Di tengah belantara hutan sagu dan bakau yang lebat
di pesisir Selatan Papua, di sanalah terdapat Kokonao, daerah yang terperosok
sepi dan terlupakan. Namun, keindahannya mampu menutupi semua kekurangannya.
Kokonao yang memiliki pemandangan alam nan elok
merupakan ibu kota distrik Mimika Barat, Papua. Untuk mencapainya, kita
membutuhkan waktu dua setengah jam lebih menyusuri sungai-sungai yang bercabang
dan bermuara ke Laut Arafura dengan menggunakan speedboat dari
Mapurujaya, Timika.
Seperti daerah-daerah lainnya di sepanjang Pesisir
Selatan, Kokonao bisa dicapai dengan transpotasi air yang tergantung pada
pasang surut air laut (perhitungan air). Pada saat air laut surut,
sungai-sungai akan menjadi dangkal dan beberapa tempat berubah menjadi hamparan
lumpur. Jika kita beruntung, ada pesawat perintis dari Timika dan kita pun bisa
mencapai Kokonao dalam waktu 25 menit. Namun, penerbangan ke Kokonao tidak ada
setiap minggu.
Hari beranjak malam ketika kami tiba di Kokonao.
Penduduk "kota" tertua yang sebenarnya lebih mirip sebuah dusun yang
tertinggal di pedalaman ini belum bisa menikmati pelayanan listrik. Memang
terdapat satu-dua genset milik pedagang-pedagang Bugis dan Paroki Maria Bintang
Laut Kokonao.
Sebagai sarana publik, di Kokonao terdapat SD
Negeri, Sekolah Menengah, dan Sekolah Sepak Bola yang dikelola oleh Paroki yang
bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK)
serta sarana kesehatan atau Puskesmas, dan dua tempat ibadah, yaitu gereja
Katolik dan masjid kecil yang kalau di Pulau Jawa dan Sumatera lebih mirip
dengan suaru.
Penduduk distrik Mimika Barat berjumlah 4000 jiwa.
Mata pencarian mereka masih merupakan sisa-sisa dari masyarakat berburu dan
meramu. Alam Papua yang kaya akan keberagaman tumbuhan dan satwa menyediakan
segala kebutuhan mereka. Pohon-pohon sagu di sepanjang pesisir melimpah sebagai
sumber makanan utama. Mereka juga mengonsumsi berbagai jenis ikan, seperti
kakap dan baronang yang sangat mudah mendapatkannya. Ketersediaan
hutan-hutan bakau yang lebat, menyediakan udang dan karaka (sejenis
kepiting) yang hidup dan bertelur di antara akar-akar bakau. Selain itu, mereka
juga berburu anjing hutan, babi, kus-kus, burung kasuari dan kanguru pohon ke
hulu-hulu sangai yang ditumbuhi berbagai macam jenis tumbuhan hutan hujan
tropis yang lebat.
Akibat dari perang panjang antara suku Asmat dengan
suku Kamoro yang menyebabkan teror dan ketakukan pada suku Kamoro membuat
gereja Katolik meminta pertolongan Belanda untuk membantu orang-orang Kamoro.
Karena hal tersebut, ajaran gereja Katolik tumbuh subur di daerah Mimika.
Kebiasaan mereka yang tadinya suka berpindah-pindah, akhirnya mulai menetap di
sekitar Kokonao. Anak-anak mereka mulai masuk sekolah dan kemudian menjadi
guru-guru yang membantu tugas misionaris Belanda di wilayah ini. Dan, akhirnya
Kokonau pun menjadi pusat pemukiman suku Kamoro.
Germanus Wayaru merupakan salah seorang tetua suku
Kamoro, ia menyebut diri mereka sebagai orang Mimika. Mimika berasal dari
perkataan Mi-mi-yei-ka yang berarti sungai yang mengalir ke hulu. Air
yang mengalir ke hulu ini merupakan air laut yang pasang melewati sungai-sungai
berkelok dan menggenangi hamparan hutan-hutan bakau dan rawa-rawa yang
ditumbuhi pohon-pohon sagu. Mimika menjadi penunjuk identitas yang mengaju pada
masyarakat pesisir pengguna bahasa Kamoro dan saudara serumpun mereka,
suku Sempan.
