Hasil wawancara Jacob
Rumbiak
KM/antara - Sejak hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada
1969 menyatakan Papua ingin bergabung dengan Indonesia, krisis terus
membekap wilayah di ujung timur negara ini. Situasi keamanan fluktuatif.
Milisi Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus melancarkan gerilya. Mereka membunuh tentara, polisi, dan bahkan warga asing di sana. Kehadiran pasukan keamanan di Papua tidak mampu menjamin sepenuhnya keamanan di Bumi Cendrawasih.
Bukan sekadar perlawanan bersenjata, kaum-kaum intelektual Papua terus bergerilya di luar negeri, termasuk Jacob Rumbiak. Dalam kongres ketiga di Jayapura, papua, Oktober 2011, menghasilkan terbentuknya negara Federasi Papua Barat, dia diangkat sebagai menteri luar negeri.
Dari Kota Melbourne, Australia, dia menggalang dan menyerukan sokongan bagi kemerdekaan Papua. Dia yakin Papua bakal lepas dari cengkeraman Indonesia. "Cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang," katanya saat dihubungi melalui telepon selulernya Rabu lalu.
Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.
Dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah perjuangan Organisasi Papua Merdeka akan lebih bagus ke depannya?
Saya melihat bukan lebih bagus, tapi ada lebih keuntungan untuk kedua pihak baik Indonesia dan Papua. Saya melihat dengan adanya proses baik itu tidak ada kalah, tidak ada menang.
Perjuangan Papua Barat itu bukan anti-Indonesia atau antipemerintah Republik Indonesia. Itu menyangkut hak politik orang Papua. Kita harap dengan adanya presiden baru ini bisa membuka satu ruang demokrasi sehingga kita bisa duduk dan membicarakan masa depan bersama Indonesia dan Papua.
Jadi saya lebih cenderung melihat bukan bagusnya, tapi bagaimana kita akan hadir sebagai masyarakat eksternal dalam tanggung jawab bersama menjaga dunia damai pada setiap bangsa. Sehingga tidak ada permusuhan di atas dunia ini.
Memangnya Anda yakin selama Jokowi memerintah Papua bisa merdeka?
Saya melihat ada sedikit kerikil-kerikil kecil karena kendali jarak jauhnya ada di Megawati. Tidak mungkin Ibu Mega mengkhianati perjuangan bapaknya. Tapi kami harap beliau bisa mengerti sebenarnya kehancuran Indonesia itu ada kesalahan kebijakan dari partainya. s
Sebenarnya Indonesia bukan republik. Indonesia bukan negara bersistem presidensial, sistemnya RIS (republik Indonesia Serikat). Kalau dari awal Soekarno menjalankan sistem RIS, saya pikir Indonesia adalah negara besar.
Sebab daerah diberikan wewenang membangun Indonesia. Tapi karena adanya sistem kekuasaan di satu tangan, pusat, justru Indonesia bukan semakin baik, justru semakin buruk.
Jadi Anda tidak yakin masa depan Papua bakal bagus saat pemerintahan Jokowi?
Sebenarnya saya yakin Pak Jokowi adalah orang baik, putra terbaik. Karena dia punya rencana sungguh mulia. Dia akan angkat keadilan, dia ingin memperbaiki kesalahan sejarah. Karena bangsa besar, bangsa betul-betul meletakkan nilai-nilai bangsanya dalam sejarah benar.
Sebenarnya Papua itu bagian dari taktik Amerika untuk meruntuhkan Soekarno. Sehingga saya pikir sudah saatnya untuk Indonesia dan Papua, kita membangun masa depan. Indonesia dan Papua sebenarnya sama-sama korban dari perang global atau kebijakan dunia.
Itu sebabnya jangan kita terus saling memusuhi. Kita bukan musuh. Kita merupakan kedua pihak korban dari perang dingin. Kita perlu ambil kebijakan masa depan untuk kedua pihak, Indonesia dan Papua. Saya pikir rakyat Papua bicarakan lebih dekat dengan Indonesia.
Kami tidak bisa lari jauh. Indonesia punya peran penting dimana kami harus akui. Ada kemajuan-kemajuan besar kami miliki dari Indonesia dan itu orang Papua akui. Tapi kami juga mengendaki pemerintah Indonesia menghargai dan mengakui hak kedaulatan kami, hak-hak politik kami.
Memangnya Jokowi menjanjikan referendum untuk Papua?
