Oleh : Marko Okto Pekei
Foto Ist/Marko/KM |
Aktivis HAM,(KM) :Menyimak ungkapan Kapolda Papua, Irjen (Pol) Drs. Yotje Mende yang mengajak Keluarga Korban Paniai berdarah (04 desember 2014) untuk menggali mayat korban sebagaimana yang dirilis dalam media Bintang Papua pada Jumat, 13 pebruari kemarin merupakan upaya untuk menghambat proses pengungkapan pelaku yang sedang diinvestigasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang sedang ke tempat kejadian peristiwa (TKP) untuk menyelidiki kasus berdarah tersebut.
Hal ini dikatakan demikian karena beberapa alasan: Pertama; Sejak terjadi peristiwa berdarah di Enarotali, seharusnya kepolisian selaku pihak penyidik mesti berperan untuk menyelidiki kasus tersebut, termasuk peluru yang bernyasar ditubuh korban sebelum para korban dimakamkan. Apalagi peristiwa tersebut terjadi di tengah kota yang telah disaksikan publik, maka kepolisian setempat berkewajiban menyelidiki dan menyidik kasus tersebut sebagai tugas Polri sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002. Memang ada tim Investigasi dari Mabes POLRI dan Polda Papua sempat ke TKP, namun hingga saat ini hasil investigasinya belum disampaikan kepada publik, maka Kapolda selaku pimpinan hendaknya justru bertanya kepada Tim Investigasi POLRI tersebut, bukan seolah-olah baru mau memulai investigasi. Kan, aneh bila Kapolda menghimbau keluarga koban untuk menggali kubur mayat demi penyelidikan terutama penyelidikan peluru di tubuh korban yang sudah dikubur.
Pertanyaannya; apakah benar, peluru pun turut terkubur bersama mayat? Jikalau benar, maka pertanyaan lanjutannya: mengapa saat itu pihak kepolisian tidak membangun pendekatan kepada keluarga korban agar peluru-peluru yang bersarang di tubuh korban diambil sebelum jenazahnya dikuburkan demi penyelidikan lebih lanjut? Atas ketidakjelasan hasil investigasi dari kepololisian dan kepasifan kepolisian setempat tersebut telah memberi kesan kepada publik bahwa kasus yang terjadi di depan mata aparat tersebut terkesan dibiarkan. Ketika itu, pihak kepolisian terkesan tidak berani menyelidiki kasus ini terutama menyelidiki peluru karena publik telah menyaksikan bahwa korban tewas akibat ditembak oleh salah satu kesatuan aparat yang bertugas di Paniai.
Hal lain yang terkesan aneh ialah aparat keamanan justru melemparkan kesalahan kepada pihak lain (TPN OPM) padahal tidak ada TPN OPM di TKP dan sekitarnya dan masyarakat luas menyaksikan bahwa penembakan tersebut jelas-jelas dilakukan oleh aparat di depan masyarakat.
Nah, pertanyaannya, mengapa Kapolda baru berbicara sekarang setelah keluarga korban telah memakamkan para korban pada beberapa minggu lalu? Berbicara sekarang setelah korban sudah dikubur sekian lama menunjukkan bahwa kepolisian Setempat tidak berperan menyelidiki kasus berdarah ini sejak awal, padahal dalam Pasal 15 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. Lantaran, kepolisian setempat tidak mengambil tindakan untuk membangun pendekatan persuasif ketika massa aksi berkumpul di lapangan Karel Gobai agar tidak terjadi aksi kekerasan, padahal aksi terjadi di depan mata yang jaraknya tidak jauh dari Polsek Paniai Timur Enarotali. Lagi pula, kepolisian setempat tidak membangun pendekatan terhadap keluarga korban agar peluru yang bersarang di tubuh korban tersebut diambil demi penyelidikan lebih lanjut. Padahal tindakan itu justru akan membantu tugas polisi dalam menegakkan hukum (pasal 13, b) terhadap pelaku bilamana pelakunya terungkap kelak.
Kedua; Ungkapan Kapolda Papua tersebut menunjukkan ketakutan pihak Kepolisian atas penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang saat ini telah ke tempat kejadian peristiwa (TKP). Apalagi KOMNAS HAM sempat menyampaikan kepada publik atas temuan sementara yang menunjukkan adanya keterlibatan salah satu kesatuan aparat yang bertugas di Paniai.
Oleh karena itu, jikalau kepolisian setempat merasa tidak terlibat dalam kasus ini, sebaiknya Kapolda tidak perlu memberi tanggapan atas kasus tersebut, apalagi kepolisian setempat tidak menjalankan kewajiban untuk menyelidiki kasus tersebut sejak awal, maka seharusnya pihak kepolisian merasa malu atas kelalaian penyelidikan kasus tersebut. Kelalaian pihak kepolisian dalam menyelidiki kasus tersebut telah memberi kesan kepada publik bahwa atas kasus Paniai Berdarah ini telah terjadi pembiaran oleh pihak kepolisian dalam menyelidiki kasus, pemeriksaan peluru hingga mengungkapkan identitas peluru yang tentu merujuk kepada pelaku entah kesatuan maupun oknum.
Oleh karena itu, himbauan Kapolda Papua kepada keluarga korban untuk gali mayat para korban menunjukkan kelemahan pihak kepolisian yang tidak berperan menjalankan kewajibannya untuk menyelidiki kasus tersebut sejak awal. Dengan demikian, diharapkan agar pihak kepolisian hendaknya mendukung bahkan membantu proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh KOMNAS HAM dan LPSK yang kini sudah ke TKP, agar fakta dibalik peristiwa berdarah tersebut bisa terungkap demi penyampaian fakta kebenaran kepada publik dan keadilan bagi keluarga korban bisa ditindaklanjuti.(Kudiai/KM)
Penulis adalah : Aktivis Kemanusiaan di Paniai
0 thoughts on “Kapolda Papua : Jangan Menutupi Kelalaian Tugas Penyelidikan atas Kasus Paniai Berdarah ”