalan yang dihadapi oleh masyarakat Kampung di Tanah Papua menjadi bagian dari proses degradasi nasionalisme yang semakin hari semakin mengkhawatirkan di komunitas masyarakat kampung yang tinggal di pedalaman Tanah Papua. Pemerintah di Jakarta telah gagal mengindonesiakan rakyat di Tanah Papua setelah puluhan tahun mengalami integrasi ke republik ini, yang lebih disebabkan karena tidak dirasakannya pembangunan hingga menyentuh masyarakat perkampungan di pedalaman Papua.

Kampung sejatinya berada pada garis terdepan dalam tujuan pembangunan nasional. Karena kampung berstatus sebagai unit pemerintahan terkecil dalam penyelenggaraan pemerintahan di Republik ini dan menjadi unit pemerintahan terdepan dalam melayani kebutuhan masyarakat secara langsung. Bisa dibayangkan jika masyarakat di perkampungan Tanah Papua tidak pernah merasakan keadilan dan kesejahteraan yang mereka cita-citakan selama berintegrasi bersama republik ini, maka yang terjadi justru akan memicu ketidakpuasan masyarakat perkampungan di Tanah Papua, yang dapat berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.

Secara umum persoalan kecilnya prioritas anggaran yang terjadi di perkampungan, tidak bisa mendorong pembangunan yang merata hingga ke perkampungan. Pembangunan nasional selama ini selalu berpusat pada kawasan perkotaan. Akibatnya masyarakat diperkampungan berbondong-bondong melakukan migrasi ke kawasan urban “perkotaan”. Dampak kemiskinan yang terakumulasi melalui aktivitas migrasi penduduk perkampungan, menjadikan masalah sosial yang sangat kompleks di Ibu Kota Provinsi/Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia. Beban kemiskinan yang terakumulasi dari perkampungan, menimbulkan penyakit sosial dan tidak jarang munculnya banyak tindakan kriminalitas di kawasan urban “perkotaan”.

Pemerintah nasional dan daerah harus benar-benar kembali membangun kampung sebagai sentra perekonomian utama, yang menggerakkan seluruh lokomotif pembangunan nasional. Jika tidak dilakukan, maka perkampungan akan terus mengirim masalah yang tidak pernah ada habisnya bagi kota-kota administasi pemerintahan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Tanah Papua. Selain itu, tidak berkembangnya potensi perkampungan, akan sangat merugikan perekonomian nasional, sebab kampung merupakan daerah yang banyak memiliki sumber daya dan potensi pengembangan ekonomi yang sangat besar. Jika perkotaan menjadi tempat bagi pelayanan jasa dan industri berbagai komoditas, termasuk menyerap sektor konsumsi terbesar. Maka perkampungan akan menjadi pusat penyediaan bahan baku bagi kepentingan pelayanan jasa dan industri yang terdapat dikawasan perkotaan.

Undang-undang tentang kampung hadir dengan tujuan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas Kampung yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk posisi perkampungan masyarakat adat yang ada di Tanah Papua. Undang-undang ini juga memberikan kejelasan terkait status dan kepastian hukum atas Kampung/kampung adat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Kampung juga melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Kampung, mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Kampung untuk pengembangan potensi dan Aset Kampung guna kesejahteraan bersama. Undang-Undang Kampung juga berusaha membentuk Pemerintahan Kampung yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab dan meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Kampung guna mempercepat terwujudnya masyarakat kampung yang sejahtera.

Dalam pelaksanaan pemerintahan di kampung, posisi kampung adat mendapatkan dasar pijakan yang kuat dalam perlindungan terkait hak-hak keperdataan masyarakat kampung (sebut saja tanah adat dan segala hak-hak komunal yang terdapat di atasnya), yang selama ini tidak pernah diatur secara khusus dalam regulasi perundang-undangan nasional. Sehingga benturan-benturan pembangunan dan kepentingan investasi yang selama ini meminggirkan masyarakat adat dapat dicegah dan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi penyelenggaraan kampung adat. Pemberdayaan masyarakat adat yang berada di kampung adat, mendapatkan penguatan sebagai bagian dari unsur terpenting dalam sistem pemerintahan yang diakui oleh negara.