Saya belum dengar dari Pak Jokowi. Kalau perlawanan atau perjuangan rakyat Papua tetap berlanjut, Indonesia sangat rugi sekali karena pengeluaran keuangan sangat banyak. Banyak korban putra-putra terbaik Indonesia mati di sana karena kebijakan pemerintah.
Kematian orang-orang sipil dan militer Indonesia di Papua itu membuat saya sangat sedih. Karena itu kebijakan salah oleh pemerintah dan mereka itu anak-anak rakyat, anak-anak terbaik. Kalau kita bisa mengatur sesuatu sejak dini, kita tidak buat kesalahan seperti zaman Belanda menjajah Indonesia 350 tahun.
Papua sangat kaya. Kalau pemerintah pusat bisa mengakui hak politik kami, kami akan menandatangani perjanjian bilateral. Banyak orang Papua itu sudah siap, meminta segera Papua itu punya kedaulatan.
Ketika Indonesia mengakui hak kedaulatan politik Papua, sebelum mengalihkan kegiatan administrasi dari Indonesia ke Papua, kami akan tanda tangan hubungan bilateral. Jangan ragu dan takut soal orang-orang sipil Indonesia ada di Papua. Papua siap menjamin karena kemerdekaan sesungguhnya bukan untuk orang Papua tapi menjamin seluruh warga negara asing ada di Papua.
Kami punya program 50 tahun ke depan kerja sama dengan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Jadi tidak ada sesuatu perlu ditakutkan.
Kenapa Anda bisa yakin rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia?
Kami sangat yakin akan lepas karena pertama, wilayah Papua direbut dengan kekuasaan militer. Itu sudah jelas, tidak bisa disangkal. Kedua, dokumen 600 halaman dari Amerika Serikat menyebutkan Amerika terlibat dalam mengalihkan Papua ke Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak mengikuti sistem PBB satu orang satu suara.
Ketiga, hari ini ada perlawanan rakyat itu berarti Indonesia jangan menganggap enteng. Sebab filosofi kebenaran mengatakan ketika sebuah bangsa mulai berpikir tentang kemerdekaan, baiknya serahkan saja. Sebab cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang.
Memangnya dari OPM pernah mengadakan survei internal menyatakan sebagian besar rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia?
Sudah. Kami sudah punya hasil survei dari DPR pusat, itu dipimpin Pak Abdul Ghofur pada 1999. Kemudian 2003, kalau tidak salah itu ada tiga NGO dari internasional dan tiga dari Indonesia. Survei LIPI menyatakan mayoritas orang Papua ingin merdeka.
Kemudian dari hasil survei International Justice Indonesian Comissions of Jurish Australian pada 2001. Kemudian dari Universitas Cenderawasih Universitas Papua, dua universitas terkenal.
Anda perlu tahu di Papua kami punya tokoh-tokoh rohaniwan baik itu muslim, Katolik, Kristen, sangat kompak menyatu dan mereka sendiri sudah beberapa kali mencoba bertemu SBY untuk menyatakan orang Papua ingin merdeka.
Jadi itu sudah jelas. Keterbukaan sudah ada. Hanya tinggal kami harap dari pihak Jakarta bisa menanggapi ini sehingga jangan membuang-buang uang untuk mempertahankan sesuatu nanti tidak mungkin dipertahankan.
Dari semua survei, rata-rata berapa persen rakyat Papua ingin merdeka?
Rata-ratanya sudah di atas 75 persen. Kalau ditanya apakah lewat pengakuan atau referendum, saya sarankan sebaiknya pengakuan karena sudah ada bukti dari sekitar lebih dari tujuh lembaga termasuk lembaga negara dan independen mengumumkan hasil sureinya sudah di atas 75 persen orang Papua ingin merdeka.
Maksud saya, mengapa harus gunakan pengakuan saja. Sebab referendum itu sangat membuang biaya sangat besar. Gaji seorang anggota PBB per bulan itu USD 85 ribu. Kenapa uang itu tidak kita pakai saja untuk bangun Indonesia dan bangun Papua.
Kedua, semasa kita menyiapkan referendum itu promerdeka dan prointegrasi saling membunuh, saling merusak, saling menghina, dan lain-lain. Itu tidak ada guna sama sekali. Kecuali kalau memang ingin membuktikan mayoritas orang Papua memang ingin merdeka, referendum adalah alat ukur demokrasi. Tapi dampak negatifnya lebih besar karena membuang uang, tenaga, waktu.