"Kami adalah orang Mimika," kata Germanus
Wayaru, Kepala Suku Kampung Mimika, yang kami temui di Kampung Mimika, Kokonao.
"Kita semua orang Kamoro. Karena kita semua adalah orang hidup,"
tegas Germanus. Bagi suku pesisir ini, kamoro berarti
orang hidup.
Germanus Wayuparu merupakan sisa-sisa masyarakat
adat yang masih menerapkan prinsip-prinsip yang diwariskan oleh leluhur
orang-orang Mimika. Generasi mudanya sendiri kini berorientasi ke Timika yang
modern. Kehadiran raksasa perusahaan tambang milik Amerika, Freeport,
menyebabkan terjadinya gelombang migrasi penduduk ke Mimika, terutama yang
datang dari pulau Jawa dan Sulawesi.
Migrasi besar-besaran ini mengakibatkan suku yang
mendiami kawasan pesisir berserta saudara mereka di pegunungan menjadi semakin
tergusur dari tanah leluhur mereka sendiri.Generasi muda tidak lagi memikirkan
adat dianggap sudah kuno. "Saya sangat khawatir, kalau saya cepat
dipanggil Tuhan, siapa yang akan menerusakan dan menjaga tradisi ini?"
Germanus seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Leluhur suku Kamoro mewariskan berbagi kekayaan
tradisi yang kini mulai memudar. Dahulu terdapat berbagai upacara ritual untuk
memuliakan roh leluhur yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan alam. Kehidupan spritual suku Kamoro tidak bisa dilepaskan dari
hal tersebut. Maka segala bentuk kesenian seperti tari, nyanyian, dan
ukiran-ukiran selalu berhubungan dengan legenda dan mitos yang berisi
ajaran-ajaran leluhur mereka.
Secara temurun dikisahkan, seorang anak kecil
menemukan sebutir telur di pinggir pantai ketika ia sedang bermain. Telur
tersebut dibawa pulang, dirawat dan menetaskan seekor buaya. Setelah besar,
buaya tersebut memangsa hampir seluruh penduduk kampung. Seorang perempuan yang
sedang hamil, Mbirokateya, merupakan satu-satunya yang selamat dari keganasan
reptil tersebut. Ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Mbirokateyau.
Ketika sang ibu menceritakan peristiwa buaya yang
memangsa penduduk kampung mereka, Mbirokateyau telah tumbuh menjadi seorang
laki-laki dewasa yang kuat. Mbiroketayau berjanji akan membunuh sang
buaya. Hingga akhirnya, ia berhasil mengalahkan dan memotong-motong reptil
itu menjadi empat bagian. Kemudian melemparkannya ke empat penjuru mata angin.
Bagian pertama ia lempar kebagian Timur sambil ia berkata, "Umuru
me," yang kemudian menjadi asal-usul suku Asmat. Lemparan kedua ke arah
Barat sambil berkata "Kamoro we," sebagi cikal-bakal suku Kamoro.
Adapun lemparan ke tiga menuju ke arah utara yang dipercaya sebagai nenek
moyang suku-suku di pegunungan, seperti Amungme, Mee, Dani, dan lain-lain. Dan,
potongan terakhir ia lemparkan ke arah selatan sambil berkata "Semopano
we", yang menjadi suku Sampan.
Leluhur suku Kamoro membentuk kelompok-kelompok
suku dengan saling mengunjungi dan saling menjalin hubungan antar sesama kelompok.