Hadirnya UU tentang kampung yang di dalamnya mengamanatkan adanya penyediaan dana kampung untuk menjadikan kampung sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, menjadi instrumen penting pada hari ini, untuk menjadikan kampung dan masyarakat perkampungan menikmati pembangunan yang selama ini tidak berpihak kepada masyarakat kampung seperti yang terjadi di Tanah Papua.

Undang-undang kampung telah menempatkan masyarakat kampung sebagai subyek pelaku pembangunan di daerah. Hal ini diperkuat dengan besarnya anggaran kampung yang diberikan kepada kampung. Namun pengelolaan dana kampung masih menjadi persoalan ketika masyarakat kampung dan pemerintahan kampung belum mengerti sepenuhnya bagaimana mengelola dan mengalokasikan dana kampung berdasarkan regulasi undang-undang kampung. Jangan sampai pengelolaan dana kampung justru menimbulkan masalah hukum yang dapat menghambat tujuan pemberdayaan masyarakat kampung. Dilain pihak, masyarakat kampung juga diharapkan tidak salah menggunakan dana kampung untuk aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan pembangunan di kampung. Oleh karena itu upaya mengintensifkan sosialisasi pelaksanaan undang-undang kampung senantiasa harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah pusat tidak juga lupa untuk menyediakan juklak dan juknis pelaksanaan undang-undang kampung dan pengelolaan dana kampung agar tepat sasaran dan tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya di lapangan.

Tujuan yang ingin dicapai dalam sila ke-5 Pancasila berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, dapat diimplementasikan kedalam bentuk pembangunan perkampungan yang berkeadilan sosial, dimana masyarakat perkampungan merupakan satuan masyarakat terkecil yang turut menentukan pembangunan nasional dan pencapaian dalam pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Dana kampung yang di amanatkan dalam UU tentang Kampung, dalam APBNP 2015 yang telah disahkan oleh DPR RI, ditetapkan dengan besaran anggaran kampung yang mengalami peningkatan dari 9,1 triliun di postur APBN 2015 menjadi 20,8 Triliun di APBNP 2015. Dalam alokasi pagu anggaran dana kampung di APBNP 2015 terjadi kenaikan anggaran kampung yang mencapai 11,7 triliun dibandingkan postur APBN 2015. Untuk menjamin terselenggaranya tujuan dari pembangunan kampung yang berkeadilan, maka pengelolaan pembangunan di kampung dilaksanakan berdasarkan asas rekognisi (pengakuan), subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan.

Oleh karena itu dalam penerapan distribusi anggaran kampung untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh kampung yang ada di daerah-daerah, termasuk di Tanah Papua, maka anggota DPR RI dalam pembahasan APBNP 2015 memperlunak ketentuan alokasi anggaran kampung, yang didasarkan pada perhitungan jumlah penduduk (rasio penduduk terhadap alokasi anggaran). Dalam penerapannya 90% dari total alokasi anggaran kampung diberikan kepada daerah secara merata, sedangkan 10% sisanya dibagi berdasarkan ketentuan yang memperhitungkan rasio jumlah penduduk, seperti yang berlaku selama ini. Jika formula lama diterapkan sepenuhnya maka akan terjadi gap yang sangat lebar terkait distribusi dana desa khususnya diluar pulau Jawa yang memiliki penduduk yang lebih sedikit. Dengan semangat untuk mendistribusikan anggaran yang merata di seluruh kampung yang ada di daerah daerah otonom diseluruh Indonesia, maka pembahasan alokasi anggaran kampung disepakati untuk di distribusikan secara merata keseluruh daerah.

Jika perhitungan jumlah penduduk tetap masuk dalam rasio perhitungan dana kampung, maka dipastikan pulau jawa akan menikmati 70% alokasi dana kampung. Untuk menghindari adanya polemik dan perdepatan akibat ketimpangan diatribusi dana kampung yang besar di pulau jawa, maka dana kampung di APBNP 2015 di tetapkan dengan perhitungan yang sama untuk seluruh kampung yang ada di Republik ini.