Papua lebih kaya. Timor Leste tidak ada apa-apanya. Tidak perlu takut soal kebebasan, kemerdekaan Papua. Sebab Papua punya kewajiban moral bekerja sama dengan Indonesia. Kenapa tidak? Kami juga perlu tenaga kerja. Tenaga kerja masih menganggur perlu untuk bangun Papua juga.
Tapi, 75 persen itu kan hasil survei satu dasawarsa lalu, Apa masih yakin jumlahnya tetap, mau merdeka masih lebih banyak?
Iya, justru sekarang lebih banyak.
Kapan survei terakhirnya?
Terakhir itu pada 2007 dan 2010.
Pada 2010 siapa menyelenggarakan survei?
2007 itu dari Signi Uni. Sedangkan 2010 dan 2012 itu dari Unipa dan dari Uncen, Jayapura.
Hasilnya berapa persen mau merdeka?
Itu sudah di atas 80 persen.
Masih banyak masyarakat buta huruf di Papua. Mereka memangnya bisa mengerti merdeka itu lebih baik ketimbang tetap bergabung dengan Indonesia?
Memang betul, beberapa orang generasi zaman Belanda, peralihan, mereka masih umur sekitar 9, 10, 12 tahun. Sekarang hampir rata-rata mereka msih hidup. Mereka merasa situasi di zaman Belanda itu lebih bagus karena saat tidak ada pembunuhan hebat, tidak ada penculikan. Justru biasa polisi Belanda hadapi itu perang suku. Ada perang suku tapi tidak di semua tempat.
Kedua, ketika dua masyarakat saling berkelahi di pelabuhan atau di jalan, tentara tidak bisa cabut senjatanya atau polisi tidak pernah menembak rakyat. Tapi dibandingkan setelah Indonesia hadir, wah itu pembunuhan, penculikan, pembantaian terlalu besar.
Jadi mereka kalau dikategori buta huruf ini, mereka bukan melihat soal sesuatu bagus atau tidak. Tapi mereka punya pengalaman, terutama di kampung-kampung itu mereka hidup dari kebun. Kalau kita di kota, di Indonesia, hampir bisa katakan 80 persen orang hidup dari uang. Di Papua tidak ada.
Kalau ada orang bilang miskin itu sebetulnya kategori modern. Orang Papua masing-masing punya tanah dan kebun. Jadi kategori miskin mungkin dari segi pendapatan uang, tapi dari segi makanan mereka tidak miskin. Orang-orang ini kini sulit untuk berkebun karena tentara sudah ada di hutan-hutan. Tidak seperti zaman dulu sebelum Indonesia masuk.
Jadi mereka melihat sebaiknya pilih merdeka saja supaya mereka bisa makan atau tidak makan, mencari atau tidak punya apa-apa, mereka hidup bebas. Sehingga mereka bisa hidup dari apa mereka punya.
Kedua, mereka melihat otonomi khusus itu bukan mempersatukan orang Papua tapi proses semacam zaman Belanda, devide et impera, adu domba. Jadi orang di daerah lain, orang di daerah seperti Wamena itu tidak bisa jadi bupati di Biak. Sebelum otonomi khusus, orang Biak bisa jadi bupati di Merauke, orang Merauke bisa jadi bupati di Manokwari. Sekarang tidak bisa.
Sistem sukuisme betul-betul menjadi sistem memecah belah antar sesama saudara di Papua. Ini betul-betul kelihatan. Dulu tidak. Jadi sekarang ini kita lihat bagaimana orang Papua diadu domba, mulai diperalat, sampai harus kasih senjata untuk tembak orang-orang, tembak polisi sendiri atau tembak tentara sendiri dan katakan itu kejahatan orang Papua. Dulu tidak pernah ada.
Itu sebabnya orang-orang tadi disebut buta huruf, mereka merasa pilihan merdeka itu solusi tepat sehingga tidak perlu lagi ada adu domba. Kemudian mereka mau hidup baik atau tidak, mereka punya hak untuk mengatur masa depan.
Dulu setelah Konferensi Meja Bundar 1949, Indonesia mati-matian menyatakan mau membebaskan Papua dari penjajahan, mau membangun Papua. Kok kenapa sampai 52 tahun dia baru ajukan segala program pembangunan. Kemudian bagaimana dengan program awal? Kalau itu betul seperti dinyatakan oleh Indonesia zaman itu kenapa baru sekarang? Dalam usia manusia, itu sudah di atas 17 tahun itu usia mampu. Kok kenapa 52 tahun baru mulai mau diajar jalan, duduk, makan, ini aneh. Tapi begitulah kenyataannya.
