Alfrida Kedeikoto (Foto: Dok. Prib/KM) |
Artikel, (KM). Ketidakmerataan pendidikan dan layanan Bimbingan Konseling (BK) merupakan dua hal yang sangat berbeda dalam pemahaman sekaligus juga pengaplikasian di kehidupan nyata. Ketidakmerataan pendidikan merupakan sebuah kesempatan untuk belajar dengan aman, nyaman dan tentram tidak diperoleh oleh warga di pelosok-pelosok Indonesia dengan seragam.
Sedangkan layanan BK merupakan suatu layanan bantuan yang diberikan oleh Guru BK (konselor) kepada siswa atau individu untuk kemudian mengembangkan dirinya berdasarkan potensi yang dimilikinya. Misal, membantu siswa atau individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa atau individu dan lain-lain.
Dalam tulisan ini akan disorot tentang ketidakmerataan pendidikan di pelosok-pelosok di Indonesia sangat penting untuk dititikberatkan perhatian pemerintah. Jika kita melihat dalam kaca mata layanan BK di sekolah, ketidakmerataan pendidikan ini menjadi masalah bagi siswa, sebab pendidikan merupakan salah satu kebutuhan siswa yang harus mereka penuhi dalam hidupnya.
Dengan melihat pemahaman dan praktik yang rill tentang ketidakadilan proses penyelenggaraan pendidikan, apakah pendidikan di Indonesia sudah pada titik stabil dengan mutu yang tinggi dan menghasilkan siswa-siswi yang berkualitas? Tentu jawabannya belum sepenuhnya “ya”.
Banyak kota-kota besar di Indonesia telah memiliki mutu pendidikan yang memenuhi standar. Tapi apakah itu semua telah terjadi merata diseluruh pelosok Indonesia?
Dengan hadirnya era baru (Otsus, red) di Papua, banyak mendatangkan kepentingan-kepentingan pribadi melalui politik naik jabatan. Masyarakat pada umumnya sering ditipu dengan mengeluarkan (kata-kata manis) oleh para pejabat. Padahal nantinya setelah menduduki sebuah jabatan tertentu, aktualisasi dari kata-kata manis tadi tidak dirasakan oleh masyarakat.
Salah satu contoh nyata adalah seperti yang telah terjadi pada saat mau pemilihan presiden Jokowi. Jokowi pernah berjanji di depan masyarakat bahwa akan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak asli Papua, dan masih banyak lain lagi. Tapi semuanya belum menjadi nyata. Sementara kehidupan orang Papua dalam bidang pendidikan khususnya bagi peserta didik akan semakin terancam dan semakin terpuruk, karena yang ada adalah “pemimpin menang bicara”.
Jelas juga bahwa pendidikan di Papua tidak akan dipedulikan lagi oleh pemerintah, karena banyak pula intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Karenanya, peserta didik di Papua semakin banyak mengalami persoalan dari berbagai segi. Padahal pemerintah sudah tahu bahwa pendidikan itu sangat penting bagi individu, karena belajar bukan hal sesaat yang kita lakukan, namun kita meniti hal itu selama kita hidup sampai akhir hayat.
Dengan munculnya pemahaman bahwa pemerintah tidak akan mempedulikan lagi untuk problem pendidikan di Papua, maka hal ini akan menjadi masalah besar bagi peserta didik dalam menempuh pendidikan yang layak bagi mereka. Sangat penting untuk dipahami oleh generasi muda Papua, terutama peserta didik yang sudah menempuh pendidikan di bangku kelas tiga SMA dan SMK, bahwa Papua membutuhkan guru BK dalam menangani masalah-masalah siswa di sekolah. Artinya agar dengan ini, siswa/i bisa mendefinisikan bagaimana pengambilan keputusan untuk mengambil jurusan sesuai dengan yang terbatas di Papua.
Dengan melihat kondisi pendidikan di Papua yang tidak stabil, akan berdampak juga pada perilaku, tingkah laku dan moral generasi penerus Papua. Karena pembentukan karakter seorang siswa juga berakar dari layanan BK. Dalam kaca mata layanan BK, masalah siswa berarti kebutuhan siswa yang harus dipenuhi. Misalnya, masalah dengan orang tua, bertengkar dengan teman, malas kerja tugas, sering bolos, sering mengantuk saat menerima pelajaran, sering terlambat masuk sekolah, dan lain-lain.
Inilah layanan yang sering diberikan bagi peserta didik oleh guru BK secara umum. Tetapi ada lagi yang masih masih belum digali secara mendalam melalui perspektif layanan BK, yaitu masalah belajarnya sudah aman atau tidak, nyaman atau tidak, adil atau tidak dan lain sebagainya. Sehingga masalah pendidikan di Papua dalam kaca mata layanan BK sampai saat ini belum tuntas adanya.