Dalam anggaran yang telah ditetapkan dalam APBNP 2015, alokasi dana kampung telah di tetapkan sebesar 700 Juta Rupiah perkampungan, untuk seluruhkampung yang ada di Republik ini. Dalam  perencanaanya, dana kampung akan maksimal pengalokasiannya di tahun 2016, setelah postur APBN tahun 2016 di bahas kembali. Berdasarkan amanah UUkampung, akan dialokasikan sebesar 1 Milyar untuk 1 kampung ditahun anggaran berikutnya.

Dana kampung harus dipahami sebagi instrumen anggaran untuk menggerakkan perekonomian kampung. Pemerintah di tahun 2015 ini, melalui APBNP 2015 menetapkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesal 5,7%. Hal ini di dasarkan pada ekspektasi “harapan”, dengan adanya dana kampung diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi di seluruh Republik ini, terutama di dorong oleh perekonomian yang terbangun di perkampungan.

Yang penting untuk menjadi catatan dalam penyelenggaraan dana kampung di Tanah Papua, bahwa kondisi di Tanah Papua berbeda dengan daerah-daerah lainnya di nusantara. Beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam alokasi dana desa diantaranya tingginya cost pembangunan di Tanah Papua yang menjadikan alokasi anggaran desa perlu mendapatkan penyesuaian berdasarkan tingginya inflasi harga di Tanah Papua. Masyarakat kampung yang tersebar hingga kewilayah pedalaman, selama ini mengalami kesulitan untuk mengakses kebutuhan ekonomi yang benar-benar terjangkau. Oleh karena itu, alokasi dana desa di Tanah Papua harus mempertimbangkan indikator yang terkait dengan tingginya cost pembangunan, inflasi harga-harga yang jauh lebih tinggi, dan aksesibilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang masih sangat terbatas.

Dalam penyelenggaraan dana Kampung, salah satu instrumen yang wajib disediakan oleh pemerintahan Kampung adalah APBD Kampung dan BUMD Kampung. Kedua perangkat ini merupakan bentuk pertanggung-jawaban pengelolaan anggaran yang dimulai dari assessment kebutuhan anggaran, perencanaan anggaran, alokasi belanja anggaran, hingga pada pertanggungjawaban realisasi anggaran Kampung. Penetapan APBD Kampung akan melindungi kepentingan anggaran di perkampungan dari intervensi Pemerintah Daerah, yang ingin memanfaatkan alokasi anggaran Kampung di daerahnya. Seperti gejala yang selama ini tercium dalam pengelolaan ADD Kampung, dimana seringkali ditemukan anggaran yang masuk ke perkampungan menjadi komoditas korupsi bagi penyelenggara pemerintahan daerah. Seringkali anggaran ADD yang telah dianggarkan dibiarkan berbunga di Bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah, dan realisasi anggaran baru bisa diwujudkan di triwulan keempat, yang notabene merupakan waktu yang sangat singkat untuk melaksanakan program kerja dan pembangunan di perkampungan.

Keberadaan BUMD Kampung juga terbilang sangat strategis. Tujuannya adalah agar pelaksanaan anggaran Kampung yang ditujukan untuk pembangunan di perkampungan dapat dikelola melalui BUMDKampung. Semangat dari dibentuknya BUMD Kampung adalah agar pengelolaan dana Kampung diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Kampung dengan partisipasi masyarakat secara luas, tidak dengan memanfaatkan kontraktor luar untuk bermain proyek di perkampungan, dan membawa keluar seluruh dana kampung yang telah di transfer ke setiap perkampungan. Tujuan dari multiplayer efek tidak akan tecapai jika pengelolaan anggaran Kampung tidak dilaksanakan oleh unit usaha yang dibentuk oleh pemerintah Kampung sendiri atau dibentuk bersama-sama oleh masyarakat Kampung.

Agar dana kampung, dapat menjadi instrumen dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di perkampungan, maka penggunaan dana kampung di bagi kedalam 2 fungsi penggunaan anggaran, pertama: alokasi 30% anggaran untuk belanja aparatur kampung, berupa peningkatan kapasitas aparatur kampung, dapat berupa pembiayaan honorarium aparat kampung. Dan kedua: alokasi 70% anggaran kampung untuk belanja pembangunan di perkampungan.