Milisi Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus melancarkan gerilya. Mereka membunuh tentara, polisi, dan bahkan warga asing di sana. Kehadiran pasukan keamanan di Papua tidak mampu menjamin sepenuhnya keamanan di Bumi Cendrawasih.
Bukan sekadar perlawanan bersenjata, kaum-kaum intelektual Papua terus bergerilya di luar negeri, termasuk Jacob Rumbiak. Dalam kongres ketiga di Jayapura, papua, Oktober 2011, menghasilkan terbentuknya negara Federasi Papua Barat, dia diangkat sebagai menteri luar negeri.
Dari Kota Melbourne, Australia, dia menggalang dan menyerukan sokongan bagi kemerdekaan Papua. Dia yakin Papua bakal lepas dari cengkeraman Indonesia. "Cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang," katanya saat dihubungi melalui telepon selulernya Rabu lalu.
Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.
Dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah perjuangan Organisasi Papua Merdeka akan lebih bagus ke depannya?
Saya melihat bukan lebih bagus, tapi ada lebih keuntungan untuk kedua pihak baik Indonesia dan Papua. Saya melihat dengan adanya proses baik itu tidak ada kalah, tidak ada menang.
Perjuangan Papua Barat itu bukan anti-Indonesia atau antipemerintah Republik Indonesia. Itu menyangkut hak politik orang Papua. Kita harap dengan adanya presiden baru ini bisa membuka satu ruang demokrasi sehingga kita bisa duduk dan membicarakan masa depan bersama Indonesia dan Papua.
Jadi saya lebih cenderung melihat bukan bagusnya, tapi bagaimana kita akan hadir sebagai masyarakat eksternal dalam tanggung jawab bersama menjaga dunia damai pada setiap bangsa. Sehingga tidak ada permusuhan di atas dunia ini.
Memangnya Anda yakin selama Jokowi memerintah Papua bisa merdeka?
Saya melihat ada sedikit kerikil-kerikil kecil karena kendali jarak jauhnya ada di Megawati. Tidak mungkin Ibu Mega mengkhianati perjuangan bapaknya. Tapi kami harap beliau bisa mengerti sebenarnya kehancuran Indonesia itu ada kesalahan kebijakan dari partainya. s
Sebenarnya Indonesia bukan republik. Indonesia bukan negara bersistem presidensial, sistemnya RIS (republik Indonesia Serikat). Kalau dari awal Soekarno menjalankan sistem RIS, saya pikir Indonesia adalah negara besar.
Sebab daerah diberikan wewenang membangun Indonesia. Tapi karena adanya sistem kekuasaan di satu tangan, pusat, justru Indonesia bukan semakin baik, justru semakin buruk.
Jadi Anda tidak yakin masa depan Papua bakal bagus saat pemerintahan Jokowi?
Sebenarnya saya yakin Pak Jokowi adalah orang baik, putra terbaik. Karena dia punya rencana sungguh mulia. Dia akan angkat keadilan, dia ingin memperbaiki kesalahan sejarah. Karena bangsa besar, bangsa betul-betul meletakkan nilai-nilai bangsanya dalam sejarah benar.
Sebenarnya Papua itu bagian dari taktik Amerika untuk meruntuhkan Soekarno. Sehingga saya pikir sudah saatnya untuk Indonesia dan Papua, kita membangun masa depan. Indonesia dan Papua sebenarnya sama-sama korban dari perang global atau kebijakan dunia.
Itu sebabnya jangan kita terus saling memusuhi. Kita bukan musuh. Kita merupakan kedua pihak korban dari perang dingin. Kita perlu ambil kebijakan masa depan untuk kedua pihak, Indonesia dan Papua. Saya pikir rakyat Papua bicarakan lebih dekat dengan Indonesia.
Kami tidak bisa lari jauh. Indonesia punya peran penting dimana kami harus akui. Ada kemajuan-kemajuan besar kami miliki dari Indonesia dan itu orang Papua akui. Tapi kami juga mengendaki pemerintah Indonesia menghargai dan mengakui hak kedaulatan kami, hak-hak politik kami.
Memangnya Jokowi menjanjikan referendum untuk Papua?
Saya belum dengar dari Pak Jokowi. Kalau perlawanan atau perjuangan rakyat Papua tetap berlanjut, Indonesia sangat rugi sekali karena pengeluaran keuangan sangat banyak. Banyak korban putra-putra terbaik Indonesia mati di sana karena kebijakan pemerintah.