Namun dalam kehidupan nyata, yang biasa terjadi adalah masyarakat luas mengganggap guru bimbingan konseling itu tidak penting, karena mereka hanya bisa menjadi “polisi sekolah”. Anggapan ini rata-rata lahir dari masyarakat jawa terhadap guru-guru bimbingan konseling yang terdapat di masing-masing sekolah.
Sedangkan di papua, masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang BK. Apalagi mengiyakan anak mereka mengambil jurusan BK di perguruan tinggi. Mereka butuh pemahaman. Karena itu hal ini menjadi tugas kita generasi muda untuk menjelaskan kepada orang tua, juga kepada masyarakat bahwa menjadi guru BK itu bukan menjadi sebatas “polisi sekolah”, tetapi guru BK jugalah yang akan berkontribusi membentuk karakter siswa di sekolah.
Dalam kaca mata layanan BK, tentang persoalan pendidikan, telah ditelaah bahwa banyak masalah yang dihadapi oleh peserta didik di pelosok-pelosok terpencil. Masih banyak pula yang belum difasilitasi. Padahal pada hakekatnya ketika menjadi seorang guru BK, yang harus dilakukan adalah memfasilitasi siswa sesuai kebutuhan mereka masing-masing.
Misalnya jika salah satu peserta didik suka musik, maka jika dana memungkinkan, ia harus difasilitasi dengan membelikan alat-alat musik lengkap. Hal ini agar peserta didik tersebut selalu latihan dengan mengasah terus bakatnya, dan bisa mewujudkan impiannya.
Namun jika peserta didik mempunyai kelebihan di bidang musik, dana ada, tapi kebutuhannya tidak dipenuhi, maka bagi dia akan menjadi masalah dalam mengembangkan bakatnya tersebut. Sehingga ini tujuan utama guru BK. Karena guru BK yang akan melakukan pendekatan dan sebagainya terlebih dulu.
Untuk diketahui, bahwa sebenarnya buruk dan tidaknya masalah pendidikan di Papua bukan saja dari kepala sekolah dan stake holdernya, tapi juga karena pemerintah pusat tidak memfasilitasi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pendidikan di Papua.
Berikut adalah beberapa gambaran rill di Papua sekaligus klarifikasinya.
Fasilitas Sekolah
Fasilitas sekolah sebagai suatu alat ukur yang sangat penting bagi siswa untuk menyulam bakatnya, sehingga peran pemangku sekolah yang paling utama adalah memfasilitasi setiap siswa sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Gedung Sekolah Kurang Baik
Gedung sekolah yang kurang baik juga menjadi realita (samar) yang entah kapan berakhir adanya. Sebagai tempat peserta didik dapat menimba ilmu, bagaimana jika di setiap sekolah bersangkutan atapnya bocor, gedung dibangun menggunakan kayu yang kurang baik, kursi tidak ada sehingga peserta didik harus duduk melantai? Yang jelas proses belajar-mengajar menjadi tidak enak.
Berusaha dengan Keras Berjalan Kaki
Ini masalah infrakstruktur yang jelas-jelas juga sebagai penunjang siswa dalam menjalani masa persekolahan. Banyak siswa/i yang berjuang melawan maut untuk datang ke sekolahnya. Mereka rela berjalan kaki melewati hutan, menyebrangi sungai, melalui jalan setapak yang penuh lumpur dengan berangkat sedari pagi buta.
Kapur Tulis Terbatas
Tadi disinggung bahwa masih ada ketidakmerataan dari segi pendidikan di Indonesia. Nah, sekarang tidak di semua sekolah di Indonesia menggunakan papan tulis (white board), apalagi menggunakan fasilitas proyektor dan sebagainya, sebagaimana yang sudah diterapkan di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia. Masih banyak sekolah-sekolah di nusantara ini yang masih menggunakan papan tulis (black board) dengan alat tulis kapur. Persoalan yang masih kronis adalah sekolah-sekolah tersebut sering mengalami kekurangan kapur tulis. Bagaimana? Jika kapur tidak ada, maka otomatis tidak belajar. Secara lisan, guru bisa saja mengajar. Tapi bagaimana jika sebagian anak sulit dalam memahami pelajaran. Sebab pada dasarnya masing-masing stimulasi untuk merangsang daya pemahaman dari setiap pelajar itu berbeda.
Selanjutnya, kita sadar bahwa ini merupakan sebuah penindasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kita orang Papua dalam bidang pendidikan, agar kita orang Papua tidak mendapatkan ilmu yang layak. Bagaimana dengan persoalan pendidikan yang menjadi masalah bagi siswa dalam belajarnya?