Dalam setiap kelompok, mereka memiliki tetua adat untuk mengatur ritual adat
yang disebut Kakurue We. Mereka mengatur sukunya melalui sebuah rumah adat yang
disebut Taparu. Dalam struktur pemerintahan adat ini, Weyaiku adalah pemimpin
tertinggi di Taparu. Dia memiliki tanggungjawab untuk melindungi masyarakatnya
dan sekaligus merangkap sebagai panglima perang untuk mempertahankan hak-hak
ulayat suku Kamoro dari gangguan suku-suku lainnya.
Adapun ritual yang utama dalam suku Kamoro adalah
upacara Karapao, yakni inisiasi pendewasaan seoarang anak
laki-laki. Upacara ini dilakukan dalam sebuah bangunan sementara yang berbentuk
memanjang, dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu, tiang-tiangnya saling
terikat dan atapnya terbuat dari jerami. Lebarnya kira-kira tiga meter dan
panjangnya tergantung pada jumlah pintu. Sedangkan jumlah pintu tergantung pada
jumlah anak yang akan diinisiasi. Untuk memastikan seorang anak siap melakukan
upacara Karapao adalah dengan menyuruhnya menonjok batang pisang.
Jika kesakitan berarti ia belum siap.
Upacara yang meriah ini berlangsung beberapa hari,
mirip sebuah karnaval. Tifa ditabuh, tarian-tarian dipertunjukkan dan nyanyian
yang dipimpin seorang ahli (Ndikiarawe) menggema sepanjang upacara. Tubuh
anak-anak yang diinisiasi dilukis dengan jelaga, kapur, dan berbagai warna
alami yang terbuat dari dedaunan dan biji-bjian. Tiang-tiang besar diukir
menjadi Mbitoro (patung-patung leluhur), dilukis, dan
dibangunkan dengan mantra-mantra yang diucapkan oleh Opakawe (tua adat yang
memimpin seluruh prosesi upacara).
Selanjutnya, dengan gagah Mbitoro diarak keliling
kampung sebelum akhirnya diikat di depan Karapao. Pendirian Mbitoro bertujuan
mendatangkan kembali kekuatan dan kebijaksanaan dari seorang leluhur. Semasa
hidupnya ia adalah seorang yang kuat, dihormati, dan memiliki satu kemampuan
khusus. Misalnya ahli dalam membuat perahu atau berburu yang layak untuk ditiru
dan dicontoh oleh anak laki-laki yang diinisiasi ini.
Upacara Karapao yang kedua dilakukan beberapa tahun
kemudian. Anak-anak yang diinisiasi akan menukar tapena-nya
(pakaian kanak-kanak) dengan dedaunan sebagai pembungkus kemaluannya. Adapun
upacara yang ketiga merupakan tambahan dan dilaksanakan apabila mereka sudah
dianggap dewasa, siap untuk berkeluarga. Pada saat itu, hidung mereka akan
dilobangi dan dipasang taring babi. Sejak tahun 1950-an, upacara pelobangan
hidung ini sudah hilang dari tradisi suku Kamoro.
Seperti Germanus Wayaru, Pius Nimepo, kepala suku
Kamoro di Ayuka, kini juga mengalami kekhawatiran yang sama, "Kita mau
mengatur secara adat susah. Anak-anak muda tidak mau dengar lagi. Ini pangaruh
dari alkohol," tegasnya menyikapi berbagai persoalan lain yang dihapai
suku Kamoro saat ini.
Dahulu penduduk kampung selalu bergotong-royong,
mengumpulkan berbagai kebutuhan dan para perempuan naik perahu pergi memancing
ikan, mencari udang, dan kepiting. Sementara pria-pria dewasa akan pergi
membawa anjing terbaik mereka untuk berburu babi hutan ke hulu-hulu sungai.
Kini, membludaknya para pendatang yang juga dibarengi dengan munculnya
tempat-tempat prostisusi membuat nilai-nilai adat mulai luntur ketika berbagai
pengaruh yang baru ini meresap dalam kehidupan suku Kamoro.
0 thoughts on “Kokonao, Keindahan Alam Papua yang Terlupakan”