Kematian orang-orang sipil dan militer Indonesia di Papua itu membuat saya sangat sedih. Karena itu kebijakan salah oleh pemerintah dan mereka itu anak-anak rakyat, anak-anak terbaik. Kalau kita bisa mengatur sesuatu sejak dini, kita tidak buat kesalahan seperti zaman Belanda menjajah Indonesia 350 tahun.
Papua sangat kaya. Kalau pemerintah pusat bisa mengakui hak politik kami, kami akan menandatangani perjanjian bilateral. Banyak orang Papua itu sudah siap, meminta segera Papua itu punya kedaulatan.
Ketika Indonesia mengakui hak kedaulatan politik Papua, sebelum mengalihkan kegiatan administrasi dari Indonesia ke Papua, kami akan tanda tangan hubungan bilateral. Jangan ragu dan takut soal orang-orang sipil Indonesia ada di Papua. Papua siap menjamin karena kemerdekaan sesungguhnya bukan untuk orang Papua tapi menjamin seluruh warga negara asing ada di Papua.
Kami punya program 50 tahun ke depan kerja sama dengan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Jadi tidak ada sesuatu perlu ditakutkan.
Kenapa Anda bisa yakin rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia?
Kami sangat yakin akan lepas karena pertama, wilayah Papua direbut dengan kekuasaan militer. Itu sudah jelas, tidak bisa disangkal. Kedua, dokumen 600 halaman dari Amerika Serikat menyebutkan Amerika terlibat dalam mengalihkan Papua ke Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak mengikuti sistem PBB satu orang satu suara.
Ketiga, hari ini ada perlawanan rakyat itu berarti Indonesia jangan menganggap enteng. Sebab filosofi kebenaran mengatakan ketika sebuah bangsa mulai berpikir tentang kemerdekaan, baiknya serahkan saja. Sebab cepat atau lambat pasti kemerdekaan itu datang.
Memangnya dari OPM pernah mengadakan survei internal menyatakan sebagian besar rakyat Papua ingin merdeka dari Indonesia?
Sudah. Kami sudah punya hasil survei dari DPR pusat, itu dipimpin Pak Abdul Ghofur pada 1999. Kemudian 2003, kalau tidak salah itu ada tiga NGO dari internasional dan tiga dari Indonesia. Survei LIPI menyatakan mayoritas orang Papua ingin merdeka.
Kemudian dari hasil survei International Justice Indonesian Comissions of Jurish Australian pada 2001. Kemudian dari Universitas Cenderawasih Universitas Papua, dua universitas terkenal.
Anda perlu tahu di Papua kami punya tokoh-tokoh rohaniwan baik itu muslim, Katolik, Kristen, sangat kompak menyatu dan mereka sendiri sudah beberapa kali mencoba bertemu SBY untuk menyatakan orang Papua ingin merdeka.
Jadi itu sudah jelas. Keterbukaan sudah ada. Hanya tinggal kami harap dari pihak Jakarta bisa menanggapi ini sehingga jangan membuang-buang uang untuk mempertahankan sesuatu nanti tidak mungkin dipertahankan.
Dari semua survei, rata-rata berapa persen rakyat Papua ingin merdeka?
Rata-ratanya sudah di atas 75 persen. Kalau ditanya apakah lewat pengakuan atau referendum, saya sarankan sebaiknya pengakuan karena sudah ada bukti dari sekitar lebih dari tujuh lembaga termasuk lembaga negara dan independen mengumumkan hasil sureinya sudah di atas 75 persen orang Papua ingin merdeka.
Maksud saya, mengapa harus gunakan pengakuan saja. Sebab referendum itu sangat membuang biaya sangat besar. Gaji seorang anggota PBB per bulan itu USD 85 ribu. Kenapa uang itu tidak kita pakai saja untuk bangun Indonesia dan bangun Papua.
Kedua, semasa kita menyiapkan referendum itu promerdeka dan prointegrasi saling membunuh, saling merusak, saling menghina, dan lain-lain. Itu tidak ada guna sama sekali. Kecuali kalau memang ingin membuktikan mayoritas orang Papua memang ingin merdeka, referendum adalah alat ukur demokrasi. Tapi dampak negatifnya lebih besar karena membuang uang, tenaga, waktu.
Papua lebih kaya. Timor Leste tidak ada apa-apanya. Tidak perlu takut soal kebebasan, kemerdekaan Papua. Sebab Papua punya kewajiban moral bekerja sama dengan Indonesia. Kenapa tidak? Kami juga perlu tenaga kerja. Tenaga kerja masih menganggur perlu untuk bangun Papua juga.