Contoh kasus di kampung saya di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Modio, Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua. Disana kendala yang saya paham dan tangkap adalah perilaku kepala sekolah yang begitu kurang bagus. Kenapa? Karena kepala sekolah di sekolah tersebut tidak memfasilitasi guru-guru untuk dapat mengajar di sana dengan aman dan nyaman, sehingga guru-guru yang baru bertugas ke Modio tadi semua pindah ke daerah lain yang mereka rasa lebih baik.
Namun semua itu bukan sepenuhnya salah seorang kepala sekolah juga, karena kepala sekolah dibawah kepemimpinan yang hierarkis yaitu pemerintah. Maka pemerintah dalam hal ini dinas terkait harus buka mata untuk memfasilitasi hal tersebut. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang sering menimpa di sekolahan yang nantinya akan mematikan kader-kader penerus Papua yang bermoral dan berkarakter, karena tidak ada tenaga pendidik yang ada di sana.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kepala sekolah harus menindas guru-guru yang juga jadi korban fasilitas?
Dalam layanan BK, sepak terjang kebanyakan masyarakat yang menganggap bahwa suatu perilaku, tingkah laku dan tindakan seseorang merupakan urusan pribadi karena berkenaan dengan masalah individual. Namun ini merupakan perilaku dan tindakan pemerintah terhadap orang Papua dalam bidang pendidikan yang harus dihadapi secara kritis juga oleh masyarakat Papua pada umumnya. Kenapa? Karena perilaku dan tindakan yang nyata dari pemerintah, yakni “tidak memfasilitasi” tersebut upaya mematikan gerakan pendidikan pelajar dan mahasiswa Papua, agar tetap eksis dalam bidang pendidikan untuk menjadi pribadi yang berkarakter.
Berikut ada teori dari Maslow, salah satu tokoh psikolog humanistic yang sangat menekankan keunikan individu dan prinsip holistik. Teori Maslow adalah teori hierarki kebutuhan manusia. Dia meyakini, bahwa ada bagian-bagian dari individu yang tidak bisa digeneralisasi dan setiap individu harus di hargai sesuai keunikannya itu. Berikut adalah ulasannya.
Physiological Needs
Physiological Needs adalah tahap kebutuhan paling dasar, karena jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka otomatis kebutuhan yang diatasnya tidak akan terpenuhi pula. Misalnya makan, minum, sandang, papan, seks dan kebutuhan fisiologis lainnya.
Safety Needs
Safety Needs adalah situasi dan kondisi dimana seorang individu membutuhkan rasa aman dari bahaya yang mengancam nyawanya.
Belonging dan Love Needs
Belonging dan Love Needs adalah tahap dimana individu membutuhkan kasih sayang dari orang lain, butuh berhungan dengan orang lain dan merasa diterima oleh lingkungan.
Esteem Needs
Esteem Needs adalah tahap dimana individu merasa butuh meraih sesuatu, membuat suatu prestasi, menjadi unsur yang kompeten di lingkungan, mendapatkan pengakuan dan mengenal lingkungan dengan baik.
Aktualisasi Diri
Aktualisasi Diri adalah tahap dimana seseorang mencapai sesuatu dan bisa mengalahkan egonya dengan percaya diri.
Menurut Maslow, semakin individu naik kepada tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, maka dia akan lebih bijak menghadapi dirinya sendiri dan hidupnya serta masalah-masalahnya. Karena kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan tercapai kalau kebutuhan yang lebih dasar belum tercapai.
Dari pandangan Maslow di atas dapat disimpulkan bahwa setiap individu masing-masing memiliki kebutuhan dan kebutuhan-kebutuhan tersebut harus terpenuhi dalam hidupnya, karena ketika seseorang hidup dalam suasana yang disitu kebutuhannya tidak terpenuhi, maka seseorang tersebut berada dalam kungkungan masalah. Dia akan pasti mencari secara perlahan-lahan sampai kebutuhan tersebut dia temukan, dan akhirnya lanjut lagi ke tahap berikutnya sampai kepada tahap ke lima yang dikatakan sudah merdeka diri.
Namun sampai di fase aktualisasi diri itu masih sangat sulit. Karena ketika semua kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan sudah terpenuhi sekalipun, yang terakhir adalah merdeka dari diri sendiri. Menyangkut hal ini, para ahli psikolog pun tidak pernah sampai di tahap atau fase yang dinamakan aktualisasi diri. Semoga!
Penulis: Alfrida Kedeikoto, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bimbingan Konseling
Di Universitas PGRI Semarang ( UPGRIS)*
0 thoughts on “Persoalan Pendidikan di Papua dan Masalah Siswa/i Dalam Perspektif Layanan Bimbingan Konseling”