Untuk menetapkan alokasi anggaran prioritas pembangunan di kampung terkait pengelolaan dana kampung di Tanah Papua, dapat juga mempertimbangkan program pemberdayaan kelembagaan adat “tokoh adat” yang ada di perkampungan. Sebab penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjadi kekhususan di Tanah Papua adalah diakuinya entitas masyarakat adat dan lembaga masyarakat adat sebagai bagian dari unsur penyelenggaraan otonomi khusus bagi pemerintahan di Papua. Tokoh adat memiliki peran kultural yang sangat penting untuk menjaga kehidupan sosial kemasyarakatan yang damai dan kondusif. Hal itu merupakan prasyarat utama untuk mengoptimalkan pembangunan di Tanah Papua.

Dalam pengunaan anggaran kampung untuk kepentingan pembangunan perkampungan, dilaksanakan berdasarkan pada pengelolaan anggaran yang dikelola secara swakelola dan gotong royong, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung. Tujuan dari pengelolaan anggaran yang di laksanakan secara swakelola oleh masyarakat kampung terkait dana pembangunan yang bersumber dari dana kampung, bertujuan untuk menimbulkan “multiplayer efek” yaitu dampak bergeraknya perekonomian di daerah kampung. Dengan dana kampung, masyarakat dapat dipekerjakan untuk menjadi tenaga kerja dalam mengelola anggaran pembangunan di kampung. Uang yang berputar di kampung, akan memberikan dampak ekonomi, bagi masyarakat kampung.

Oleh karena itu, keberadaan dana kampung melalui UU tentang kampung, sangatlah penting untuk menciptakan keadilan distribusi pembangunan yang selama ini masih jauh dari harapan masyarakat kampung, khususnya di Tanah Papua. Dapatkah undang-undang Kampung menghadirkan solusi baru bagi pendanaan pembangunan di perkampungan di Tanah Papua? hal tersebut sangat tergantung dari seberapa efektifnya pendanaan kampung untuk dapat benar-benar dimanfaatkan bagi pembangunan masyarakat di kampung. Selama ini kendala utama yang dihadapi untuk menciptakan pemerataan pembangunan di perkampungan, terutama di daerah pedalaman, adalah banyaknya hambatan sektoral yang dihadapi oleh masyarakat, terutama persoalan aksesibilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan perekonomian masyarakat di perkampungan. Oleh karenanya, Pemerintah Pusat masih banyak  memiliki pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan di Tanah Papua, yang tidak hanya membebankan pembanguan di daerah perkampungan pada penyediaan dana kampung semata.

Perlu dipertegas kembali, bahwa di Tanah Papua sangat dibutuhkan jaringan distribusi barang dan jasa, yang benar-benar dapat diakses oleh semua masyarakat di daerah pedalaman. Hal ini menyangkut pula persoalan komitmen Pusat untuk menghadirkan industrialisasi di Tanah Papua. Kekuatan perekonomian di Tanah Papua, yang terletak pada sumber daya alamnya, seharusnya tidak hanya menjadi supply bahan baku untuk kawasan industri di pulau Jawa, tetapi kebutuhan untuk menciptakan kekuatan industri yang dapat memperkuat perekonomian di Tanah Papua, agar dapat menjadi daerah yang mampu menyuplai sendiri kebutuhan supply barang dan kebutuhan masyarakat di Tanah Papua.  Industri yang terbangun dapat menjadi penyeimbang kebutuhan supply yang datang dari Pulau Jawa, sehingga uang yang masuk ke Tanah Papua dapat benar-benar berputar di masyarakat Papua, termasuk pula dana kampung yang di transfer ke daerah-daerah di Tanah Papua tidak kembali ke Pulau Jawa dalam bentuk transaksi perdagangan untuk memenuhi kebutuhan logistik pembangunan di daerah perkampungan yang harus di impor dari Pulau Jawa.
(Kudiai M/KM)

Penulis adalah Mantam MPR tahun 2009-2014 lalu.

Sumber Catatan Pribadi Wilem Wandik, S.Sos



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Willem Wandik: Dana Kampung (Desa) Tidak Cukup Untuk Menuntaskan Masalah Kemiskinan di Tanah Papua