Sengsara Manusia dan Tanah Papua (Free West Papua) (Foto: Dok. Ist/KM) |
Oleh: Frans Pigai
Opini - (KM). Saya berhenti di beberapa pusara yang saya kenal secara pribadi dan pada umumnya rakyat Papua sudah mengetahuinya. Tentu juga dimakam para pahawan bangsa Papua yang ada di situ sesuai niat semula, doa-doa dipanjatkan bagi keselamatan arwah beliau-beliau. Sekalian minta kepasa beliau-beliau agar berkat jasa, doa, dan keryanya di dunia demi kemerdekaan, kami pun yang masih hidup dan berjuang ini dikuatkan.
Rakyat milik Papua. Sebagai penggembala perjuangan tanah Papua juga milik Papua. Tetapi sebagai pejuang pembebas, rakyat milik Papua.
Namun, rohaniwan, pastor, mahasiswa, pemuda, petani, tukang kayu dan semua lapisan masyarakat wajib memperjuangkan politik moral dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Jadi, berpolitik dan melawan pelanggaran HAM dalam arti moral kemanusiaan, dalam rangka mensejahterakan dan menyelamatkan manusia Papua secara adil dan beradab itu tadi.
Ibarat mewujudkan kesengsaraan manusia dan tanah Papua, sebuah kutipan dari buku yang berjudul “Sebuah Perjumpaan Hangat di Ujung Perjalanan”, oleh Pastor Mangunwijaya, hlm. 20, “Buku bagaikan andong atau dokar yang ditarik kuda dengan lonceng kecil yang berdenting merdu bagi orang yang sedang bernostalgia ke tempo dulu van voor de oorlog. Ketika nasi gudek seperseratus rupiah sudah berlauk seiris telur rebus, ketika harga sepeda rakyat hanya 25 rupiah; dan negeri serba tenteram dan damai, maling pasti tertangkap, dan barang curian pasti ditemukan keamanan dan dikembalikan tanpa tebusan satu sen pun kepada pemilik, elok dan antik, artinya berharga, akan tetapi kini dokar mustahil dipakai sebagai kendaraan antarkota.”
Kolonialisme, imperialisme dan militerisme Indonesia lama maupun baru menjadi suatu condition sine qua non untuk sistem yang penuh eksplorasi, inovasi, dan produktivitas yang mengagumkan itu dan menghancurkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat dan tanah Papua. Justru, ada ketiga kekuatan tersebut, dulu dan sekarang menjadi sasaran penderitaan kesengsaraan manusia Papua dan sengsara bagi tanah Papua yang dialami oleh seluruh rakyat bangsa Papua yang ada dimana saja, tetapi budi pekerti mengkhususkan diri dengan hubungan yang sebaik-baiknya antara manusia dengan manusia serta alam semesta Papua.
Hidup para pahlawan penuh simbol. Pemilihan pembebasan di tanah Papua menjadi keuntungan juga sebuah simbol. Simbol itu adalah harapan agar keberadaan kemerdekaan di sana membuat rakyat bangsa Papua diwarisi sebuah sejarah bangsa dan menjadi kekuatan bagi para pahlawan bangsa Papua untuk menjalani perutusan dalam menjalani misi kemenusiaan bangsa Papua.
Maka, keberadaan kesengsaraan manusia dan tanah Papua harus dipertarukan atau harus ada perlawanan dengan kebenaran perkembangan sejarah yang ada. Kesengsaraan bahkan kepergian manusia Papua, memang sosok yang sulit dicari karena perlawanan yang meliputi berbagai bidang, itulah yang sedang terjadi di tanah Papua. Maka, apakah kita bungkam saja? Ataukah harus kita melawan? Kita sebagai anak bangsa Papua, mesti kita melawan dan menyingkirkan kesengsaraan yang terjadi di tanah Papua agar kemenangan dan kemerdekaan akan datang mendahului kita.
(Hidup Rakyat Bangsa Papua, Free West Papua)
(Penulis adalah Mahasiswa Papua)
Rakyat milik Papua. Sebagai penggembala perjuangan tanah Papua juga milik Papua. Tetapi sebagai pejuang pembebas, rakyat milik Papua.
Namun, rohaniwan, pastor, mahasiswa, pemuda, petani, tukang kayu dan semua lapisan masyarakat wajib memperjuangkan politik moral dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Jadi, berpolitik dan melawan pelanggaran HAM dalam arti moral kemanusiaan, dalam rangka mensejahterakan dan menyelamatkan manusia Papua secara adil dan beradab itu tadi.
Ibarat mewujudkan kesengsaraan manusia dan tanah Papua, sebuah kutipan dari buku yang berjudul “Sebuah Perjumpaan Hangat di Ujung Perjalanan”, oleh Pastor Mangunwijaya, hlm. 20, “Buku bagaikan andong atau dokar yang ditarik kuda dengan lonceng kecil yang berdenting merdu bagi orang yang sedang bernostalgia ke tempo dulu van voor de oorlog. Ketika nasi gudek seperseratus rupiah sudah berlauk seiris telur rebus, ketika harga sepeda rakyat hanya 25 rupiah; dan negeri serba tenteram dan damai, maling pasti tertangkap, dan barang curian pasti ditemukan keamanan dan dikembalikan tanpa tebusan satu sen pun kepada pemilik, elok dan antik, artinya berharga, akan tetapi kini dokar mustahil dipakai sebagai kendaraan antarkota.”
Kolonialisme, imperialisme dan militerisme Indonesia lama maupun baru menjadi suatu condition sine qua non untuk sistem yang penuh eksplorasi, inovasi, dan produktivitas yang mengagumkan itu dan menghancurkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat dan tanah Papua. Justru, ada ketiga kekuatan tersebut, dulu dan sekarang menjadi sasaran penderitaan kesengsaraan manusia Papua dan sengsara bagi tanah Papua yang dialami oleh seluruh rakyat bangsa Papua yang ada dimana saja, tetapi budi pekerti mengkhususkan diri dengan hubungan yang sebaik-baiknya antara manusia dengan manusia serta alam semesta Papua.
Hidup para pahlawan penuh simbol. Pemilihan pembebasan di tanah Papua menjadi keuntungan juga sebuah simbol. Simbol itu adalah harapan agar keberadaan kemerdekaan di sana membuat rakyat bangsa Papua diwarisi sebuah sejarah bangsa dan menjadi kekuatan bagi para pahlawan bangsa Papua untuk menjalani perutusan dalam menjalani misi kemenusiaan bangsa Papua.
Maka, keberadaan kesengsaraan manusia dan tanah Papua harus dipertarukan atau harus ada perlawanan dengan kebenaran perkembangan sejarah yang ada. Kesengsaraan bahkan kepergian manusia Papua, memang sosok yang sulit dicari karena perlawanan yang meliputi berbagai bidang, itulah yang sedang terjadi di tanah Papua. Maka, apakah kita bungkam saja? Ataukah harus kita melawan? Kita sebagai anak bangsa Papua, mesti kita melawan dan menyingkirkan kesengsaraan yang terjadi di tanah Papua agar kemenangan dan kemerdekaan akan datang mendahului kita.
(Hidup Rakyat Bangsa Papua, Free West Papua)
(Penulis adalah Mahasiswa Papua)
0 thoughts on “Sengsara Manusia dan Tanah Papua ”