Oleh : Johanes
Supriyono
Foto: Johanes Supriyono |
Seketika menginjak Bandara Apuriyu, Kokonao,
pandangku tertumbuk pada gapura ringkih. Tulisan pada gapura itu “Selamat
Datang di Kota Tua Kokonao”. Lho, mengapa kota kecil ini berpredikat kota tua?
Alasan pertama, dari hitungan tahun, kota ini
memang sudah lebih dari dasawindu. Pemerintah Belanda datang ke Kokonao mulai
tahun 1925. Dua tahun kemudian, para misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) memulai
pendidikan di kota ini. Mereka membangun asrama untuk anak-anak laki dan perempuan.
Lalu, untuk merawat penduduk sekitar mereka juga membangun rumah sakit.
Maka, kalau Anda sekali waktu singgah di kota di
pesisir selatan Papua ini, Anda akan menemukan kompleks misi. Ada pastoran
(rumah tinggal untuk pastor Katolik), biara suster Fransiskanes Charitas,
asrama puteri, asrama putera, SD, SMP, dan rumah sakit yang kini sudah diambil
alih oleh pemerintah.
Dulu, Kokonao merupakan pusat pendidikan untuk
anak-anak Kamoro dan suku-suku lain di Papua bagian selatan. Selepas dari
Kokonao, sebagian ada yang melanjutkan ke Jayapura, Merauke, Fakfak, dan tempat
yang lain.
Selain itu, di masa lalu, kota ini juga terhubung
dengan Merauke sebab para misionaris MSC diberangkatkan dari sana. Lalu juga
dengan Kei karena guru-guru pun dibawa dari sana. Karena misionaris datang dari
Belanda, Kokonao pun tersambung hingga Belanda.
Alasan itulah yang membuat Kokonao dikenal sebagai
kota tua.
Namun, ada alasan lain yang membuat Kokonao
‘dituakan’, yaitu setelah yang muda lahir: Kota Timika.
Timika terbentuk tanpa bisa dilepaskan dari
kehadiran perusahaan pertambangan raksasa Amerika, PT. Freeport. Kota Timika
terbentuk setelah perusahaan ini masuk pada 1967. Untuk menunjang kepentingan
operasinya, perusahaan ini membangun kota di dataran rendah yaitu Timika.
Kota Timika memiliki fasilitas publik yang lebih
lengkap dan lebih modern dibandingkan Kokonao. Di samping itu, ia pun terhubung
dengan kota-kota lain melalui penerbangan dan pelayaran. Anda bisa terbang ke
Jayapura, ke Denpasar, Jakarta, bahkan Australia.
Aneka kebutuhan hidup sehari-hari tersedia dengan
harga yang relatif lebih murah dibandingkan Kokonao. Malah, ketika ke Kokonao,
saya perlu membawa bekal sayur-mayur. Sebab, Kokonao tidak memiliki cukup
sayuran.
Munculnya Timika, yang terus berkembang,
menyebabkan Kokonao kian ditinggalkan. Kota itu tidak lagi terhubung dengan
tempat lain, selain Timika. Perannya sebagai kota yang bisa menyediakan
berbagai layanan tidak lagi terpenuhi.
Kokonao memang berperan besar di masa lalu,
utamanya dalam pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi, kini kota itu tidak lagi
berjaya. Ia menjadi tua.. Maka, wajarlah bahwa saya disambut dengan “Selamat
datang di kota tua, Kokonao”.
0 thoughts on “Kokonao, Kota Tua”