Seperti yang sudah saya katakan
dalam satu tahun sekurangnya dua kali Pulau Kokonao terendam. Posisi distrik
yang berada di pinggir pantai ini memengaruhi iklim yang ada. Salah satu
pengaruh yang besar adalah bahwa air di kokonao terasa asin
sehingga untuk kebutuhan minum mengandalakan air hujan.
Setiap keluarga memiliki bak
penampungan air hujan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk
mandi kebanyakan masyarakat memanfaatkan air hujan atau air sungai yang
keruh dan berwarna coklat.
Walau hanya memanfaatkan air
hujan untuk minum, belum pernah saya mendengar bahwa ada penduduk yang
dehidrasi atau mati karena kekurangan air. Penyakit yang kadang muncul adalah
malaria dan muntaber.
Masyarkat sudah terbiasa dengan
situsi alam yang ada. Mencari kepiting, udang, dan ikan sudah menjadi kehidupan
mereka. Masyarakat pun paham kapan laut teduh atau laut bergelombang besar. Di
seluruh distrik ini tidak ada air tawar, kecuali air hujan, yang kami
manfaatkan untuk berbagai kepentingan sehari-hari.
Sungai yang mengitari kokonao
seakan menjadi pagar (batas) dengan daerah lain. Di sepanjang tepi sungai
ditumbuhi dengan pohon bakau atau penduduk di sini menyebutnya: mangi-mangi
dimana di bawahnya menjadi habitat bagi karaka (kepiting). Karaka ini menjadi
makanan bagi mereka dan kadang juga di jual.
Di sini juga mereka berburu
burung untuk dimakan. Aneka burung yang tinggal di pohon bakau ini menjadi
sasaran bagi para pemburu. Soa-soa (binatang reptile satu spesies dengan
biyawak) diburu karena kulitnya digunakan untuk tiva.
Distrik kokonao, terdiri
dari tujuh kampung. Empat kampung diantaranya ada di delta atau Pulau
Kokonao. Panjang pulau ini tidak lebih dari tiga Kilomerer dan lebarnya
kira-kira hanya satu kilometer.
Kalau kita menyusuri sungai
kokonao, maka dalam waktu tidak lebih dari 15 menit akan sampai di pantai yang
cukup indah. Masyarakat di sini menyebutnya sebagai tanjung putus. Kami kadang
rekeasi di pantai dan menemukan ubur-ubur yang terdampar di pantai.
Sungai, laut, berbagai jenis
makanan laut menjadi ciri khas di Kokonao. Kalau kita masuk ke Lestoran atau
hotel untuk makan kepiting tentu biayanya mahal. Tapi di sini berbagai jenis
makanan laut tidak sulit kita perolah. Terlebih lagi kalau saat itu memang
sedang musimnya. Misalnya sedang musim udang, maka akan dengan mudah kita makan
udang sampai yang punya kolesterol harus berhati-hati dan dengan bijak
mengurangi makan udang.
Refleksi:
Kokonao adalah kota sejarah yang memegang peranan penting dalam sejarah Kabupaten Mimika. Dulu Kokonao disebut-sebut sebagai kota yang besar dan menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal besar. Bukan hanya kapal dari Indonesia tapi juga kapal dari luar negeri.
Kokonao adalah kota sejarah yang memegang peranan penting dalam sejarah Kabupaten Mimika. Dulu Kokonao disebut-sebut sebagai kota yang besar dan menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal besar. Bukan hanya kapal dari Indonesia tapi juga kapal dari luar negeri.
Sayang, sekarang kota ini menjadi
“terlupakan” oleh sejarah mimika. Padahal dari sinilah muncul orang yang
memiliki peranan penting dalam pemerintahan dan penentu kebijakan.
Apa yang pernah ada akan tetap
ada. Dulu kokonao adalah kota besar. Tapi sekarang seakan menjadi kenangan
saja. Kita pun kerap kali berbuat demikian. Ketika seseorang atau tempat sudah
tidak memberikan hasil atau keuntungan maka akan dilupakan. Padahal hidup
manusia bukan untuk mencari untung tetapi bagaimana hidup kita dan orang
lain berharga bukan hanya di mata kita manusia tetapi terlebih di mata Allah
Sang Pencipta.
Kita semua sama, diciptakan
secitra dan segambar dengan Allah. Maka hidup bukan soal untung atau rugi.
Tetapi bagaimana dari hari ke hari kita semakin berkenan di hadirat Allah.
0 thoughts on “ “Indahnya Kokonao” : Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (17)”