Tapi, 75 persen itu kan hasil survei satu dasawarsa lalu, Apa masih yakin jumlahnya tetap, mau merdeka masih lebih banyak?
Iya, justru sekarang lebih banyak.
Kapan survei terakhirnya?
Terakhir itu pada 2007 dan 2010.
Pada 2010 siapa menyelenggarakan survei?
2007 itu dari Signi Uni. Sedangkan 2010 dan 2012 itu dari Unipa dan dari Uncen, Jayapura.
Hasilnya berapa persen mau merdeka?
Itu sudah di atas 80 persen.
Masih banyak masyarakat buta huruf di Papua. Mereka memangnya bisa mengerti merdeka itu lebih baik ketimbang tetap bergabung dengan Indonesia?
Memang betul, beberapa orang generasi zaman Belanda, peralihan, mereka masih umur sekitar 9, 10, 12 tahun. Sekarang hampir rata-rata mereka msih hidup. Mereka merasa situasi di zaman Belanda itu lebih bagus karena saat tidak ada pembunuhan hebat, tidak ada penculikan. Justru biasa polisi Belanda hadapi itu perang suku. Ada perang suku tapi tidak di semua tempat.
Kedua, ketika dua masyarakat saling berkelahi di pelabuhan atau di jalan, tentara tidak bisa cabut senjatanya atau polisi tidak pernah menembak rakyat. Tapi dibandingkan setelah Indonesia hadir, wah itu pembunuhan, penculikan, pembantaian terlalu besar.
Jadi mereka kalau dikategori buta huruf ini, mereka bukan melihat soal sesuatu bagus atau tidak. Tapi mereka punya pengalaman, terutama di kampung-kampung itu mereka hidup dari kebun. Kalau kita di kota, di Indonesia, hampir bisa katakan 80 persen orang hidup dari uang. Di Papua tidak ada.
Kalau ada orang bilang miskin itu sebetulnya kategori modern. Orang Papua masing-masing punya tanah dan kebun. Jadi kategori miskin mungkin dari segi pendapatan uang, tapi dari segi makanan mereka tidak miskin. Orang-orang ini kini sulit untuk berkebun karena tentara sudah ada di hutan-hutan. Tidak seperti zaman dulu sebelum Indonesia masuk.
Jadi mereka melihat sebaiknya pilih merdeka saja supaya mereka bisa makan atau tidak makan, mencari atau tidak punya apa-apa, mereka hidup bebas. Sehingga mereka bisa hidup dari apa mereka punya.
Kedua, mereka melihat otonomi khusus itu bukan mempersatukan orang Papua tapi proses semacam zaman Belanda, devide et impera, adu domba. Jadi orang di daerah lain, orang di daerah seperti Wamena itu tidak bisa jadi bupati di Biak. Sebelum otonomi khusus, orang Biak bisa jadi bupati di Merauke, orang Merauke bisa jadi bupati di Manokwari. Sekarang tidak bisa.
Sistem sukuisme betul-betul menjadi sistem memecah belah antar sesama saudara di Papua. Ini betul-betul kelihatan. Dulu tidak. Jadi sekarang ini kita lihat bagaimana orang Papua diadu domba, mulai diperalat, sampai harus kasih senjata untuk tembak orang-orang, tembak polisi sendiri atau tembak tentara sendiri dan katakan itu kejahatan orang Papua. Dulu tidak pernah ada.
Itu sebabnya orang-orang tadi disebut buta huruf, mereka merasa pilihan merdeka itu solusi tepat sehingga tidak perlu lagi ada adu domba. Kemudian mereka mau hidup baik atau tidak, mereka punya hak untuk mengatur masa depan.
Dulu setelah Konferensi Meja Bundar 1949, Indonesia mati-matian menyatakan mau membebaskan Papua dari penjajahan, mau membangun Papua. Kok kenapa sampai 52 tahun dia baru ajukan segala program pembangunan. Kemudian bagaimana dengan program awal? Kalau itu betul seperti dinyatakan oleh Indonesia zaman itu kenapa baru sekarang? Dalam usia manusia, itu sudah di atas 17 tahun itu usia mampu. Kok kenapa 52 tahun baru mulai mau diajar jalan, duduk, makan, ini aneh. Tapi begitulah kenyataannya.
Sumber : merdeka.com
Reporter : Faisal Assegaf
Reporter : Faisal Assegaf
0 thoughts on “Cepat atau lambat Papua pasti merdeka”